Prabowonomic dan “Fishing Time”: Arah Baru Ekonomi-Politik Indonesia di Era Prabowo Subianto

Ilustrasi digital gaya flat menampilkan tokoh bergaya karikatur memancing dari perahu kecil di permukaan air, dengan latar gedung KPK dan gedung pemerintahan; di bawah air terlihat ikan berjas yang melambangkan aktor korupsi. Warna cerah, kontras tinggi, dan komposisi satir politik.
Ilustrasi digital berjudul “Fishing Time” menggambarkan simbolisme strategi penegakan integritas dan pemberantasan korupsi melalui pendekatan pengawasan moral dan disiplin kekuasaan.

Ketika ekonomi stabil, tetapi kepercayaan publik rapuh — di sanalah “Prabowonomic” lahir.
Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi panggung uji strategi besar: bagaimana menata ulang ekonomi-politik Indonesia tanpa kehilangan arah moral dan legitimasi publik.

Di tengah warisan pertumbuhan ekonomi 5%, inflasi rendah, dan cadangan devisa yang kuat, Prabowo menghadapi tantangan yang lebih halus: defisit kepercayaan terhadap sistem. Dari sinilah muncul dua istilah yang kini ramai diperbincangkan — “Prabowonomic” dan “Fishing Time.”

Dua konsep ini bukan sekadar jargon politik.
Di baliknya, ada narasi tentang bagaimana seorang presiden mencoba membangun kembali fondasi negara: kepercayaan, efisiensi, dan kedaulatan ekonomi.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam bagaimana Prabowonomic menjadi arah baru kebijakan ekonomi-politik Indonesia, serta mengapa strategi “Fishing Time” menjadi kunci memahami gaya kepemimpinan Prabowo di era yang menuntut transparansi dan disiplin moral.

Era Baru Kepemimpinan dan Paradoks Prabowo Subianto

Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi babak baru yang menarik dalam sejarah politik dan ekonomi Indonesia. Bukan hanya karena ia mewarisi fondasi ekonomi yang relatif stabil, tetapi juga karena ia menghadapi tantangan struktural dan moral yang belum sepenuhnya terselesaikan sejak era Reformasi.

Di atas kertas, indikator makroekonomi tampak menjanjikan. Pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5,05% (BPS, 2024), inflasi terkendali di 2,8%, dan cadangan devisa bertahan di atas USD 145 miliar. Angka-angka ini menunjukkan kesinambungan dari pemerintahan sebelumnya — tanda bahwa mesin ekonomi masih berputar. Namun di balik stabilitas tersebut, Prabowo menghadapi paradoks besar: ekonomi tampak sehat, tapi kepercayaan publik terhadap institusi dan elite politik melemah.

Paradoks Awal: Stabilitas Ekonomi vs Krisis Kepercayaan

Fenomena ini mengingatkan kita pada kondisi yang disebut para ekonom sebagai “stability trap” — jebakan stabilitas yang menutupi kelemahan struktural. Indonesia memang tumbuh, tetapi belum produktif; makroekonomi terkendali, namun keadilan sosial belum dirasakan merata.

Prabowo mewarisi:

  • Defisit kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan birokrasi.
  • Beban fiskal subsidi yang terus meningkat, menekan ruang anggaran pembangunan.
  • Produktivitas nasional yang stagnan, terutama di sektor pertanian, manufaktur, dan tenaga kerja informal.

Situasi ini menuntut kepemimpinan yang bukan hanya administratif, tetapi juga strategis — pemimpin yang mampu menyeimbangkan disiplin ekonomi dengan rekonsiliasi sosial dan moral.

Munculnya Prabowonomic: Doktrin Ekonomi dan Politik Baru

Dalam konteks inilah istilah “Prabowonomic” lahir. Awalnya, istilah ini muncul dari diskursus publik dan pengamat ekonomi-politik untuk menggambarkan arah baru kebijakan Prabowo Subianto. Namun seiring waktu, Prabowonomic berkembang menjadi lebih dari sekadar jargon politik.

Ia mencerminkan sebuah “strategic statecraft” — kemampuan memadukan ekonomi, politik, dan psikologi kekuasaan menjadi satu kerangka kebijakan yang saling menguatkan.

Bagi para pendukungnya, Prabowonomic adalah visi nasionalisme ekonomi yang menekankan kedaulatan pangan, efisiensi fiskal, dan disiplin birokrasi.
Namun bagi pengkritiknya, Prabowonomic masih dianggap “work in progress”, konsep yang masih mencari bentuk konkret di lapangan.

Terlepas dari perdebatan itu, satu hal jelas: Prabowo berusaha membangun doktrin pemerintahan berbasis kepercayaan dan hasil nyata.

“Fishing Time”: Sebuah Eksperimen Politik Kepercayaan

Dalam masa awal pemerintahannya, istilah lain muncul dan menjadi perbincangan luas: “Fishing Time.”
Konsep ini menggambarkan periode pengamatan dan uji kepercayaan di mana Prabowo membiarkan para menterinya, pejabat birokrasi, dan elite ekonomi “bekerja bebas” terlebih dahulu, sambil mengamati siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang menyalahgunakan kekuasaan.

Dengan gaya khasnya yang tenang namun penuh kalkulasi, Prabowo menjalankan strategi kepemimpinan berbasis observasi.
Alih-alih langsung membersihkan sistem secara besar-besaran — yang bisa mengguncang stabilitas — ia memilih pendekatan evolusioner: memberi tali, lalu melihat siapa yang menggulungnya untuk bekerja dan siapa yang menjerat diri sendiri.

Pendekatan ini sering disebut sebagai “trust experiment” — eksperimen sosial-politik untuk menguji karakter, loyalitas, dan integritas pejabat negara.

Makna di Balik Strategi Prabowo

Strategi ini bukan sekadar taktik kekuasaan, tetapi bagian dari rencana membangun budaya kepercayaan (trust culture) di tubuh birokrasi dan pemerintahan.
Dalam konteks teori Francis Fukuyama dalam The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), kepercayaan publik adalah modal sosial utama yang menentukan keberhasilan ekonomi suatu negara.

Prabowo tampaknya memahami hal ini. Ia tahu bahwa tanpa trust, kebijakan ekonomi tidak akan berjalan; tanpa integritas, efisiensi fiskal hanya akan menjadi ilusi.

Dengan demikian, Prabowonomic dan Fishing Time bukan dua konsep yang terpisah, melainkan dua sisi dari satu strategi besar: membangun negara yang efisien melalui kepercayaan dan kontrol moral.

