BREAKING NEWS

Strategi atau Simpati? Janji Prabowo: Palestina Merdeka, RI Akui Israel

Strategi atau Simpati? Janji Prabowo: Palestina Merdeka, RI Akui Israel – Sebuah Analisis Mendalam
Gambar ilustrasi

FOKUS SUARA PEMBACA
- Sebuah pernyataan di panggung dunia, sebuah janji bersyarat yang mengguncang pilar kebijakan luar negeri Indonesia selama puluhan tahun. Di Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melontarkan sebuah gagasan yang langsung menjadi sorotan global.

Di hadapan para pemimpin dunia, ia menegaskan kembali dukungan tak tergoyahkan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina, namun dengan tambahan klausul yang mengejutkan: jika Palestina merdeka, Indonesia akan mempertimbangkan untuk mengakui Israel dan turut menjaga keamanannya.

Pernyataan ini seperti melempar batu ke kolam yang tenang, menciptakan riak yang menyebar ke berbagai arah—mulai dari lorong-lorong diplomasi internasional hingga ke warung kopi di pelosok negeri. Publik pun terbelah, memunculkan satu pertanyaan sentral yang menggema: apakah ini murni sebuah Strategi atau Simpati?

Apakah ini sebuah manuver diplomatik jenius yang dirancang untuk menempatkan Indonesia di pusat peta perdamaian Timur Tengah? Ataukah ini sebuah ungkapan simpati yang dibalut kalkulasi politik untuk mengamankan posisi di dalam negeri?

Artikel ini akan mengupas tuntas janji Prabowo, membedahnya dari berbagai sudut pandang: sejarah, diplomasi internasional, politik domestik, hingga potensi risiko dan implikasi jangka panjangnya.

Akar Sejarah yang Kokoh: Mengapa Palestina Begitu Penting bagi Indonesia?

Untuk memahami bobot pernyataan Prabowo, kita harus terlebih dahulu menyelami DNA kebijakan luar negeri Indonesia. Dukungan terhadap Palestina bukanlah kebijakan yang lahir kemarin sore. Ia adalah amanat konstitusi, warisan sejarah, dan cerminan dari jiwa bangsa Indonesia itu sendiri.

Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah memposisikan diri sebagai negara yang menentang segala bentuk penjajahan. Ini tertuang jelas dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kalimat inilah yang menjadi kompas moral kebijakan luar negeri Indonesia.

Sikap ini dipertegas oleh Presiden Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Saat itu, di hadapan para pemimpin negara-negara yang baru merdeka, Soekarno dengan lantang menyuarakan solidaritas bagi bangsa-bangsa yang masih terjajah, termasuk Palestina.

Bagi Soekarno dan para pendiri bangsa, perjuangan Palestina adalah cerminan dari perjuangan Indonesia sendiri: perjuangan untuk bebas dari kolonialisme.

Sikap non-kompromi ini berlanjut dari era ke era:

  • Era Soeharto: Meskipun lebih pragmatis dalam hubungan internasional, Indonesia di bawah Orde Baru tetap konsisten tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan aktif mendukung Palestina di forum-forum seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB).
  • Era Reformasi: Para presiden setelah Soeharto, mulai dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Joko Widodo, semuanya melanjutkan warisan kebijakan ini. Meskipun ada beberapa wacana pembukaan hubungan dagang di era Gus Dur, secara resmi sikap politik Indonesia tidak pernah berubah.

Jadi, ketika Prabowo berbicara tentang Palestina, ia tidak berbicara di ruang hampa. Ia berbicara sebagai pemimpin sebuah bangsa yang memiliki ikatan historis, ideologis, dan emosional yang mendalam dengan perjuangan rakyat Palestina. Inilah yang membuat janji bersyaratnya menjadi begitu signifikan dan kontroversial.

Dimensi Internasional: Manuver Catur di Panggung Diplomasi Global

Pernyataan Prabowo dapat dibaca sebagai sebuah langkah catur yang kompleks di arena internasional. Ini bukan sekadar tentang Palestina dan Israel, tetapi juga tentang posisi Indonesia di dunia. Mari kita bedah lapisan-lapisan strateginya.

1. Diplomasi "Jalan Tengah": Menjadi Jembatan, Bukan Tembok

Daripada sekadar mengulang retorika dukungan tanpa syarat, Prabowo menawarkan sebuah formula baru: dukungan bersyarat untuk pengakuan. Ini adalah strategi "jalan tengah" yang cerdas.

  • Kepada Palestina dan Dunia Islam: Ia menegaskan bahwa syarat utama dan tidak bisa ditawar adalah "Palestina Merdeka". Ini adalah pesan untuk menjaga kepercayaan dan solidaritas dengan negara-negara mayoritas Muslim dan para pendukung Palestina.
  • Kepada Israel dan Dunia Barat: Ia mengirimkan sinyal bahwa Indonesia bukanlah negara yang kaku dan anti-dialog. Dengan membuka kemungkinan pengakuan, Indonesia menunjukkan diri sebagai aktor rasional yang siap menjadi bagian dari solusi, bukan hanya bagian dari masalah.

