Api Kecil, Dampak Besar: Urgensi Penegakan Larangan Pembakaran Sampah di Pekarangan

Api Kecil, Dampak Besar: Urgensi Penegakan Larangan Pembakaran Sampah di Pekarangan

Urgensi penegakan larangan pembakaran sampah di pekarangan
bukan sekadar isu lingkungan, melainkan masalah serius yang menyentuh kesehatan, hukum, dan masa depan generasi mendatang. Praktik membakar sampah rumah tangga masih dianggap “praktis” oleh sebagian masyarakat, padahal dampaknya jauh lebih besar: udara tercemar, tanah rusak, hingga risiko penyakit kronis. Artikel ini mengulas mengapa penegakan hukum harus diperkuat, serta solusi nyata yang bisa diterapkan bersama.


Mengapa Pembakaran Sampah Berbahaya?

Pembakaran sampah di pekarangan bukan hanya masalah lokal, tetapi juga ancaman kesehatan nasional. Dampaknya bisa dilihat dari meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di berbagai daerah.

1. Gas Beracun

  • Karbon monoksida (CO) mengurangi kemampuan darah membawa oksigen.
  • Nitrogen oksida (NOx) memperburuk asma dan memicu kabut asap.
  • Sulfur dioksida (SO₂) menyebabkan iritasi saluran pernapasan.

2. Partikel Halus (PM2.5)

  • Tidak terlihat mata, tetapi masuk ke paru-paru dan aliran darah.
  • Dikaitkan dengan stroke, penyakit jantung, dan kanker paru.

3. Senyawa Karsinogen

  • Plastik, popok, dan limbah elektronik menghasilkan dioksin dan furan.
  • Senyawa ini termasuk karsinogen kelas 1 menurut IARC.

4. Risiko Kesehatan

  • Akut: sesak napas, batuk, sakit kepala.
  • Kronis: PPOK, gangguan reproduksi, kanker.

Data Statistik Terkini

  • Jakarta mencatat hampir 2 juta kasus ISPA antara Januari–Oktober 2025, tepatnya 1.966.308 kasus
  • Lonjakan kasus mulai terlihat sejak Juli 2025, dipicu oleh polusi udara dan suhu ekstrem.
  • Menurut WHO, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini setiap tahun di seluruh dunia
  • WHO juga menegaskan bahwa 99% populasi global menghirup udara tidak sehat

Kutipan Otoritatif

WHO: “Polusi udara adalah penyebab 7 juta kematian dini setiap tahun di seluruh dunia.”
KLHK: “Pembakaran sampah, baik rumah tangga maupun incinerator, dilarang karena mencemari udara dan membahayakan kesehatan masyarakat.”


Dampak Lingkungan

  • Tanah tercemar oleh abu dan mikroplastik.
  • Air tanah terkontaminasi residu kimia.
  • Gas rumah kaca meningkat, memperburuk krisis iklim.

Kesenjangan Regulasi dan Implementasi (Versi Diperluas dengan Kasus Aktual)

Walau sudah ada aturan tegas, seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan berbagai peraturan daerah, praktik pembakaran sampah tetap marak. Contoh nyata terjadi di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, di mana larangan pembakaran sampah masih sering diabaikan. Fenomena ini memperlihatkan adanya jurang besar antara regulasi di atas kertas dan implementasi di lapangan.

Faktor Penyebab Kesenjangan

  • Minimnya sosialisasi pemerintah: banyak warga tidak mengetahui bahwa membakar sampah rumah tangga termasuk tindak pidana.
  • Lemahnya pengawasan aparat: kapasitas pengawasan terbatas, sehingga pelanggaran sering tidak terdeteksi.
  • Anggapan keliru masyarakat: sebagian besar warga beranggapan hanya industri besar yang bisa dikenai sanksi, padahal pembakaran sampah rumah tangga pun melanggar hukum.

Kasus Aktual di Surabaya

  • Temuan mikroplastik dalam air hujan Surabaya membuat publik resah. Peneliti mengaitkan fenomena ini dengan kebiasaan warga membakar sampah plastik di ruang terbuka.
  • Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, meminta warga menghentikan praktik pembakaran sampah karena terbukti mencemari udara dan air hujan.
  • DLH Surabaya menegaskan adanya sanksi denda hingga Rp50 juta dan ancaman kurungan bagi pelaku pembakaran sampah sembarangan.