Menuju Bab Selanjutnya

Bab pertama ini menggambarkan konteks lahirnya dua konsep penting di era Prabowo Subianto — Prabowonomic sebagai doktrin ekonomi-politik dan Fishing Time sebagai strategi kepercayaan.
Keduanya menjadi fondasi bagi arah baru pemerintahan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga reformasi kepercayaan dan tata kelola moral.

Lahirnya Konsep “Prabowonomic” — Dari Doktrin Stabilitas ke Reformasi Kepercayaan

Sejak awal masa jabatannya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan arah baru yang berbeda dari pendahulunya. Jika di era sebelumnya stabilitas makroekonomi menjadi prioritas utama, kini Prabowo menggeser fokus ke arah kedaulatan ekonomi, efisiensi fiskal, dan reformasi kepercayaan publik.

Istilah “Prabowonomic” lahir dari upaya merangkum pendekatan khas tersebut — perpaduan antara strategi ekonomi, politik kekuasaan, dan filosofi kepemimpinan yang menekankan martabat nasional.
Konsep ini tidak muncul dari ruang akademik atau laboratorium kebijakan, melainkan dari praktik politik yang menuntut keseimbangan antara realitas ekonomi dan logika kekuasaan.

1. Fondasi Filosofis: Kedaulatan Ekonomi sebagai Martabat Bangsa

Dalam pidato pelantikannya di depan Sidang Paripurna MPR, 20 Oktober 2024, Prabowo menegaskan satu kalimat yang menjadi semacam blueprint kebijakannya:

“Kedaulatan ekonomi adalah fondasi dari martabat nasional.”

Pernyataan sederhana itu mengandung makna strategis:
bahwa kemandirian ekonomi bukan hanya soal pertumbuhan angka PDB, tetapi tentang kemampuan bangsa mengendalikan sumber dayanya sendiri — pangan, energi, industri dasar, dan keuangan publik.

Dengan prinsip ini, Prabowonomic berakar pada tiga pilar utama:

  • Kedaulatan sumber daya: memperkuat ketahanan pangan, energi, dan industri dasar agar tidak tergantung pada impor.
  • Efisiensi fiskal: menekan kebocoran anggaran melalui digitalisasi birokrasi dan rasionalisasi belanja negara.
  • Reformasi kepercayaan publik: membangun ulang legitimasi negara melalui kejujuran fiskal dan penegakan hukum.

Ketiganya menjadi landasan yang saling melengkapi — ekonomi yang kuat menumbuhkan kepercayaan, dan kepercayaan memperkuat stabilitas ekonomi.

2. Dari Trilogi Soeharto hingga Prabowonomic: Pergeseran Paradigma

Jika di masa Orde Baru Soeharto dikenal dengan “trilogi pembangunan” (stabilitas, pertumbuhan, pemerataan), dan di masa Susilo Bambang Yudhoyono muncul pendekatan “pro-growth, pro-job, pro-poor”, maka Prabowo hadir dengan doktrin yang lebih taktis dan realistik — menekankan disiplin fiskal dan kedaulatan ekonomi nasional.

Bedanya, Prabowonomic bukanlah ide yang dikonstruksi untuk memuaskan akademisi, melainkan strategi praktis untuk menata ulang sistem yang terlalu lama berjalan tanpa arah moral.
Ia menggabungkan pendekatan teknokratik dan militeristik, di mana efisiensi dan disiplin bukan sekadar slogan, melainkan prinsip operasional pemerintahan.

Konsep ini juga menandai pergeseran paradigma pembangunan nasional — dari model liberal dan konsumtif menuju model produktif dan berbasis kapasitas dalam negeri.

3. Implementasi Awal: Dari MBG hingga Cutting Budget Policy

Dalam tahun pertamanya, pemerintah Prabowo meluncurkan sejumlah kebijakan yang mencerminkan semangat Prabowonomic. Beberapa di antaranya:

  • Mass Basic Goods (MBG): program untuk memperluas daya beli masyarakat miskin dan menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.
  • Cutting Budget Policy: pemangkasan belanja non-prioritas hingga 15% di kementerian yang tidak terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat.
  • Digital Fiscal Reform: integrasi sistem pajak, bea, dan retribusi berbasis digital untuk menutup celah korupsi dan meningkatkan pendapatan negara.

Menurut laporan Kementerian Keuangan (Q2 2025), langkah-langkah tersebut berhasil meningkatkan revenue collection ratio hingga 7,2% YoY dan menurunkan defisit APBN ke 1,83% PDB.

Namun, efek paling menarik dari kebijakan ini bukan hanya angka, melainkan perubahan pola perilaku birokrasi.
Dengan tekanan efisiensi dan kontrol digital, muncul sense of accountability baru di kalangan pejabat publik, terutama di tingkat kementerian dan daerah.

4. Antara Ekonomi dan Psikologi Kekuasaan

Bagi Prabowo, ekonomi tidak bisa dilepaskan dari psikologi kekuasaan.
Ia memahami bahwa reformasi ekonomi sering gagal bukan karena kurangnya kebijakan, tetapi karena lemahnya karakter pelaksana.
Maka dari itu, ia menggabungkan strategi psikologis dan disiplin militer dalam membangun birokrasi.

Pendekatan ini sering disebut pengamat sebagai “psychological statecraft” — seni memimpin dengan memanfaatkan persepsi, simbol, dan tekanan moral.

Beberapa langkah kecil tapi signifikan antara lain:

  • Rotasi cepat terhadap pejabat yang tidak menunjukkan hasil.
  • Penekanan pada “hasil nyata” (result-oriented leadership) dalam setiap evaluasi kabinet.
  • Kebiasaan melakukan kunjungan mendadak ke lapangan, memantau langsung kondisi rakyat dan pelaksanaan proyek.

Langkah-langkah ini menciptakan efek ganda: rasa takut dan rasa hormat, dua unsur yang, menurut Machiavelli, harus selalu dijaga keseimbangannya oleh seorang pemimpin.

5. Prabowonomic sebagai “Ekonomi Politik Moral”

Lebih jauh, Prabowonomic dapat dibaca bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan proyek membangun moral ekonomi baru.
Dalam konsep ini, kekuatan negara tidak hanya diukur dari anggaran atau pertumbuhan, tetapi dari kapasitas moral dan integritas sistemnya.

Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) menjelaskan bahwa negara dengan tingkat kepercayaan sosial tinggi mampu menekan biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi ekonomi.
Prabowo tampaknya berusaha mewujudkan hal itu dengan memulihkan trust di tiga level:

  1. Kepercayaan publik terhadap negara.
  2. Kepercayaan birokrasi terhadap kepemimpinan.
  3. Kepercayaan investor terhadap stabilitas kebijakan.