Langkah ini secara efektif mengubah posisi Indonesia dari sekadar pendukung vokal menjadi calon mediator yang potensial. Indonesia tidak lagi hanya berteriak dari pinggir lapangan, tetapi mencoba masuk ke tengah permainan dengan membawa bola negosiasi.

2. Mengincar Peran Baru sebagai "Juru Damai" Global

Jika strategi ini berhasil, Indonesia berpotensi memainkan peran yang jauh lebih besar di kancah internasional.

Selama ini, peran mediator konflik Timur Tengah sering didominasi oleh negara-negara seperti Mesir, Qatar, Turki, atau bahkan Amerika Serikat. Pernyataan Prabowo bisa menjadi tiket masuk bagi Indonesia untuk duduk di meja perundingan utama.

Potensi peran baru Indonesia bisa meliputi:

  • Mediator Netral di OKI dan PBB: Dengan posisinya sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki modal sosial yang unik untuk menjembatani faksi-faksi yang berbeda.
  • Jembatan Antara Dunia Islam dan Barat: Pengakuan bersyarat terhadap Israel akan menempatkan Indonesia pada posisi yang langka, dihormati oleh dunia Islam karena membela Palestina, namun juga dianggap mitra dialog oleh Barat.
  • Pemimpin di "Global South": Langkah ini bisa memperkuat citra Indonesia sebagai pemimpin negara-negara berkembang (Global South) yang mampu merumuskan kebijakan luar negeri independen yang pragmatis namun tetap berprinsip.

3. Pragmatisme Ekonomi dan Teknologi: Ganjaran di Balik Idealisme

Di balik retorika idealisme, ada lapisan pragmatisme yang tidak bisa diabaikan. Israel adalah negara yang diakui memiliki keunggulan signifikan di berbagai sektor strategis. Jika hubungan diplomatik suatu saat nanti terbuka, peluang kerja sama bisa sangat menggiurkan.

Beberapa bidang potensial tersebut antara lain:

  • Teknologi Pertanian: Israel adalah pemimpin dunia dalam teknologi agrikultur di lahan kering, seperti irigasi tetes dan rekayasa genetika tanaman. Ini sangat relevan untuk ketahanan pangan Indonesia.
  • Keamanan Siber (Cybersecurity): Dengan ancaman siber yang semakin meningkat, keahlian Israel dalam bidang ini bisa menjadi aset strategis bagi pertahanan digital Indonesia.
  • Industri Pertahanan dan Intelijen: Sebagai pemimpin militer, Prabowo tentu memahami nilai strategis dari kerja sama pertahanan, meskipun ini adalah area yang paling sensitif secara politik.
  • Inovasi dan Startup: Ekosistem startup Israel, yang dikenal sebagai "Silicon Wadi," bisa menjadi sumber inspirasi dan investasi bagi ekonomi digital Indonesia yang sedang berkembang.

Namun, menyeimbangkan potensi keuntungan ekonomi ini dengan komitmen moral terhadap Palestina adalah sebuah tarian di atas tali yang sangat tipis. Salah langkah bisa memicu resistensi domestik yang luar biasa.

Kalkulasi Politik Domestik: Di Balik Panggung Internasional

Kebijakan luar negeri sering kali merupakan perpanjangan tangan dari politik dalam negeri. Pernyataan Prabowo di PBB, sadar atau tidak, memiliki dampak dan kalkulasi domestik yang sangat kuat.

1. Meraih Simpati dan Memperkuat Legitimasi

Isu Palestina memiliki daya sentuh emosional yang luar biasa bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan menyuarakan dukungan yang kuat untuk Palestina di forum paling bergengsi di dunia, Prabowo secara efektif melakukan beberapa hal:

  • Memperkuat Citra Religius dan Humanis: Ini membantu membangun citra Prabowo bukan hanya sebagai seorang ahli strategi militer, tetapi juga sebagai pemimpin yang peduli pada isu kemanusiaan global dan dekat dengan aspirasi umat Islam.
  • Meredam Citra Masa Lalu: Bagi sebagian kalangan, citra Prabowo masih lekat dengan isu-isu HAM di masa lalu. Dengan mengambil peran sebagai pembela bangsa tertindas di panggung dunia, ia dapat secara perlahan merekonstruksi narasinya menjadi seorang negarawan global.
  • Menyatukan Beragam Kelompok: Isu Palestina adalah salah satu dari sedikit isu yang mampu menyatukan kelompok-kelompok politik yang sering berseberangan di Indonesia. Ini adalah "perekat sosial" yang ampuh.

