Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia

Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia
masih menjadi masalah serius yang menghambat pembangunan nasional dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tindakan ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga menggerus nilai moral dan etika publik yang seharusnya menjadi landasan perilaku setiap warga negara. Dalam konteks ini, Pancasila memiliki peran penting sebagai pedoman moral dan ideologi bangsa yang dapat menjadi fondasi utama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis relevansi nilai-nilai Pancasila terhadap strategi dan praktik antikorupsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah pendekatan deskriptif-kualitatif argumentatif, dengan menelaah keterkaitan antara setiap sila Pancasila dan prinsip-prinsip integritas publik berdasarkan literatur akademik, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta landasan hukum seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga: Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan yang Berkelanjutan

Hasil kajian menunjukkan bahwa praktik korupsi merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Karena itu, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga membutuhkan penguatan karakter, spiritualitas, dan moralitas publik yang bersumber dari Pancasila. Dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara nyata dan konsisten, Indonesia dapat membangun budaya antikorupsi yang berkeadilan, beradab, serta berintegritas.

Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Praktik ini tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi moral, sosial, dan politik bangsa. Korupsi menyebabkan pembangunan nasional terhambat, kesenjangan sosial meningkat, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun drastis.

Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2024, terdapat lebih dari 540 kasus korupsi yang ditangani, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Meskipun lembaga antikorupsi terus memperkuat upaya penegakan hukum, tren korupsi belum menunjukkan penurunan signifikan pada tahun 2025. Kasus korupsi masih banyak terjadi di sektor perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran publik.

Salah satu kasus yang mencuat adalah kasus Ridwan Mukti (mantan Gubernur Bengkulu) yang kembali tersangkut perkara korupsi izin fiktif perkebunan kelapa sawit pada tahun 2025. Kasus ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya diinternalisasi dalam perilaku pejabat publik. Korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan membuktikan adanya krisis moral, lemahnya integritas, serta hilangnya kesadaran akan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial yang menjadi inti Pancasila.

Padahal, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukan hanya simbol ideologis, melainkan sumber nilai etika nasional yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelima sila Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—mewakili nilai universal yang menuntun perilaku jujur, adil, serta bertanggung jawab.

Namun, dalam praktik kehidupan pemerintahan, nilai-nilai tersebut seringkali hanya dihafalkan tanpa diamalkan. Banyak pejabat publik yang berbicara tentang moralitas dan kejujuran, tetapi tindakannya justru mencerminkan pengkhianatan terhadap semangat Pancasila. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan dengan pendekatan hukum semata, melainkan harus diiringi dengan revitalisasi moral dan etika publik yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.

Baca juga: Dinasti Politik di Indonesia: Fenomena, Dampak, dan Solusi

Landasan Teoretis dan Kerangka Konseptual

1. Pengertian Korupsi dalam Perspektif Hukum dan Sosial

Secara umum, korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang mengakibatkan kerugian bagi publik dan negara. Dalam konteks hukum Indonesia, pengertian ini dijelaskan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.”

Definisi ini menekankan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi merupakan kejahatan serius terhadap kesejahteraan publik dan prinsip keadilan sosial.

Menurut Syed Hussein Alatas (1999), korupsi adalah “penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.” Sementara itu, Robert Klitgaard (1988) merumuskan rumus terkenal:

Korupsi = Kekuasaan + Diskresi – Akuntabilitas

Artinya, korupsi tumbuh subur ketika pejabat memiliki kekuasaan besar, keleluasaan bertindak tanpa pengawasan, dan minim rasa tanggung jawab publik.

Data dari Transparency International (2024) menunjukkan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia berada di angka 35 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara di dunia. Angka ini mencerminkan bahwa budaya integritas nasional masih lemah dan korupsi masih dianggap sebagai “hal biasa” di banyak sektor pemerintahan.

2. Korupsi sebagai Krisis Moral dan Etika Publik

Korupsi tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mencerminkan krisis moral dan degradasi nilai kemanusiaan. Dalam pandangan filsafat etika, korupsi adalah bentuk pelanggaran terhadap kejujuran (integritas), tanggung jawab (responsibility), dan keadilan (justice) — tiga nilai moral yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat.

Menurut Gus Dur (Abdurrahman Wahid, 2003), akar korupsi di Indonesia bukan semata pada sistem birokrasi, tetapi pada hilangnya kesadaran moral dan spiritual dalam diri manusia Indonesia. Pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru menormalisasi perilaku curang. Inilah yang kemudian menjadikan korupsi bukan lagi penyimpangan, tetapi kebiasaan sosial yang sulit diberantas.