Kasus di Jakarta

  • Di Jakarta Barat, praktik pembakaran sampah di lahan kosong masih ditemukan. ANTARA News melaporkan bahwa warga yang membakar sampah sembarangan bisa dikenai sanksi pidana dan denda.
  • Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan di ibu kota, meski regulasi sudah jelas melarang pembakaran sampah.

Dampak dari Kesenjangan

  • Normalisasi perilaku berbahaya: masyarakat menganggap membakar sampah sebagai hal wajar karena tidak ada konsekuensi nyata.
  • Warisan sosial negatif: anak-anak meniru kebiasaan orang tua membakar sampah.
  • Kerusakan lingkungan berkelanjutan: udara tercemar, tanah rusak, dan kualitas air menurun.

Pentingnya Edukasi Hukum dan Lingkungan

Ketidakpahaman masyarakat memperlihatkan betapa pentingnya edukasi hukum dan lingkungan yang berkelanjutan. Edukasi ini harus dilakukan melalui:

  • Program sekolah: memasukkan materi pengelolaan sampah dalam kurikulum.
  • Kampanye publik: menggunakan media sosial, baliho, dan tokoh masyarakat untuk menyebarkan informasi.
  • Kolaborasi komunitas: melibatkan RT/RW, karang taruna, dan organisasi lokal dalam pengawasan.

Tabel Perbandingan Sanksi Larangan Pembakaran Sampah

Daerah / RegulasiAturan Hukum yang BerlakuSanksi / Denda MaksimalCatatan Implementasi
Nasional (UU No. 18 Tahun 2008)Pasal 29 ayat 1 huruf g: larangan membakar sampahKurungan 6 bulan / Rp50 jutaBerlaku nasional, namun implementasi masih lemah di banyak daerah.
Kubu Raya, Kalimantan BaratPerda No. 9 Tahun 2013 tentang Pengelolaan SampahKurungan 6 bulan / Rp50 jutaPraktik pembakaran masih marak, sosialisasi minim, pengawasan aparat terbatas.
Surabaya, Jawa TimurPeraturan Daerah & instruksi DLH SurabayaDenda hingga Rp50 jutaWali Kota menegaskan larangan; kasus mikroplastik di air hujan jadi bukti dampak nyata.
Jakarta (DKI Jakarta)UU No. 18/2008 + Perda DKI tentang lingkunganDenda hingga Rp50 jutaKasus pembakaran sampah di lahan kosong masih ditemukan; pengawasan belum konsisten.

Analisis

  • Kesamaan: Semua daerah merujuk pada UU No. 18 Tahun 2008 dengan ancaman pidana kurungan dan denda hingga Rp50 juta.
  • Perbedaan: Tingkat implementasi berbeda. Surabaya lebih aktif melakukan sosialisasi, sementara di Kubu Raya dan Jakarta pengawasan masih lemah.
  • Implikasi: Tanpa pengawasan dan edukasi, aturan hanya menjadi “aturan di atas kertas” yang tidak ditaati masyarakat.

Pendekatan Penegakan Hukum

Penegakan larangan pembakaran sampah tidak bisa hanya mengandalkan hukuman. Pendekatan represif saja tidak cukup karena masyarakat sering kali membakar sampah bukan semata-mata karena niat melanggar hukum, melainkan karena keterbatasan fasilitas dan pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi tiga pendekatan yang berjalan simultan:

1. Preventif

Langkah pencegahan dilakukan dengan cara:

  • Edukasi dan sosialisasi: kampanye publik, penyuluhan di sekolah, dan pelatihan komunitas tentang bahaya pembakaran sampah.
  • Penyediaan fasilitas teknis: Tempat Pembuangan Sementara (TPS), bank sampah, fasilitas 3R (reduce, reuse, recycle), serta program pengomposan.
  • Inovasi teknologi: pemanfaatan aplikasi digital untuk pemetaan titik sampah dan pengangkutan terjadwal.

📌 Contoh nyata: Surabaya berhasil mengembangkan program bank sampah yang melibatkan sekolah, kampung, dan komunitas lokal. Warga bisa menukar sampah dengan tabungan atau insentif, sehingga pembakaran sampah berkurang drastis.


2. Persuasif

Pendekatan ini menekankan komunikasi dan pembinaan:

  • Teguran langsung kepada pelaku sebelum dikenai sanksi.
  • Pelibatan tokoh masyarakat dan agama untuk memberi teladan.
  • Pemantauan berkelanjutan oleh RT/RW, karang taruna, dan komunitas lokal.