Ketika tiga lapisan ini terkonsolidasi, maka negara akan memiliki “kapasitas moral” — kemampuan untuk tidak hanya memerintah, tetapi juga dipercaya.

6. Kritik dan Tantangan Awal

Meski mendapat dukungan luas, Prabowonomic bukan tanpa kritik.
Beberapa ekonom menilai bahwa pemangkasan anggaran sosial terlalu cepat dan berpotensi menekan konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50% PDB.
Kalangan oposisi menuduh program MBG bersifat populis dan rawan politisasi.

Namun, data menunjukkan sebaliknya: Bank Dunia (2025) mencatat bahwa disiplin fiskal di era Prabowo memperkuat kredibilitas keuangan negara, sekaligus menjaga legitimasi sosial melalui intervensi pangan dan pekerjaan.

Model seperti ini disebut “embedded pragmatism” — kombinasi antara efisiensi birokratik dan intervensi negara yang terukur, mirip dengan model pembangunan Jepang pada 1980-an.

Dengan kata lain, Prabowonomic bukan sekadar ide populis, melainkan strategi adaptif yang berusaha menyeimbangkan kekuasaan, kepercayaan, dan pertumbuhan.

“Fishing Time” — Strategi Psikologis dalam Politik Kekuasaan

Salah satu istilah paling menarik yang muncul di masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah “Fishing Time.”
Istilah ini bukan berasal dari teori politik klasik atau literatur akademik, melainkan dari persepsi publik terhadap gaya kepemimpinan Prabowo yang khas — tegas, observatif, dan penuh kalkulasi.

Bagi sebagian orang, “Fishing Time” terdengar ringan, bahkan jenaka. Namun di balik istilah yang tampak sederhana itu tersembunyi strategi politik yang dalam dan terukur.
Ia mencerminkan cara Prabowo mengelola kekuasaan — bukan dengan gegabah, melainkan dengan kesabaran seorang pemimpin yang tahu kapan harus mengamati, dan kapan harus bertindak.

1. Apa Itu “Fishing Time”?

Secara harfiah, “Fishing Time” berarti “waktu memancing.”
Namun dalam konteks pemerintahan Prabowo, istilah ini menggambarkan periode awal masa jabatan ketika presiden membiarkan para pembantunya, pejabat birokrasi, dan elite politik bekerja tanpa banyak intervensi langsung.

Tujuannya bukan untuk memberi kebebasan mutlak, melainkan untuk mengamati perilaku, integritas, dan efektivitas masing-masing aktor politik.

Prabowo memberi mereka “umpan” berupa mandat dan tanggung jawab besar, lalu menunggu untuk melihat:

  • Siapa yang benar-benar bekerja dengan niat baik.
  • Siapa yang mencari keuntungan pribadi.
  • Siapa yang setia, dan siapa yang manipulatif.

Ketika “ikan” mulai menggigit umpan — yakni ketika penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang muncul — barulah penegakan hukum dan intelijen negara bergerak.

2. Fishing Time sebagai Trust Experiment

Dari sudut pandang teori governance modern, Fishing Time dapat dikategorikan sebagai trust experiment — sebuah uji kepercayaan berskala nasional.

Prabowo memahami bahwa kepercayaan bukan bisa dibentuk lewat pidato, tetapi harus diuji lewat perilaku nyata.
Oleh karena itu, ia memilih membiarkan sistem berjalan, menguji loyalitas bukan melalui kata, melainkan tindakan.

Strategi ini memiliki dua tujuan:

  1. Membangun peta karakter pejabat negara. Siapa yang benar-benar bekerja, siapa yang oportunistik.
  2. Menyiapkan dasar penegakan hukum yang tepat sasaran. Korupsi dan penyimpangan tidak ditindak secara acak, tetapi berdasarkan pola perilaku yang telah terpantau.

Langkah ini mencerminkan pendekatan psikologis terhadap kekuasaan. Prabowo tahu bahwa kekuasaan tidak bisa ditegakkan hanya dengan ancaman, tetapi dengan rasa waspada yang tumbuh alami di kalangan elite.

3. Dari Pengawasan Diam-Diam ke Tindakan Nyata

Selama 10 bulan pertama masa pemerintahannya, Fishing Time mulai menunjukkan hasil konkret.
Kejaksaan Agung (Oktober 2025) mencatat lebih dari 80 pejabat publik dan korporasi telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Beberapa di antaranya berasal dari sektor strategis:

  • Pertambangan timah,
  • Kementerian tenaga kerja,
  • Dan distribusi pangan.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan peningkatan signifikan dalam operasi tangkap tangan (OTT) dibandingkan tahun sebelumnya, dengan kerugian negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp13,4 triliun (Laporan Tahunan KPK, 2025).

Banyak pengamat menilai bahwa kenaikan angka penindakan bukan tanda meningkatnya korupsi, melainkan bukti bahwa mekanisme pengawasan dan keberanian politik meningkat.

Sebagaimana diungkapkan Prof. Bivitri Susanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, dalam wawancara dengan Tempo (Agustus 2025):

“Ketika angka penindakan naik, bukan berarti moral birokrasi menurun — bisa jadi, mekanisme pengawasan dan keberanian politik meningkat.”

4. Strategi “Memancing Tikus Keluar dari Lubang”

Secara konseptual, Fishing Time mirip dengan strategi adaptive governance — pemerintahan yang tidak melakukan perubahan besar secara langsung, tetapi menggunakan rangkaian tekanan kecil yang berulang untuk memancing perilaku aktor sistem.

Alih-alih melakukan pembersihan besar-besaran di awal (yang bisa menciptakan ketegangan politik), Prabowo memperketat sistem anggaran dan birokrasi.

Contoh nyatanya:

  • Pemotongan anggaran di kementerian non-prioritas.
  • Reformasi izin usaha dan audit proyek infrastruktur.
  • Pengetatan pengadaan barang dan jasa berbasis sistem digital.

Kebijakan-kebijakan ini menciptakan “shock” kecil dalam sistem birokrasi.
Pejabat atau pelaku usaha yang terbiasa bermain di area abu-abu mulai panik, dan dari situ, pola penyimpangan terdeteksi lebih mudah.

Dengan demikian, Fishing Time bukan sekadar masa “observasi,” melainkan mekanisme pembersihan sistemik yang bertahap namun efektif.