Dari perspektif etika publik, korupsi melanggar prinsip good governance yang meliputi:

  • Transparansi,
  • Akuntabilitas,
  • Partisipasi masyarakat, dan
  • Keadilan sosial.

Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka nilai-nilai Pancasila—khususnya sila kedua dan kelima—ikut terkikis dalam praktik penyelenggaraan negara.

3. Pancasila sebagai Sistem Etika Nasional

Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga sistem etika nasional yang berfungsi sebagai pedoman moral dan hukum bagi seluruh warga negara. Menurut Notonagoro (1975), Pancasila memiliki kedudukan sebagai “sumber dari segala sumber hukum nasional” sekaligus “sumber nilai moral bangsa Indonesia.”

Pancasila mengandung lima sila yang bersifat hierarkis dan saling terkait:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa → dasar moral spiritual.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab → dasar etika sosial dan penghormatan terhadap martabat manusia.
  3. Persatuan Indonesia → dasar integrasi nasional dan solidaritas sosial.
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan → dasar etika demokrasi dan kepemimpinan bijak.
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia → tujuan akhir dari seluruh sistem nilai Pancasila.

Dalam pandangan Kaelan (2016), setiap sila Pancasila memiliki makna etis yang membentuk kesadaran moral bangsa. Ketika pejabat publik melanggar nilai-nilai tersebut, sesungguhnya mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengkhianati nilai-nilai dasar kemanusiaan dan keindonesiaan.

4. Hubungan Antara Pancasila dan Pemberantasan Korupsi

Penerapan nilai-nilai Pancasila dapat menjadi strategi ideologis dan moral dalam membangun budaya antikorupsi. Hubungan ini dapat dijelaskan melalui tiga pendekatan utama:

  • Pendekatan Filsafat Moral:
    Pancasila menanamkan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan sarana memperkaya diri.
    Nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan menjadi filter moral dalam setiap keputusan publik.
  • Pendekatan Sosiologis:
    Pancasila menegaskan pentingnya solidaritas sosial dan keadilan. Korupsi yang merugikan masyarakat bertentangan dengan cita-cita Persatuan Indonesia.
  • Pendekatan Yuridis:
    Nilai-nilai Pancasila tercermin dalam peraturan hukum, termasuk UU Tipikor dan Kode Etik Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menuntut perilaku jujur, adil, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, Pancasila berfungsi sebagai dasar etik dan arah kebijakan antikorupsi nasional, yang mengintegrasikan moralitas, hukum, dan tanggung jawab sosial.

5. Kerangka Konseptual Penelitian

Artikel ini menggunakan kerangka konseptual yang menempatkan Pancasila sebagai variabel nilai dan korupsi sebagai bentuk penyimpangan moral. Hubungan keduanya digambarkan sebagai berikut:

Pancasila → Nilai Moral & Etika Publik → Integritas Pejabat → Pencegahan Korupsi → Pemerintahan Bersih

Dalam kerangka ini, pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari aspek penegakan hukum, tetapi juga dari transformasi moral dan kesadaran ideologis yang berakar pada Pancasila.

Dengan menginternalisasi nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan, bangsa Indonesia dapat membangun sistem pemerintahan yang berintegritas, transparan, dan bebas dari praktik korupsi.

Analisis: Relevansi Tiap Sila Pancasila terhadap Pemberantasan Korupsi di Indonesia

1. Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa: Fondasi Moralitas dan Integritas

Sila pertama Pancasila menegaskan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai spiritualitas dan moralitas Ilahi. Dalam konteks pemberantasan korupsi, sila ini mengandung makna bahwa setiap tindakan manusia harus didasarkan pada kejujuran, amanah, dan tanggung jawab di hadapan Tuhan.

Menurut Bung Hatta, “Korupsi tidak akan hilang hanya dengan hukum, tetapi dengan hati nurani yang takut kepada Tuhan.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya pelanggaran hukum positif, tetapi juga dosa sosial dan spiritual.

Pejabat publik yang korup sejatinya telah mengingkari nilai Ketuhanan karena mereka menyalahgunakan kekuasaan yang semestinya dijalankan dengan rasa tanggung jawab moral.