📌 Contoh nyata: Di Jakarta, beberapa kelurahan melibatkan tokoh agama dan ketua RT untuk mengingatkan warga agar tidak membakar sampah. Pendekatan ini lebih diterima karena datang dari figur yang dihormati.


3. Represif

Jika pelanggaran tetap terjadi, maka langkah represif harus diterapkan:

  • Sanksi pidana berupa kurungan hingga 6 bulan sesuai UU No. 18 Tahun 2008.
  • Denda maksimal Rp50 juta bagi pelaku pembakaran sampah sembarangan.
  • Penindakan tegas terhadap pelanggaran berulang atau yang mengancam keselamatan publik, misalnya pembakaran dekat sekolah atau fasilitas umum.

📌 Contoh nyata: Di Kubu Raya, Kalimantan Barat, pemerintah daerah sudah menetapkan ancaman kurungan dan denda. Namun, lemahnya pengawasan membuat aturan ini belum efektif. Hal ini menunjukkan pentingnya konsistensi penegakan hukum.


Pentingnya Sinergi

Ketiga pendekatan ini harus berjalan simultan. Jika hanya preventif tanpa represif, masyarakat akan menganggap larangan tidak serius. Jika hanya represif tanpa edukasi, masyarakat bisa merasa dipaksa tanpa solusi. Sinergi antara edukasi, pembinaan, dan penindakan hukum akan menciptakan perubahan perilaku yang berkelanjutan.


Dimensi Sosial dan Ekonomi

Mengapa masyarakat masih membakar sampah? Jawabannya tidak sesederhana “karena malas” atau “tidak peduli lingkungan”. Ada faktor sosial dan ekonomi yang membuat praktik ini tetap bertahan hingga kini.

1. Keterbatasan Infrastruktur

  • Tidak semua desa memiliki tempat pembuangan akhir (TPA).
  • Armada pengangkut sampah terbatas, sehingga tidak semua wilayah terlayani.
  • Fasilitas pemilahan belum merata, bank sampah dan 3R masih terkonsentrasi di kota besar.

2. Faktor Ekonomi

  • Biaya pengangkutan sampah membuat sebagian warga memilih membakar sampah.
  • Jasa informal sering mengangkut sampah lalu membakarnya di lahan terbuka.
  • Kurangnya insentif: masyarakat belum melihat nilai ekonomi dari pengelolaan sampah.

3. Faktor Sosial dan Budaya

  • Kebiasaan turun-temurun: membakar sampah dianggap wajar karena sudah dilakukan sejak lama.
  • Kurangnya edukasi lingkungan: minim sosialisasi membuat masyarakat tidak memahami bahaya jangka panjang.
  • Paradoks sosial: meski sadar udara tercemar, masyarakat tetap melakukannya karena “semua orang juga melakukannya”.

Contoh Program Sukses di Indonesia

Untuk mengatasi faktor sosial dan ekonomi, beberapa daerah telah meluncurkan program inovatif:

  • Bank Sampah Malang (Jawa Timur)
    Program ini memungkinkan warga menabung sampah layaknya menabung uang. Sampah yang dipilah memiliki nilai ekonomi, sehingga warga terdorong untuk mengelola sampah daripada membakarnya.
  • Kampung Bersih Surabaya (Jawa Timur)
    Pemerintah kota menggandeng sekolah, komunitas, dan RT/RW untuk lomba kebersihan kampung. Hasilnya, warga lebih aktif memilah sampah dan mengurangi praktik pembakaran.
  • Gerakan 3R di Yogyakarta
    Melalui kerja sama dengan komunitas lokal, warga diajak mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah. Program ini menekan jumlah sampah yang dibakar secara signifikan.

Tabel Program Sukses Pengelolaan Sampah di Indonesia

Program / LokasiStrategi UtamaDampak Positif bagi MasyarakatCatatan Inspiratif
Bank Sampah MalangWarga menabung sampah layaknya menabung uangSampah dipilah, warga mendapat nilai ekonomiMengubah persepsi sampah dari beban menjadi aset ekonomi.
Kampung Bersih SurabayaLomba kebersihan kampung, melibatkan RT/RWWarga aktif memilah sampah, pembakaran berkurang drastisDukungan pemerintah kota membuat program berkelanjutan dan kompetitif.
Gerakan 3R YogyakartaEdukasi komunitas: reduce, reuse, recycleSampah berkurang, kesadaran lingkungan meningkatKolaborasi komunitas lokal memperkuat rasa memiliki terhadap lingkungan.
Bank Sampah Induk BantulPengelolaan sampah terintegrasi dengan koperasiWarga mendapat insentif finansial dan sosialMenjadi model nasional untuk pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi sirkular.