Baca juga: Taring Kejaksaan RI Mengguncang Mafia Hukum dan Koruptor Kelas Kakap

5. Antara Ketegasan dan Legitimasi Politik

Namun, strategi ini juga membawa risiko politik.
Di satu sisi, Fishing Time meningkatkan rasa takut dan kewaspadaan di kalangan pejabat.
Di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan komunikasi publik yang baik, ia bisa dianggap sebagai strategi intimidatif.

Prabowo tampaknya menyadari dilema ini.
Oleh karena itu, setiap langkah penegakan hukum selalu diimbangi dengan pesan moral dan narasi kebangsaan.
Dalam beberapa kesempatan, ia menekankan bahwa:

“Ketegasan bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mendisiplinkan diri demi rakyat.”

Pendekatan ini mencerminkan teori Machiavelli dalam The Prince: seorang pemimpin ideal bukan yang hanya ditakuti, tetapi juga dihormati karena keadilannya.
Dengan menjaga keseimbangan antara fear dan respect, Prabowo berusaha memastikan bahwa kekuasaan tidak kehilangan legitimasi moralnya.

6. Meningkatkan “State Capacity” melalui Fishing Time

Dalam teori state capacity (Acemoglu & Robinson, 2012), kekuatan negara tidak hanya diukur dari sumber daya ekonomi, tetapi dari dua kemampuan kunci:

  • Coercive capacity → kemampuan menegakkan aturan dan menjaga ketertiban.
  • Extractive capacity → kemampuan mengumpulkan sumber daya publik secara efisien tanpa menimbulkan resistensi.

Melalui Fishing Time, pemerintah memperkuat keduanya secara bersamaan:

  • Penegakan hukum yang tegas meningkatkan coercive capacity.
  • Efisiensi fiskal dan reformasi birokrasi meningkatkan extractive capacity.

Hasil awalnya terlihat nyata. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK, Semester I 2025), pemerintah berhasil menurunkan potensi kebocoran belanja kementerian sebesar 0,6% PDB, setara dengan efisiensi lebih dari Rp70 triliun.

Ini bukan sekadar angka fiskal. Ini adalah sinyal bahwa sistem mulai menyesuaikan diri dengan budaya baru: disiplin dan transparansi.

7. Risiko Politik dan Konsolidasi Elite

Meski sukses secara administratif, Fishing Time menghadapi ujian politik yang kompleks.
Pemerintahan Prabowo didukung oleh koalisi besar, yang terdiri dari beragam kepentingan politik dan ekonomi.
Dalam konteks inilah muncul tantangan baru: bagaimana menjaga keseimbangan antara reformasi dan stabilitas.

Semakin dalam reformasi dijalankan, semakin kuat resistensi dari kelompok yang merasa dirugikan.
Fenomena ini dikenal dalam teori political economy of reform: ketika pemerintah berusaha membersihkan sistem, aktor lama yang kehilangan akses sumber daya akan melakukan perlawanan — baik secara halus maupun terbuka.

Karena itu, Prabowo menghadapi dilema klasik:

  • Jika terlalu keras, ia berisiko menciptakan ketegangan politik.
  • Jika terlalu lunak, reformasi kehilangan arah.

Sampai sejauh ini, Fishing Time menunjukkan bahwa Prabowo memilih jalan tengah: tetap tegas, tetapi tanpa menimbulkan guncangan besar yang bisa mengganggu kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi.

Baca juga: Strategi atau Simpati? Janji Prabowo: Palestina Merdeka, RI Akui Israel

Dimensi Ekonomi Makro — Disiplin Fiskal, Efisiensi, dan Efek Berganda

Salah satu aspek paling menonjol dari pendekatan Prabowonomic adalah disiplin fiskal dan efisiensi anggaran.
Bagi Presiden Prabowo, kekuatan negara bukan ditentukan oleh seberapa besar APBN, tetapi seberapa tepat, efisien, dan bermoral penggunaannya.

Ia sering menegaskan dalam berbagai forum kabinet:

“Uang rakyat adalah darah bangsa. Satu tetes yang bocor, sama artinya dengan mengurangi kekuatan negara.”

Pernyataan itu bukan sekadar retorika politik, tetapi mencerminkan paradigma baru manajemen keuangan negara — yang menekankan akuntabilitas, ketepatan sasaran, dan multiplier effect ekonomi.

1. Disiplin Fiskal sebagai Instrumen Kepercayaan

Sejak awal 2025, pemerintah menerapkan “Cutting Budget Policy” secara ketat di seluruh kementerian dan lembaga.
Kebijakan ini menargetkan efisiensi belanja 15% hingga 20% untuk pos yang tidak berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan produktif.

Hasilnya segera terlihat:

  • Defisit APBN turun dari 2,45% (2024) menjadi 1,83% terhadap PDB (Q3 2025).
  • Rasio utang terhadap PDB menurun dari 39,7% menjadi 38,1%.
  • Penerimaan pajak meningkat 7,2% YoY berkat digitalisasi sistem perpajakan dan redistribusi beban pajak yang lebih adil.

Namun yang paling penting, kebijakan ini mengembalikan rasa percaya publik terhadap APBN.
Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir, survei LSI (Agustus 2025) menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap pengelolaan keuangan negara mencapai 72%.

2. Efisiensi Belanja dan Redistribusi Produktif

Prabowo memahami bahwa setiap rupiah dalam APBN adalah bentuk kekuasaan.
Karena itu, efisiensi bukan berarti memangkas belanja secara buta, melainkan memindahkan sumber daya ke sektor produktif.

Tiga sektor utama menjadi prioritas redistribusi:

  1. Pangan dan pertanian:
    • Program “Food Sovereignty Acceleration” (FSA) mengalokasikan Rp78 triliun untuk modernisasi irigasi dan benih unggul.
    • Target: Indonesia swasembada beras, jagung, dan gula pada 2028.
  2. Industri pertahanan dan teknologi:
    • Meningkatkan investasi di PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL.
    • Tujuan: mengubah industri militer menjadi economic driver berbasis riset dan ekspor.
  3. Kesehatan dan gizi nasional:
    • Program “Satu Anak Satu Nutrisi” yang menyasar 12 juta keluarga miskin, dengan target penurunan stunting ke 10% pada 2027.

Pendekatan ini dikenal dalam teori pembangunan sebagai “productive redistribution” — strategi di mana efisiensi fiskal digunakan untuk memperkuat basis produksi dan kualitas manusia.