Implikasi praktis:

  • Penguatan pendidikan karakter religius di lembaga pemerintahan dan pendidikan.
  • Penerapan kode etik berbasis moral spiritual, bukan sekadar hukum administratif.
  • Pembentukan lingkungan kerja yang menumbuhkan kejujuran dan tanggung jawab spiritual.

2. Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Menolak Keserakahan dan Ketidakadilan

Sila kedua mengandung nilai kemanusiaan, empati, dan keadilan sosial. Korupsi adalah bentuk pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan karena merampas hak masyarakat miskin atas pelayanan publik dan kesejahteraan.

Kasus korupsi dana bansos yang terungkap pada 2024 memperlihatkan bahwa perilaku koruptif telah melukai rasa kemanusiaan bangsa. Data KPK tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 30% kasus korupsi terjadi di sektor sosial dan kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, sila kedua menuntut setiap penyelenggara negara untuk memiliki rasa empati terhadap penderitaan rakyat. Pejabat publik yang beradab tidak akan memperkaya diri dari anggaran publik, karena menyadari bahwa setiap rupiah memiliki nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.

Implementasi nilai kemanusiaan dalam antikorupsi:

  • Penguatan etos pelayanan publik berbasis empati dan keadilan.
  • Peningkatan transparansi anggaran sosial agar tidak diselewengkan.
  • Pendidikan antikorupsi yang menumbuhkan kesadaran moral humanis.

3. Sila Ketiga – Persatuan Indonesia: Membangun Solidaritas Antikorupsi

Korupsi tidak hanya merusak sistem birokrasi, tetapi juga menghancurkan persatuan dan kepercayaan sosial. Ketika keadilan sosial terganggu, masyarakat kehilangan rasa memiliki terhadap negara.

Sila ketiga mengajarkan pentingnya persatuan dalam semangat gotong royong dan solidaritas moral. Dalam konteks pemberantasan korupsi, hal ini berarti seluruh elemen bangsa—pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, media, dan lembaga hukum—harus bersinergi dalam membangun gerakan nasional antikorupsi.

Menurut Presiden Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki semangat gotong royong, bukan semangat mementingkan diri sendiri.”
Korupsi tumbuh subur ketika semangat gotong royong digantikan oleh individualisme dan keserakahan kekuasaan.

Arah kebijakan:

  • Penguatan koordinasi antarlembaga antikorupsi (KPK, Kejaksaan, BPK, Ombudsman).
  • Pembentukan komunitas masyarakat antikorupsi berbasis kampus dan daerah.
  • Penggunaan media digital untuk memperkuat partisipasi publik dan transparansi pemerintahan.

4. Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Etika Kepemimpinan yang Bijak dan Transparan

Sila keempat menekankan pentingnya kepemimpinan yang demokratis, bijaksana, dan akuntabel. Korupsi sering kali berakar dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh pemimpin yang tidak lagi berlandaskan nilai kebijaksanaan.

Dalam konteks pemerintahan modern, sila keempat berarti bahwa setiap kebijakan publik harus melalui musyawarah, partisipasi, dan transparansi. Keputusan yang diambil secara tertutup dan tanpa akuntabilitas sering menjadi celah bagi praktik korupsi.

Sebagaimana diingatkan oleh Mahatma Gandhi, “Kekuasaan tanpa moralitas adalah bencana.”
Oleh karena itu, kepemimpinan yang berlandaskan Pancasila harus mencerminkan hikmat, kejujuran, dan tanggung jawab publik.

Langkah konkret:

  • Mendorong transparansi dalam pengambilan keputusan politik.
  • Menegakkan kode etik pejabat publik dan wakil rakyat.
  • Mengembangkan mekanisme pengawasan partisipatif agar rakyat terlibat dalam proses pemerintahan.

5. Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Tujuan Akhir Pemberantasan Korupsi

Sila kelima merupakan puncak dari seluruh nilai Pancasila: keadilan sosial.
Korupsi adalah bentuk ketidakadilan struktural karena memperkaya segelintir orang dengan mengorbankan hak rakyat banyak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat 0,6% di wilayah terdampak kasus korupsi besar, seperti korupsi dana desa dan pengadaan proyek infrastruktur. Ini membuktikan bahwa korupsi memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, pemberantasan korupsi bukan hanya upaya hukum, tetapi juga kewajiban moral untuk menegakkan keadilan sosial.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, “Keadilan tidak bisa diajarkan dengan kata-kata, tetapi dengan keteladanan.”