Analisis

  • Kesamaan: Semua program menekankan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan.
  • Perbedaan: Malang fokus pada insentif ekonomi, Surabaya pada kompetisi sosial, Yogyakarta pada edukasi, Bantul pada integrasi koperasi.
  • Implikasi: Daerah lain bisa meniru sesuai konteks lokal, misalnya desa bisa mengadopsi model bank sampah, sementara kota besar bisa mengembangkan lomba kebersihan.

Implikasi

Akibat keterbatasan infrastruktur dan ekonomi, pembakaran dianggap solusi paling mudah. Namun, solusi instan ini justru menimbulkan masalah kesehatan, lingkungan, dan sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, penegakan hukum harus dibarengi pembangunan infrastruktur dan program pemberdayaan masyarakat agar warga memiliki alternatif nyata. Tanpa solusi teknis, larangan hanya akan menimbulkan resistensi dan dianggap tidak adil.


Dampak Lingkungan Jangka Panjang

Pembakaran sampah di pekarangan sering dianggap solusi cepat, tetapi dampaknya jauh lebih kompleks dan berbahaya. Tindakan lokal ini memiliki efek sistemik yang meluas hingga generasi mendatang.

1. Udara Tercemar

  • Gas beracun dan partikel halus (PM2.5) dari pembakaran sampah dapat bertahan lama di atmosfer.
  • Paparan jangka panjang meningkatkan risiko ISPA, asma, penyakit jantung, hingga kanker paru.
  • Data WHO menunjukkan polusi udara menyebabkan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahun di dunia, menjadikannya salah satu ancaman kesehatan terbesar.

2. Tanah Rusak

  • Residu abu dan mikroplastik dari pembakaran sampah masuk ke lapisan tanah.
  • Mikroplastik mengganggu struktur tanah, menurunkan kesuburan, dan menghambat pertumbuhan tanaman.
  • Di kawasan pertanian, residu kimia ini masuk ke rantai makanan melalui hasil panen, sehingga berdampak langsung pada kesehatan manusia.

3. Air Tanah Tercemar

  • Zat kimia berbahaya dari abu pembakaran meresap ke dalam air tanah.
  • Kontaminasi ini menurunkan kualitas air minum dan memicu penyakit kronis seperti gangguan ginjal.
  • Air tanah yang tercemar juga mengancam ekosistem perairan, termasuk sungai dan sawah yang bergantung pada sumber air tersebut.

Kasus Nyata di Indonesia

  • Jakarta: hampir 2 juta kasus ISPA tercatat sepanjang 2025, dengan lonjakan signifikan saat kualitas udara memburuk akibat polusi termasuk pembakaran sampah terbuka.
  • Surabaya: penelitian menemukan mikroplastik dalam air hujan, yang diyakini berasal dari pembakaran sampah plastik di ruang terbuka.
  • Jawa Barat: laporan pencemaran air tanah akibat limbah rumah tangga yang dibakar, menurunkan kualitas air sumur warga.

Dampak Sistemik

Pembakaran sampah adalah tindakan lokal dengan konsekuensi global:

  • Krisis iklim: gas rumah kaca dari pembakaran sampah memperburuk pemanasan global.
  • Ketahanan pangan: tanah yang rusak dan air tercemar menurunkan produktivitas pertanian.
  • Generasi mendatang: anak-anak mewarisi lingkungan yang lebih tercemar, dengan risiko kesehatan lebih tinggi.

Solusi Kolektif

Transformasi perilaku masyarakat dalam mengelola sampah tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak — pemerintah, sekolah, komunitas, pelaku usaha, hingga masyarakat itu sendiri — agar larangan pembakaran sampah benar-benar efektif.

1. Program Edukasi Lingkungan di Sekolah

  • Memasukkan materi pengelolaan sampah dan dampak pembakaran ke dalam kurikulum.
  • Melibatkan siswa dalam kegiatan bank sampah sekolah atau proyek daur ulang kreatif.
  • Menanamkan kesadaran sejak dini bahwa sampah bukan untuk dibakar, melainkan untuk dikelola.