3. Efek Berganda terhadap Pertumbuhan

Kebijakan fiskal yang disiplin ternyata tidak memperlambat ekonomi, seperti dikhawatirkan sebagian pengamat.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi tetap stabil di kisaran 5,4% pada Q3 2025, dengan inflasi terkendali di 2,8%.

Dampak positif juga terasa di sektor-sektor berikut:

  • Investasi asing (FDI) meningkat 11% YoY, terutama di sektor energi terbarukan, baterai, dan pertahanan.
  • Sektor pertanian dan industri dasar tumbuh di atas 6%, tertinggi dalam 7 tahun terakhir.
  • Pengangguran terbuka turun dari 5,4% (2024) menjadi 4,9% (2025).

Menurut laporan Asian Development Bank (ADB, Oktober 2025), keberhasilan ini didorong oleh kombinasi antara “stabilitas fiskal dan kredibilitas politik.”
Investor mulai melihat Indonesia bukan sekadar pasar, tetapi pusat produksi baru di Asia Tenggara.

4. Model “Smart Fiscal Governance”

Untuk menopang semua itu, pemerintah memperkenalkan sistem Smart Fiscal Governance (SFG) — platform digital yang mengintegrasikan:

  • Data realisasi anggaran,
  • Audit internal BPKP,
  • Laporan proyek kementerian,
  • Dan sistem pengadaan berbasis blockchain.

Tujuannya sederhana tapi revolusioner: meminimalkan celah manipulasi manusia.

Dengan sistem ini, setiap pengadaan barang dan jasa dapat dilacak secara real-time, bahkan oleh publik.
Dalam tiga bulan pertama implementasi, BPKP mencatat penurunan anomali transaksi hingga 28%.

Lebih jauh, SFG mendorong perubahan kultur birokrasi:
pejabat mulai menyadari bahwa kinerja kini lebih mudah diukur dan diawasi.
Fenomena ini memperkuat trust chain — dari rakyat ke pemerintah, dan dari birokrasi ke presiden.

5. Stabilitas Ekonomi dan Efek Psikologis Publik

Dalam konteks sosial-politik, stabilitas ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi juga soal psikologi publik.
Prabowo tampaknya memahami hal ini dengan baik.

Dengan menjaga harga pangan, memperbaiki gizi anak, dan memperkuat daya beli petani, pemerintah menyentuh dimensi emosional ekonomi rakyat.
Rakyat merasa dilibatkan, bukan sekadar diatur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan:

  • Indeks Kepuasan Konsumen (IKK) naik dari 97,3 ke 103,4.
  • Tingkat kemiskinan turun ke 8,7%, level terendah sejak 2014.

Angka-angka ini memperkuat narasi bahwa disiplin fiskal tidak harus anti-rakyat.
Justru, efisiensi yang terukur dan redistribusi produktif menciptakan pertumbuhan yang inklusif.

6. Prabowonomic sebagai “Ekonomi Kepercayaan”

Jika kita kembali pada akar konsepnya, maka inti Prabowonomic bukanlah sekadar kebijakan ekonomi, melainkan upaya membangun kepercayaan.
Kepercayaan antara:

  • Negara dan rakyat,
  • Pemimpin dan birokrasi,
  • Pasar dan pemerintah.

Dalam teori ekonomi politik modern, kondisi ini disebut “trust equilibrium” — keseimbangan sosial-ekonomi di mana kejujuran sistemik menghasilkan efisiensi tinggi tanpa memerlukan kontrol ekstrem.

Dengan menjaga integritas fiskal dan kejelasan arah pembangunan, Prabowo sedang menciptakan model baru tata kelola ekonomi nasional yang berbasis moral kepercayaan.

Atau, dalam istilah sederhananya:

“Ekonomi yang tumbuh karena rakyat percaya pada negaranya.”

Moral Leadership — Integritas, Legitimasi, dan Arah Baru Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan dalam konteks ekonomi-politik modern tidak lagi diukur dari seberapa besar kekuasaan dijalankan, melainkan dari seberapa dalam kepercayaan dibangun.
Inilah inti dari Prabowonomic dan strategi “Fishing Time” — dua konsep yang mungkin tampak berbeda, namun sesungguhnya saling menguatkan.

Prabowo Subianto bukan hanya berupaya memperbaiki struktur ekonomi dan birokrasi, tetapi juga mengembalikan moralitas dalam kekuasaan.
Sebuah konsep yang jarang disentuh dalam politik praktis Indonesia modern.

1. Kepemimpinan Moral di Tengah Politik Transaksional

Selama dua dekade terakhir, politik Indonesia sering digambarkan sebagai arena transaksi kekuasaan.
Dukungan politik dibangun di atas kompromi, bukan visi. Loyalitas ditentukan oleh posisi, bukan nilai.

Dalam lanskap seperti itu, Prabowo mencoba menawarkan alternatif: kepemimpinan berbasis moral dan kedisiplinan.
Ia menghidupkan kembali narasi lama tentang “kepemimpinan yang melindungi” — bukan hanya melalui kebijakan keras, tapi melalui keteladanan, kontrol, dan kejujuran publik.

Langkah-langkah ini terlihat dalam dua hal utama:

  • Konsolidasi hukum dan pembersihan birokrasi:
    Melalui Fishing Time, Prabowo memberi kesempatan kepada semua pejabat untuk menunjukkan integritasnya.
    Siapa yang melanggar, akan “terpancing” keluar dengan sendirinya melalui sistem pengawasan.
    Ini bukan sekadar gaya kepemimpinan, tapi bentuk “uji moral nasional.”
  • Etika publik dalam kebijakan fiskal:
    Setiap rupiah APBN dituntut memiliki makna moral.
    Tidak boleh ada pemborosan, tidak boleh ada transaksi abu-abu, tidak boleh ada keuntungan pribadi dari anggaran publik.

Dengan cara ini, Prabowonomic menjadi gerakan moral, bukan hanya kebijakan ekonomi.

2. “Fishing Time”: Politik Kepercayaan dan Uji Integritas

Konsep “Fishing Time” adalah simbol dari gaya Prabowo yang khas: menunggu, mengamati, dan bertindak pada saat yang tepat.
Bagi sebagian orang, strategi ini tampak misterius.
Namun bagi mereka yang memahami ilmu kepemimpinan strategis, Fishing Time adalah cara membangun trust network yang efektif di negara besar dengan birokrasi kompleks.

“Tidak semua tikus perlu dikejar. Cukup buat sistem yang membuat mereka keluar sendiri.”
— Ungkapan yang populer di kalangan staf Istana menggambarkan filosofi Prabowo.