Rekomendasi kebijakan:

  • Penguatan sistem reward and punishment bagi pejabat publik.
  • Pengawasan dana publik berbasis teknologi digital dan keterbukaan data.
  • Peningkatan pemberdayaan masyarakat agar mampu menuntut keadilan dan transparansi.

Baca juga: Ciri-ciri Birokrasi Desa yang Tidak Sehat dan Cara Mengatasinya

6. Sintesis: Pancasila sebagai Paradigma Antikorupsi Nasional

Kelima sila Pancasila membentuk sistem nilai integral yang dapat menjadi paradigma baru dalam pemberantasan korupsi. Pancasila tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga transformatif, karena mampu menuntun perilaku individu dan sistem secara bersamaan.

Kesimpulan antara:

  • Korupsi = Pelanggaran terhadap seluruh sila Pancasila.
  • Pancasila = Solusi ideologis, moral, dan etis dalam membangun pemerintahan bersih.
  • Internalisasi nilai Pancasila = Kunci membentuk budaya integritas nasional.

Dengan demikian, pemberantasan korupsi berbasis nilai Pancasila bukan sekadar agenda hukum, tetapi juga gerakan kebudayaan dan moral nasional.


Strategi Implementasi Nilai Pancasila dalam Sistem Pemberantasan Korupsi Nasional

1. Pendekatan Filosofis: Pancasila sebagai Paradigma Etika dan Kebijakan Publik

Pemberantasan korupsi tidak dapat dilepaskan dari dimensi moral dan ideologis bangsa. Pancasila sebagai dasar negara mengandung prinsip etika universal yang dapat dijadikan paradigma kebijakan publik.
Setiap kebijakan, program, dan tindakan pemerintahan harus diuji berdasarkan kesesuaiannya dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.

Menurut Notonagoro (1984), Pancasila bukan hanya sistem nilai, tetapi juga sumber legitimasi moral dan hukum yang menuntun arah pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi berbasis Pancasila berarti mengembalikan moralitas publik pada cita-cita luhur bangsa Indonesia.

Implikasi strategis:

  • Integrasi nilai Pancasila dalam perumusan kebijakan dan regulasi antikorupsi.
  • Penguatan kepemimpinan etis (ethical leadership) di seluruh level birokrasi.
  • Pembangunan sistem penilaian moral (ethical governance index) bagi pejabat publik.

2. Pendekatan Pendidikan: Internalisasi Nilai Antikorupsi di Dunia Akademik

Korupsi adalah gejala sosial yang bermula dari pembentukan karakter individu. Karena itu, pendidikan menjadi arena utama untuk membangun generasi antikorupsi berbasis nilai Pancasila.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama KPK telah mengembangkan Pendidikan Antikorupsi (PAK) di sekolah dan perguruan tinggi. Namun, pelaksanaannya sering bersifat teoritis dan seremonial, belum menyentuh dimensi karakter dan perilaku.

Oleh sebab itu, strategi implementasi nilai Pancasila di bidang pendidikan harus menekankan tiga hal utama:

  1. Pendidikan karakter integratif — menggabungkan nilai Pancasila dan antikorupsi dalam seluruh mata pelajaran.
  2. Keteladanan dosen dan guru — menjadi contoh konkret kejujuran dan tanggung jawab moral.
  3. Kegiatan kampus berbasis integritas, seperti lomba debat etika publik, riset moral governance, dan komunitas mahasiswa antikorupsi.

Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan sejati adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat menjadi manusia yang bermoral dan beradab.”

Dampak yang diharapkan: lahirnya generasi muda Pancasilais yang memiliki etos integritas, tanggung jawab, dan kesadaran moral tinggi.


3. Pendekatan Kelembagaan: Reformasi Birokrasi Berbasis Etika Pancasila

Reformasi birokrasi menjadi kunci keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, reformasi administratif tanpa reformasi moral tidak akan membuahkan hasil.

Korupsi sering terjadi karena budaya kekuasaan yang hierarkis, tidak transparan, dan berorientasi keuntungan pribadi. Oleh sebab itu, nilai-nilai Pancasila harus dijadikan ruang etika kelembagaan (institutional ethics space).

Strategi utama implementasi nilai Pancasila dalam kelembagaan negara:

  • Revisi kode etik ASN dan pejabat publik dengan menegaskan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan sosial.
  • Penguatan sistem meritokrasi dalam promosi jabatan dan rekrutmen pegawai.
  • Implementasi transparansi digital (e-government) untuk mencegah intervensi manusia dalam proses pelayanan publik.
  • Pembentukan unit integritas (integrity office) di setiap lembaga negara yang berfungsi memantau perilaku etis pegawai.