2. Insentif Bank Sampah

  • Memberikan nilai ekonomi pada sampah melalui sistem tabungan atau penukaran barang.
  • Warga terdorong untuk memilah sampah karena ada keuntungan finansial.
  • Contoh sukses: Bank Sampah Malang yang menjadikan sampah sebagai aset ekonomi masyarakat.

3. Kompetisi Kampung Bersih

  • Mengadakan lomba kebersihan antar-kampung atau RT/RW.
  • Memberikan penghargaan bagi kampung yang berhasil mengurangi pembakaran sampah.
  • Strategi ini menumbuhkan rasa bangga kolektif dan memperkuat solidaritas warga.

4. Kerja Sama dengan Pelaku Usaha

  • Perusahaan dapat mendukung program pengelolaan sampah melalui CSR (Corporate Social Responsibility).
  • Industri daur ulang bisa bermitra dengan pemerintah daerah untuk mengolah sampah plastik dan organik.
  • Kolaborasi ini menciptakan ekonomi sirkular yang berkelanjutan.

Tabel Peran Pihak dalam Solusi Kolektif

PihakPeran UtamaContoh Implementasi
Sekolah & PendidikanEdukasi sejak dini, membentuk kebiasaan positif dalam pengelolaan sampahKurikulum lingkungan, bank sampah sekolah, lomba daur ulang kreatif
MasyarakatPartisipasi aktif dalam memilah dan mengurangi pembakaran sampahProgram kampung bersih, gotong royong, pelaporan pelanggaran
Pemerintah DaerahRegulasi, penyediaan infrastruktur, dan penegakan hukumTPS, TPA, fasilitas 3R, sosialisasi, penerapan sanksi pidana/denda
Pelaku UsahaMendukung pengelolaan sampah melalui CSR dan ekonomi sirkularKemitraan daur ulang plastik, insentif pengelolaan limbah, dukungan bank sampah
Komunitas Lokal/RT-RWPengawasan sosial, pembinaan, dan teladan bagi wargaTeguran persuasif, pemantauan berkelanjutan, pelibatan tokoh masyarakat
Media & InfluencerMenyebarkan informasi dan kampanye publik agar kesadaran meningkatKampanye anti pembakaran sampah, konten edukatif di media sosial

Analisis

  • Sekolah berperan sebagai fondasi edukasi jangka panjang.
  • Masyarakat adalah pelaku utama yang harus berubah perilakunya.
  • Pemerintah menyediakan regulasi dan infrastruktur.
  • Pelaku usaha memperkuat aspek ekonomi sirkular.
  • Komunitas lokal menjaga kedisiplinan sosial.
  • Media memperluas jangkauan edukasi.

Peran Sanksi Pidana

Meski solusi non-hukum penting, sanksi pidana tetap harus ditegakkan sebagai pagar moral dan yuridis. Tanpa sanksi, larangan hanya akan menjadi aturan “tak bertuan” yang tidak diindahkan. Hukuman yang konsisten:

  • Memberikan efek jera bagi pelanggar.
  • Menunjukkan bahwa hukum hadir untuk melindungi kepentingan bersama.
  • Menguatkan legitimasi program edukasi dan insentif yang dijalankan.

Penutup

Urgensi penegakan larangan pembakaran sampah di pekarangan bukanlah semata untuk menghukum sebanyak-banyaknya pelaku, melainkan untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah. Dari sesuatu yang dianggap beban dan dibakar habis, menjadi sesuatu yang dikelola dengan tanggung jawab dan bahkan bernilai bagi kehidupan.

Dengan hukum yang tegas sebagai pagar moral, infrastruktur yang memadai sebagai solusi teknis, serta kesadaran kolektif sebagai fondasi sosial, kita dapat menjaga udara tetap bersih, tanah tetap subur, dan air tetap layak dikonsumsi.

WHO menegaskan: “Polusi udara adalah ancaman kesehatan global yang menyebabkan jutaan kematian dini setiap tahun.”
KLHK menekankan: “Pembakaran sampah, baik rumah tangga maupun industri, adalah tindakan yang mencemari udara dan membahayakan masyarakat.”

Pembakaran sampah adalah tindakan lokal dengan dampak global. Jika kita gagal menghentikannya, generasi mendatang akan mewarisi lingkungan penuh polusi. Namun jika kita berhasil mengubah perilaku hari ini, mereka akan mewarisi masa depan yang lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan.

Foto Mirfat Nuha

Ditulis oleh : Mirfat Nuha

Mahasiswa Ilmu Komunikasi – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini terkait komunikasi, media, serta isu sosial dan pendidikan.

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.