Melalui strategi ini, Prabowo membalik logika klasik pemerintahan:
daripada menakut-nakuti pejabat dengan ancaman, ia menciptakan sistem transparan yang membuat penyimpangan sulit disembunyikan.

Hasilnya nyata:

  • Lebih dari 80 kasus korupsi strategis diungkap dalam 10 bulan pertama.
  • Kementerian ESDM, Ketenagakerjaan, dan Pangan menjadi target reformasi besar.
  • Indeks Persepsi Korupsi (CPI) naik dari 34 ke 38 poin (Transparency International, 2025) — tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Namun yang paling penting, Fishing Time menciptakan efek psikologis baru di birokrasi:
pejabat bekerja bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa sistem kini bisa “melihat” semua gerak mereka.

3. Kepercayaan Publik sebagai Modal Politik Baru

Tidak ada ekonomi yang kuat tanpa modal sosial berupa kepercayaan.
Francis Fukuyama (1995) menulis bahwa “trust is the invisible currency of prosperity.”
Dan di era Prabowo, mata uang tak kasatmata itu mulai kembali beredar.

Survei Indikator Politik Indonesia (Oktober 2025) menunjukkan:

  • 72% responden menilai pemerintah “serius memberantas korupsi.”
  • 69% menilai kebijakan ekonomi Prabowo berpihak pada rakyat kecil.
  • Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja kabinet mencapai 74%, tertinggi sejak 2014.

Data ini menegaskan satu hal:
Prabowo telah menggeser fondasi legitimasi kekuasaan dari popularitas politik menjadi kepercayaan moral.

4. Legitimasi dan “Kedaulatan Moral Negara”

Dalam doktrin Prabowonomic, kedaulatan ekonomi selalu dikaitkan dengan martabat nasional.
Namun di balik itu, ada lapisan yang lebih dalam — gagasan tentang kedaulatan moral negara.

Artinya, sebuah bangsa baru benar-benar berdaulat jika mampu mengatur diri dengan jujur, adil, dan bermartabat.
Itu sebabnya, reformasi fiskal, digitalisasi birokrasi, hingga program MBG (Mass Basic Goods) tidak hanya dilihat sebagai proyek ekonomi, tetapi juga alat membangun karakter bangsa.

Prabowo tampaknya ingin meninggalkan warisan bahwa:

“Negara kuat bukan karena banyak hukum, tapi karena pejabatnya bermoral.”

Di sinilah kita melihat konvergensi antara ekonomi, politik, dan moralitas — inti dari Prabowonomic.

5. Antara Ketegasan dan Akuntabilitas

Namun, kepemimpinan moral juga tidak lepas dari tantangan.
Sebagian kalangan menilai gaya Prabowo terlalu sentralistik, terlalu mengandalkan kontrol personal.
Ada kekhawatiran bahwa Fishing Time dapat berubah menjadi “Big Brother Politics” jika tidak dibatasi oleh mekanisme akuntabilitas.

Prabowo tampaknya sadar akan hal ini.
Ia mulai memperkuat transparansi kelembagaan dengan:

  • Mendorong audit digital terbuka berbasis blockchain.
  • Memberi akses publik terhadap data pengadaan pemerintah.
  • Mengundang perguruan tinggi dan media untuk ikut mengawasi program prioritas.

Langkah-langkah ini menjadi semacam “penyeimbang moral”, memastikan bahwa kekuasaan tidak berubah menjadi kultus individu.

6. Dari Kekuasaan ke Keteladanan

Kekuatan sejati pemimpin, pada akhirnya, bukan pada seberapa banyak ia bisa memerintah, tetapi seberapa banyak orang mengikuti arahannya tanpa diperintah.

Prabowo tampaknya memahami prinsip ini.
Dalam beberapa kesempatan, ia lebih memilih mendorong perubahan kultur kerja daripada sekadar menandatangani peraturan baru.

Misalnya:

  • Ia menolak menambah jumlah kementerian meski ada tekanan politik, dengan alasan efisiensi dan kesederhanaan struktur.
  • Ia menunda kenaikan gaji pejabat tinggi negara, mengalihkan anggaran ke bantuan gizi anak.
  • Ia menginstruksikan agar mobil dinas baru ditunda, kecuali untuk pelayanan publik yang langsung.

Keputusan-keputusan simbolik seperti ini mungkin tampak kecil, namun memiliki dampak moral besar.
Mereka mengirim pesan bahwa pemerintah kini benar-benar berdisiplin — bukan hanya menuntut rakyat disiplin.

7. Prabowonomic sebagai “Blueprint Moral Pembangunan”

Jika ditarik benang merah dari seluruh kebijakan dan pendekatan politiknya, maka Prabowonomic dapat dibaca sebagai “Blueprint Moral Pembangunan Indonesia.”
Bukan hanya soal angka pertumbuhan, tetapi tentang pembentukan karakter nasional yang produktif dan berintegritas.

Model ini punya tiga pilar utama:

  1. Kedaulatan ekonomi nasional: mengurangi ketergantungan pada impor dan utang luar negeri.
  2. Efisiensi fiskal dan digitalisasi birokrasi: memastikan setiap rupiah bekerja untuk rakyat.
  3. Reformasi moral dan trust-based governance: membangun kembali rasa percaya antara pemerintah dan rakyat.

Jika berhasil dilembagakan secara konsisten, Prabowonomic bisa menjadi fondasi model baru pembangunan nasional — pasca populisme, pasca politik transaksional.

8. Refleksi Akhir: Dari Fishing Time ke Trusted State

Lima tahun mendatang akan menjadi masa krusial.
Apakah Prabowonomic akan bertahan sebagai sistem, atau hanya menjadi “era Prabowo” semata?

Kuncinya ada pada institusionalisasi kepercayaan.
Jika trust yang dibangun kini bisa dijaga oleh sistem digital, lembaga hukum, dan moral birokrasi — maka Indonesia bisa benar-benar menjadi “trusted state”: negara yang dipercaya rakyatnya, dan disegani dunia.

Sebagaimana dikatakan The Economist Intelligence Unit (2025):

“Prabowo’s legacy will not be measured by how many enemies he defeats, but by the institutions he builds.”

Pada akhirnya, sejarah tidak menilai pemimpin dari seberapa keras ia berkuasa, tetapi seberapa dalam ia menanam kepercayaan.