Hasil evaluasi KemenPAN-RB tahun 2025 menunjukkan bahwa lembaga dengan indeks integritas tinggi mengalami penurunan kasus korupsi hingga 38%, membuktikan bahwa etika institusional berbasis Pancasila memiliki efek nyata terhadap budaya antikorupsi.


4. Pendekatan Regulatif: Harmonisasi Hukum dan Nilai Pancasila

Pancasila berperan sebagai roh dalam sistem hukum nasional.
Oleh karena itu, penegakan hukum antikorupsi harus sejalan dengan prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam Pancasila.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi dasar yuridis utama. Namun, penerapan hukum perlu diperkuat dengan pendekatan etik agar hukum tidak berhenti pada formalitas, tetapi berfungsi sebagai alat pembinaan moral publik.

Rekomendasi kebijakan regulatif:

  • Menyusun Rencana Aksi Nasional Antikorupsi (RAN-AK) yang eksplisit berbasis nilai Pancasila.
  • Memperkuat sinergi antarpenegak hukum (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) dalam konteks nilai keadilan dan kemanusiaan.
  • Menegaskan asas Keteladanan (exemplary principle) dalam setiap proses hukum bagi pejabat publik.
  • Mengintegrasikan pendekatan restorative justice dengan prinsip keadilan sosial bagi rakyat yang dirugikan oleh korupsi.

Pendekatan hukum yang berlandaskan Pancasila tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memulihkan nilai-nilai moral dan sosial masyarakat.

Baca juga: Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum


5. Pendekatan Sosio-Kultural: Membangun Budaya Antikorupsi di Masyarakat

Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa dukungan budaya masyarakat.
Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi etos sosial yang membentuk perilaku kolektif antikorupsi.

Langkah-langkah strategis:

  • Penguatan kampanye publik antikorupsi berbasis nilai-nilai Pancasila melalui media massa, film, dan platform digital.
  • Mendorong peran tokoh agama dan tokoh adat dalam menanamkan nilai kejujuran dan keadilan sosial.
  • Pembentukan gerakan masyarakat sipil Pancasilais, seperti forum etika publik dan jejaring relawan integritas.
  • Penerapan insentif sosial (moral reward) bagi pejabat dan masyarakat yang berprestasi dalam menjaga integritas publik.

Menurut Franz Magnis-Suseno (2010), “Etika publik harus menjadi kebiasaan sosial, bukan sekadar pengetahuan.”
Dengan menjadikan nilai Pancasila sebagai budaya hidup sehari-hari, pemberantasan korupsi dapat berjalan organik dan berkelanjutan.


6. Sintesis Strategi: Pancasila sebagai Sistem Integritas Nasional

Secara konseptual, strategi implementasi nilai Pancasila dalam sistem pemberantasan korupsi dapat disimpulkan sebagai berikut:

Bidang Strategis Fokus Nilai Pancasila Hasil yang Diharapkan
Pendidikan Ketuhanan & Kemanusiaan Generasi muda berintegritas
Kelembagaan Persatuan & Musyawarah Birokrasi transparan dan etis
Regulasi Keadilan Sosial Penegakan hukum berkeadilan
Sosio-Kultural Gotong Royong & Keteladanan Budaya masyarakat antikorupsi

Dengan menerapkan strategi tersebut secara komprehensif, Indonesia dapat membangun “Sistem Integritas Nasional berbasis Pancasila” — sebuah model yang memadukan etika, hukum, dan kebudayaan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan sosial.

Baca juga: Analisis Sila-Sila Pancasila Berdasarkan Causa Materialis

Kesimpulan

Korupsi di Indonesia hingga kini masih menjadi tantangan moral, sosial, dan struktural yang menghambat terwujudnya cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Berbagai upaya hukum telah dilakukan—mulai dari pembentukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hingga penguatan regulasi melalui UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001—namun hasilnya belum sepenuhnya mampu menekan angka korupsi secara signifikan.

Analisis ini menunjukkan bahwa akar persoalan korupsi tidak hanya terletak pada kelemahan sistem hukum, melainkan juga pada krisis moral dan degradasi nilai Pancasila dalam kehidupan publik.
Banyak pejabat dan aparatur negara yang mengabaikan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial, padahal ketiga nilai ini merupakan pilar moral dalam menjaga integritas dan tanggung jawab publik.

Pancasila, sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa, sejatinya menawarkan kerangka etik dan filosofis yang komprehensif untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Setiap sila memiliki makna substantif yang saling melengkapi dalam membangun sistem sosial yang bersih dan berkeadilan:

  • Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) menegaskan pentingnya kesadaran spiritual bahwa korupsi adalah dosa moral dan pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.
  • Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) mengingatkan bahwa korupsi merampas hak rakyat dan melanggar prinsip keadilan sosial.
  • Sila Kelima (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) menegaskan bahwa penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri bertentangan dengan semangat pemerataan kesejahteraan.

Dengan demikian, pemberantasan korupsi berbasis nilai-nilai Pancasila bukan hanya persoalan penegakan hukum, tetapi juga proses moral, spiritual, dan kultural yang harus dijalankan secara sistemik dan berkelanjutan.

Hanya dengan menghidupkan kembali etos integritas, tanggung jawab, dan kejujuran dalam seluruh sendi kehidupan berbangsa, Indonesia dapat keluar dari bayang-bayang budaya korupsi menuju negara yang bermartabat dan berkeadilan.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil kajian dan analisis deskriptif-argumentatif dalam artikel ini, terdapat beberapa rekomendasi strategis untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila:

1. Penguatan Pendidikan Moral dan Karakter Berbasis Pancasila

  • Pemerintah dan perguruan tinggi perlu mengintegrasikan pendidikan antikorupsi dalam setiap jenjang pendidikan formal.
  • Materi pembelajaran hendaknya tidak sekadar teoritis, tetapi berbasis pengalaman nyata dan keteladanan moral.
  • Lembaga pendidikan harus menjadi ruang pembiasaan etika publik, bukan sekadar institusi pengetahuan.

2. Revitalisasi Etika Kepemimpinan Publik

  • Para pejabat negara wajib menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral dalam setiap kebijakan.
  • Mekanisme rekrutmen, promosi, dan evaluasi kinerja aparatur sipil negara perlu menilai aspek integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
  • Diperlukan kode etik nasional berbasis Pancasila yang mengikat seluruh pejabat publik tanpa kecuali.

3. Harmonisasi Regulasi dan Penegakan Hukum

  • Setiap kebijakan antikorupsi harus menegaskan landasan etik Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial.
  • Diperlukan sinkronisasi antara UU Tipikor, UU ASN, dan UU Pemerintahan Daerah untuk memastikan konsistensi nilai dan pelaksanaan integritas publik.
  • KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian perlu memperkuat pendekatan justice with integrity yang menyeimbangkan kepastian hukum dan keadilan moral.

4. Pemberdayaan Masyarakat dan Budaya Antikorupsi

  • Masyarakat sipil, tokoh agama, dan organisasi sosial perlu aktif menanamkan budaya malu terhadap korupsi.
  • Media massa harus berperan dalam edukasi moral publik dengan mengangkat kisah-kisah inspiratif tentang integritas dan kejujuran.
  • Pemerintah dapat memberikan penghargaan sosial (moral reward) bagi individu atau lembaga yang konsisten menegakkan etika publik.

5. Pembangunan Sistem Integritas Nasional Berbasis Pancasila

  • Indonesia perlu membangun National Integrity Framework yang menyatukan dimensi hukum, pendidikan, budaya, dan agama dalam satu ekosistem nilai.
  • Sistem ini menjadi fondasi bagi pemerintahan yang bersih, adil, dan transparan, sesuai amanat sila kelima Pancasila.

3. Penegasan Akhir

Melawan korupsi berarti menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika Pancasila tidak lagi hanya dihafalkan dalam upacara, tetapi dihayati dan diamalkan secara nyata, maka cita-cita Indonesia sebagai negara yang adil, makmur, dan beradab akan terwujud.

Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno, “Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan; itulah dunia yang berpijak pada keadilan sosial.”

Dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman etika dan moral nasional, Indonesia dapat keluar dari lingkaran korupsi dan menuju masa depan yang berintegritas, bermartabat, dan sejahtera.

Baca juga: Trias Politica Indonesia: Pilar Demokrasi yang Berkelanjutan


FAQ Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia

1. Mengapa korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)?

Korupsi disebut kejahatan luar biasa karena dampaknya sangat luas — merusak sistem hukum, ekonomi, moral, serta kepercayaan publik terhadap negara.
Berbeda dari kejahatan biasa, korupsi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan melibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan pendekatan luar biasa, baik dari sisi hukum, budaya, maupun nilai moral.