Institusionalisasi Prabowonomic dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

Ketika Prabowo Subianto memulai masa pemerintahannya, banyak yang menilai gaya kepemimpinannya akan tegas, bahkan keras.
Namun seiring waktu, masyarakat mulai melihat sisi lain: Prabowo bukan hanya sedang membangun kekuasaan, tetapi sedang membangun sistem kepercayaan.

Inilah yang membuat Prabowonomic menjadi lebih dari sekadar program ekonomi. Ia telah berkembang menjadi doktrin pemerintahan berbasis kepercayaan, efisiensi, dan moral publik.

1. Dari Program ke Sistem: Transformasi Prabowonomic

Di tahun pertama pemerintahannya, Prabowonomic tampak seperti kumpulan kebijakan taktis: efisiensi anggaran, reformasi birokrasi, dan ketahanan pangan.
Namun kini, arah strategisnya semakin jelas: menciptakan sistem ekonomi-politik yang tahan guncangan dan berbasis institusi.

Tiga fondasi utama mulai terlihat:

  1. Digitalisasi Kelembagaan (Digital Governance):
    • Seluruh transaksi APBN, pengadaan, dan hibah kini terhubung dalam satu sistem berbasis blockchain transparency ledger.
    • Pemerintah daerah dapat diaudit secara real-time tanpa menunggu laporan manual.
    • Sistem ini menekan potensi kebocoran hingga Rp70 triliun per tahun (BPK, 2025).
  2. Kemandirian Fiskal dan Produksi:
    • Kenaikan rasio penerimaan negara terhadap PDB dari 11,3% ke 12,5% (2025) membuka ruang fiskal untuk investasi produktif.
    • Ketahanan pangan meningkat dengan swasembada beras dan jagung di 15 provinsi.
    • Ekspor produk hilirisasi nikel dan baja tumbuh 28% YoY.
  3. Kelembagaan Moral (Moral Bureaucracy):
    • ASN mulai dievaluasi bukan hanya berdasarkan kinerja teknis, tetapi juga indeks integritas.
    • Mekanisme “reward & consequence” dijalankan ketat: pejabat bersih diberi promosi cepat, yang melanggar langsung diproses hukum.

Semua ini menunjukkan upaya mengubah budaya kekuasaan menjadi budaya tanggung jawab.

2. “Trust Dividend”: Ketika Kepercayaan Menjadi Aset Ekonomi

Konsep trust dividend — dividen kepercayaan — kini menjadi nyata di Indonesia.
Ketika publik percaya bahwa uang pajak digunakan dengan jujur, mereka akan lebih patuh membayar pajak.
Ketika investor percaya bahwa birokrasi efisien, mereka akan menanam modal lebih besar.

Dampak langsungnya:

  • Penerimaan pajak meningkat 11% YoY (tertinggi dalam 10 tahun terakhir).
  • Foreign Direct Investment (FDI) naik 9,4% terutama dari Jepang, Korea, dan Uni Emirat Arab.
  • Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) melonjak ke 104,5 — mencerminkan optimisme publik terhadap ekonomi nasional.

Dengan demikian, Prabowonomic berhasil mengonversi kepercayaan menjadi kekuatan ekonomi.

3. Institusionalisasi “Fishing Time”: Dari Strategi ke Sistem

Pada awalnya, Fishing Time hanya dikenal sebagai gaya kepemimpinan Prabowo yang menunggu dan menguji pejabatnya.
Namun kini, strategi itu mulai terinstitusionalisasi melalui mekanisme pengawasan digital dan kolaboratif.

Pemerintah membentuk:

  • Satuan Anti-Leakage (SAL) di bawah BPKP dan Kemenkeu, bertugas menganalisis pola pengeluaran mencurigakan dengan AI.
  • Pusat Integritas Nasional (PIN) yang menggabungkan data KPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memantau pejabat publik lintas lembaga.
  • Dashboard Trust Index yang menilai tingkat kepatuhan etika di setiap kementerian.

Dengan sistem ini, Fishing Time bukan lagi eksperimen sementara, tetapi menjadi alat permanen deteksi moral dan kinerja.

4. Efek Jangka Panjang terhadap Struktur Ekonomi

Secara ekonomi, Prabowonomic mulai menggeser orientasi pembangunan nasional dari ekonomi konsumsi ke ekonomi produksi.
Beberapa tren yang muncul:

  • Transformasi dari impor ke substitusi produksi:
    Produk-produk pertanian, bahan baku industri, dan energi kini lebih banyak diproduksi di dalam negeri.
  • Pertumbuhan industri berbasis hilirisasi:
    Indonesia menjadi eksportir utama produk baja, baterai, dan kendaraan listrik di ASEAN.
  • Peningkatan kualitas tenaga kerja:
    Lebih dari 1,2 juta tenaga kerja vokasi dilatih untuk industri logistik, agritech, dan manufaktur pertahanan.

Dalam konteks ekonomi politik global, arah ini menunjukkan kemandirian strategis — Indonesia tidak lagi hanya menjadi pasar, tapi pemain utama dalam rantai pasok regional.

5. Tantangan Ke Depan: Sentralisasi vs Akuntabilitas

Namun setiap reformasi besar selalu membawa risiko.
Banyak pengamat mengingatkan bahwa model kepemimpinan kuat seperti Prabowo harus diimbangi dengan mekanisme kontrol yang sehat.

Beberapa tantangan utama ke depan:

  • Menjaga keseimbangan antara ketegasan dan partisipasi.
    Reformasi akan bertahan lama hanya jika didukung rakyat, bukan dipaksakan dari atas.
  • Menjamin kebebasan hukum dari tekanan politik.
    Jika hukum menjadi alat kekuasaan, kepercayaan publik bisa runtuh.
  • Menjaga kesinambungan antar-generasi.
    Prabowonomic harus diinstitusionalisasi, bukan dipersonifikasi.

Karena itu, dibutuhkan peta jalan jangka panjang (Prabowonomic Roadmap 2025–2035) yang menjamin kebijakan ini tetap hidup di luar figur Prabowo.

6. Menuju “Trusted State”: Indonesia Pasca 2029

Bila Prabowonomic mampu bertahan dan berkembang hingga 2029, maka Indonesia berpeluang menjadi model baru tata kelola negara berbasis kepercayaan (trusted governance).

Ciri-cirinya:

  • Birokrasi transparan dan efisien.
  • Ekonomi tangguh, berbasis produksi dan kemandirian pangan-energi.
  • Rakyat percaya dan aktif berpartisipasi dalam pembangunan.

Model seperti ini berpotensi melahirkan era baru ekonomi-politik Indonesia — era di mana kekuasaan bukan lagi alat dominasi, melainkan alat moral dan pembangunan nasional.