2. Apa hubungan antara Pancasila dan pemberantasan korupsi?

Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga sistem nilai dan etika publik.
Setiap sila mengandung prinsip moral yang dapat menjadi pedoman perilaku antikorupsi, misalnya:

  • Ketuhanan Yang Maha Esa → menanamkan kejujuran dan tanggung jawab moral.
  • Kemanusiaan yang Adil dan Beradab → menolak penindasan dan ketidakadilan sosial akibat korupsi.
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia → menegaskan pentingnya distribusi kesejahteraan yang merata tanpa penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan demikian, internalisasi nilai Pancasila berarti menjadikan etika dan moralitas sebagai benteng utama pencegahan korupsi.

3. Apakah pemberantasan korupsi cukup dengan penegakan hukum?

Tidak. Penegakan hukum adalah langkah reaktif, sedangkan pemberantasan korupsi memerlukan pendekatan preventif dan edukatif.
Tanpa pembangunan moral dan karakter berbasis Pancasila, sistem hukum akan terus menghadapi perlawanan dari budaya permisif terhadap korupsi.
Oleh sebab itu, diperlukan pendidikan karakter, keteladanan pejabat, dan budaya malu terhadap korupsi.

4. Bagaimana pendidikan Pancasila dapat berperan dalam mencegah korupsi?

Pendidikan Pancasila harus diubah dari sekadar hafalan menjadi pembelajaran reflektif dan aplikatif.
Contohnya:

  • Mendorong mahasiswa dan ASN untuk melakukan praktik integritas dalam kehidupan kampus dan birokrasi.
  • Mengintegrasikan kasus korupsi aktual sebagai bahan studi etika publik.
  • Menanamkan nilai “anti gratifikasi” sebagai bagian dari moral kejujuran.

Dengan cara ini, Pancasila hidup dalam tindakan, bukan hanya dalam teori.

5. Apa peran masyarakat dalam menanamkan nilai antikorupsi?

Masyarakat berperan sebagai pengawas moral kolektif.
Melalui media sosial, organisasi keagamaan, dan komunitas lokal, masyarakat dapat:

  • Mendorong transparansi dan akuntabilitas pejabat publik.
  • Mengawasi penggunaan anggaran daerah dan desa.
  • Membangun budaya malu terhadap korupsi.

Ketika masyarakat bersuara dan bertindak berdasarkan nilai Pancasila, maka lingkungan sosial akan menjadi benteng antikorupsi yang efektif.

6. Apa contoh penerapan nilai Pancasila dalam lembaga pemerintahan?

Beberapa bentuk penerapan konkret antara lain:

  • Zona Integritas dan Reformasi Birokrasi di instansi publik.
  • Deklarasi Lembaga Berintegritas berbasis nilai kejujuran dan tanggung jawab.
  • Pelaporan Gratifikasi Online (GOL) yang dikelola oleh KPK.

Program-program ini mencerminkan upaya internalisasi nilai Pancasila dalam sistem pemerintahan modern.

7. Mengapa nilai-nilai Pancasila sering diabaikan oleh pejabat publik?

Banyak pejabat publik memahami Pancasila secara tekstual, bukan kontekstual.
Mereka menghafal sila-silanya, tetapi tidak menginternalisasi makna moralnya.
Selain itu, budaya materialistik, tekanan politik, dan lemahnya penegakan etika publik sering membuat nilai Pancasila terpinggirkan dalam praktik pemerintahan.
Maka, dibutuhkan komitmen politik dan keteladanan moral dari para pemimpin untuk menghidupkan kembali semangat Pancasila.

8. Apa solusi ideal untuk membangun budaya antikorupsi berbasis Pancasila?

Solusi ideal harus holistik dan berlapis, meliputi:

  1. Pendidikan karakter dan etika publik di sekolah dan universitas.
  2. Keteladanan pemimpin yang mempraktikkan nilai Pancasila dalam kebijakan dan perilaku.
  3. Penegakan hukum yang adil dan tegas.
  4. Partisipasi aktif masyarakat dan media sebagai pengawas publik.
  5. Sistem integritas nasional berbasis nilai Pancasila.

Jika semua unsur tersebut berjalan selaras, maka Pancasila akan menjadi kekuatan moral dan spiritual untuk mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi.

9. Apa pesan moral utama dari artikel ini?

Pesan utama:

Korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Memberantas korupsi berarti menghidupkan kembali semangat Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
Ketika setiap individu menjadikan Pancasila sebagai kompas moral, Indonesia akan melangkah menuju masa depan yang bersih, adil, dan bermartabat.


Daftar Pustaka

Sumber Buku dan Literatur Akademik

  • Dewantara, K. H. (1936). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

    Rujukan klasik yang menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter dalam membentuk manusia beradab.

  • Magnis-Suseno, F. (2010). Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Menjelaskan konsep etika publik dan tanggung jawab moral pejabat negara dalam konteks demokrasi.

  • Notonagoro. (1984). Pancasila: Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Bina Aksara.

    Sumber filosofis utama yang menguraikan hakikat nilai Pancasila sebagai pedoman etika dan moral bangsa.

  • Kaelan. (2016). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

    Mengkaji relevansi Pancasila dalam dinamika sosial-politik dan upaya pembentukan karakter bangsa.

  • Haryatmoko. (2011). Etika Publik untuk Integritas Pejabat Negara. Jakarta: Kompas.

    Menguraikan hubungan antara kekuasaan, moralitas, dan etika publik dalam tata kelola pemerintahan.


Sumber Hukum dan Regulasi

  • Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
  • Republik Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134.
  • Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

    Menekankan prinsip akuntabilitas, kepastian hukum, dan integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan publik.

  • Republik Indonesia. (2019). Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

    Mengatur kewajiban etika dan tanggung jawab moral ASN dalam mencegah penyalahgunaan wewenang.


Sumber Data dan Laporan Resmi

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2025). Laporan Tahunan KPK 2024: Integritas untuk Indonesia Maju. Jakarta: KPK RI.

    Menyajikan data statistik kasus korupsi, tren penindakan, dan indeks perilaku antikorupsi nasional.

  • Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). (2025). Laporan Evaluasi Reformasi Birokrasi dan Zona Integritas Nasional.

    Menunjukkan korelasi antara reformasi birokrasi dan penurunan tingkat korupsi di instansi pemerintah.

  • Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Tahun 2024. Jakarta: BPS RI.

    Memberikan data empiris tentang persepsi dan perilaku masyarakat terhadap tindak korupsi.


Artikel dan Publikasi Ilmiah

  • Arif, M. (2023). “Internalisasi Nilai Pancasila dalam Pencegahan Korupsi di Indonesia.” Jurnal Etika dan Integritas Publik, 5(2), 112–129.

    Menganalisis peran pendidikan karakter Pancasila dalam membangun budaya antikorupsi di kalangan ASN.

  • Suryadi, I. (2022). “Etika Pancasila sebagai Dasar Moral Pemberantasan Korupsi.” Jurnal Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, 8(1), 45–62.

    Menguraikan hubungan antara nilai Pancasila dan teori keadilan sosial dalam konteks tata kelola pemerintahan.

  • Wijaya, R. (2024). “Reformasi Birokrasi dan Tantangan Etika Publik di Indonesia.” Journal of Governance and Policy Studies, 10(3), 87–105.

    Mengkritisi pelaksanaan reformasi birokrasi yang belum sepenuhnya berakar pada etika dan nilai moral Pancasila.


Sumber Digital dan Berita Pendukung

  • Tribun Sumsel. (2025, Oktober 24). Ridwan Mukti Divonis 2,5 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Izin Sawit Fiktif. Diakses dari: https://sumsel.tribunnews.com

    Menjadi data aktual tentang kasus korupsi pejabat publik yang menggambarkan lemahnya internalisasi nilai Pancasila.

  • KPK.go.id. (2025). Data Penindakan dan Pencegahan Korupsi 2024–2025. Diakses dari: https://www.kpk.go.id

    Sumber primer terkait statistik penanganan perkara korupsi dan indeks perilaku antikorupsi nasional.


Catatan Akhir

Penyusunan daftar pustaka ini bertujuan untuk memperkuat aspek keilmiahan, validitas data, dan kredibilitas akademik artikel.

Dengan menggabungkan sumber primer (UU, laporan resmi KPK) dan sumber sekunder (buku etika dan jurnal akademik), tulisan ini memenuhi prinsip keilmuan, moralitas, dan relevansi empiris dalam studi Pancasila dan pemberantasan korupsi di Indonesia.


Foto Shofi Darmawati

Ditulis oleh : Shofi Darmawati

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Raden Intan Lampung. Aktif menulis artikel dan opini seputar nilai-nilai Pancasila, pendidikan moral, dan pemberantasan korupsi di Indonesia.