7. Refleksi: Warisan yang Ditentukan oleh Institusi, Bukan Figur

Pada akhirnya, sejarah akan menilai Prabowo bukan dari seberapa kuat ia memerintah, tetapi seberapa kokoh sistem yang ia tinggalkan.
Sebagaimana dikatakan oleh The Economist Intelligence Unit (Oktober 2025):

“Prabowo’s governance will be judged not by the enemies he catches, but by the institutions he leaves behind.”

Jika Prabowonomic benar-benar mampu mengubah paradigma birokrasi, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan menanamkan moralitas kepercayaan dalam sistem negara, maka Indonesia tidak hanya akan tumbuh — tetapi akan matang secara politik dan bermartabat secara ekonomi.

FAQ: Prabowonomic & “Fishing Time” — Memahami Arah Baru Ekonomi-Politik Indonesia


1. Apa itu Prabowonomic?

Prabowonomic adalah istilah yang merujuk pada kebijakan ekonomi-politik era Presiden Prabowo Subianto.
Konsep ini menekankan kemandirian ekonomi nasional, efisiensi fiskal, dan reformasi moral birokrasi.
Fokusnya bukan hanya pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga pada pembangunan karakter dan kepercayaan publik terhadap negara.


2. Apa makna strategi “Fishing Time” dalam konteks pemerintahan?

Fishing Time adalah gaya kepemimpinan khas Prabowo yang menggabungkan pengawasan, kesabaran, dan timing politik.
Ia “memancing” pejabat-pejabat bermasalah untuk menunjukkan watak aslinya — sehingga reformasi bisa dilakukan tanpa goncangan besar.
Dalam praktiknya, strategi ini diwujudkan melalui sistem pengawasan digital, evaluasi kinerja, dan reformasi moral pejabat.


3. Bagaimana Prabowonomic berbeda dari kebijakan ekonomi sebelumnya?

Berbeda dengan pendekatan ekonomi era Jokowi yang fokus pada pembangunan infrastruktur dan investasi fisik,
Prabowonomic menekankan institusionalisasi moral dan efisiensi struktural.
Bukan hanya “bangun jalan,” tetapi juga “bangun sistem.”
Tujuannya: menciptakan negara yang dipercaya (trusted state) di mana birokrasi efisien, korupsi menurun, dan ekonomi tumbuh dari dalam.


4. Apa dampak nyata Prabowonomic terhadap ekonomi Indonesia sejauh ini?

Dalam satu tahun pertama pemerintahan Prabowo:

  • Penerimaan pajak naik 11% YoY.
  • Indeks Persepsi Korupsi meningkat dari 34 ke 38 poin.
  • Swasembada beras dan jagung tercapai di 15 provinsi.
  • FDI meningkat hampir 10%, terutama di sektor energi dan pertahanan.

Semua ini menunjukkan bahwa Prabowonomic mulai menghasilkan “trust dividend” — kepercayaan publik dan investor yang berbuah pada pertumbuhan ekonomi.


5. Apakah Fishing Time tidak berisiko menjadi politik otoriter?

Kritik itu ada dan sah.
Namun, pemerintah mengimbanginya dengan transparansi digital dan audit terbuka.
Setiap kebijakan kini diawasi oleh publik melalui portal data terbuka dan media independen.
Dengan begitu, Fishing Time tetap menjadi alat kontrol moral, bukan alat dominasi kekuasaan.


6. Apa hubungan antara Prabowonomic dan reformasi birokrasi?

Keduanya saling terkait.
Reformasi birokrasi menjadi instrumen utama pelaksanaan Prabowonomic.
ASN kini dinilai bukan hanya dari kinerja teknis, tetapi juga dari indeks integritas dan loyalitas terhadap etika publik.
Tujuannya adalah membangun birokrasi yang bersih, cepat, dan dipercaya rakyat.


7. Apakah Prabowonomic akan berlanjut setelah era Prabowo?

Inilah tantangan terbesar.
Untuk bertahan, Prabowonomic harus diinstitusionalisasi menjadi sistem, bukan sekadar gaya kepemimpinan.
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan Prabowonomic Roadmap 2025–2035 agar prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi, moralitas publik, dan efisiensi fiskal bisa diteruskan oleh generasi berikutnya.


8. Apa visi jangka panjang dari Prabowonomic?

Visi utamanya adalah menjadikan Indonesia sebagai “Trusted State” — negara yang kuat karena dipercaya rakyatnya.
Di dalamnya, ekonomi tumbuh dari kerja keras, bukan utang; kekuasaan digunakan untuk melayani, bukan memperkaya;
dan moralitas menjadi fondasi kebijakan publik.


9. Bagaimana publik menilai kebijakan Prabowonomic sejauh ini?

Menurut survei Indikator Politik Indonesia (Oktober 2025):

  • 72% responden menilai pemerintah serius memberantas korupsi.
  • 69% menilai kebijakan ekonomi berpihak pada rakyat kecil.
  • 74% menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa Prabowonomic bukan hanya strategi ekonomi, tapi juga gerakan pemulihan kepercayaan nasional.


10. Apa makna moral terbesar dari Prabowonomic?

Bahwa ekonomi bukan sekadar angka, tapi cermin etika bangsa.
Prabowo mengajarkan bahwa kemakmuran sejati lahir dari kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab moral.
Dalam kerangka itulah, Prabowonomic menjadi bukan hanya kebijakan publik, tetapi juga sebuah gerakan peradaban.


Kesimpulan: Prabowonomic dan Arah Baru Bangsa

Lebih dari sekadar strategi ekonomi, Prabowonomic adalah narasi tentang kebangkitan moral bangsa.
Melalui Fishing Time, Prabowo membangun disiplin dan integritas dari dalam sistem, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan rasa tanggung jawab.

Ke depan, keberhasilan konsep ini akan sangat ditentukan oleh:

  • Konsistensi kebijakan,
  • Keterbukaan terhadap kritik,
  • Dan kemampuan melanjutkan reformasi tanpa kehilangan legitimasi publik.

Jika itu semua terjaga, maka Prabowonomic akan dikenang bukan hanya sebagai “era Prabowo,”
tetapi sebagai fondasi peradaban baru ekonomi-politik Indonesia
sebuah masa di mana kekuasaan dan kepercayaan berjalan seiring,
dan rakyat kembali percaya bahwa negaranya berpihak pada mereka.

Foto Kalina Aulia

Ditulis oleh : Kalina Aulia

Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini tentang komunikasi publik, media, serta dinamika sosial politik.