2. Pengalihan Isu atau Masterstroke Politik?

Dunia politik penuh dengan strategi. Tidak sedikit analis yang berpendapat bahwa mengangkat isu luar negeri yang emosional bisa menjadi cara efektif untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah domestik yang pelik. Pada September 2025 (dalam skenario ini), pemerintah mungkin sedang menghadapi berbagai tantangan, seperti:

  • Evaluasi Program "Makan Bergizi Gratis": Misalnya, jika terjadi insiden seperti kasus keracunan yang disebutkan dalam artikel asli, fokus publik bisa dialihkan ke panggung internasional yang lebih heroik.
  • Isu Kontroversial di Parlemen: Wacana seperti kenaikan tunjangan atau fasilitas bagi anggota DPR selalu menjadi isu sensitif yang bisa memicu kemarahan publik.
  • Tantangan Ekonomi: Kenaikan harga kebutuhan pokok atau perlambatan ekonomi adalah isu "perut" yang bisa membuat popularitas pemerintah merosot.

Dengan melemparkan isu Palestina yang membakar emosi, pemerintah bisa sejenak mengubah arah perbincangan nasional, dari yang semula mengkritik kebijakan dalam negeri menjadi mendukung langkah "berani" presiden di panggung dunia.

Gema di Ruang Publik: Suara Rakyat di Era Digital

Di era media sosial, pernyataan seorang presiden tidak lagi hanya dianalisis oleh para ahli di ruang-ruang redaksi. Ia langsung "dihakimi" oleh jutaan warga digital di platform seperti X (dulu Twitter), TikTok, Instagram, dan YouTube. Reaksi publik terhadap janji Prabowo pun terbelah menjadi dua kutub utama.

Kuburan Pendukung: "Presiden Pemberani di Panggung Dunia"

Banyak warga Indonesia yang menyambut positif pernyataan ini. Bagi mereka, ini adalah sebuah terobosan.

  • Argumen Utama: Mereka melihat ini sebagai langkah pragmatis dan strategis. Indonesia tidak lagi pasif, tetapi proaktif menawarkan solusi. Syarat "Palestina Merdeka" dianggap sebagai kunci yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak menjual prinsipnya.
  • Sentimen: Muncul rasa bangga melihat pemimpinnya berani menyuarakan formula baru di PBB. Komentar seperti, "Saya bangga, Bapak dengan lantang menyuarakan kebenaran… tetap di jalur rakyat tertindas," mencerminkan pandangan ini. Mereka melihat Prabowo sebagai sosok yang tegas dan visioner.

Kuburan Pengkritik: "Menggadaikan Amanat Konstitusi?"

Namun, tidak sedikit pula yang menentang keras. Bagi kelompok ini, kata "mengakui Israel" dalam kalimat apa pun adalah sebuah bentuk pengkhianatan.

  • Argumen Utama: Mereka berpegang teguh pada prinsip historis bahwa tidak boleh ada hubungan apa pun dengan Israel selama penjajahan masih berlangsung. Wacana "Solusi Dua Negara" (Two-State Solution) yang tersirat dalam pernyataan Prabowo dianggap sebagai bentuk legitimasi terhadap eksistensi negara Israel, yang bagi mereka tidak sah secara historis.
  • Sentimen: Kecurigaan dan kekecewaan mendominasi. Komentar seperti, "Ini pada paham gak… Prabowo ngesupport 2 state solution, yang artinya dia support eksistensinya Israel juga?" menunjukkan kekhawatiran bahwa janji kemerdekaan Palestina hanyalah "pemanis" untuk tujuan akhir yang lebih besar, yaitu normalisasi hubungan.

Pertarungan narasi ini berlangsung sengit di media sosial, di mana argumen sering kali bercampur dengan emosi, disinformasi, dan sentimen keagamaan yang kental.

Analisis Risiko dan Pertanyaan Krusial yang Belum Terjawab

Manuver Prabowo, meskipun brilian di atas kertas, sarat dengan risiko dan ketidakpastian. Ada beberapa pertanyaan fundamental yang akan menentukan apakah strategi ini akan berhasil atau justru menjadi bumerang.

1. Apa Definisi Konkret dari "Palestina Merdeka"?

Ini adalah pertanyaan paling krusial. Tanpa definisi yang jelas, syarat ini bisa menjadi pasal karet. Apakah "merdeka" berarti:

  • Berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya?
  • Mencakup hak kembali bagi para pengungsi Palestina?
  • Kedaulatan penuh atas wilayah udara, perbatasan, dan sumber daya alamnya?

Jika tidak ada kesepakatan internasional yang kuat mengenai definisi ini, Israel dan sekutunya dapat dengan mudah mengklaim bahwa syarat tersebut tidak realistis, sementara Indonesia akan terjebak dalam janjinya sendiri.

2. Bagaimana Reaksi Dunia Islam?

Langkah ini bisa memecah belah dunia Islam. Negara-negara yang telah melakukan normalisasi melalui Abraham Accords (seperti UEA dan Bahrain) mungkin akan memuji langkah Indonesia. Namun, negara-negara dengan sikap lebih keras seperti Iran, atau bahkan kekuatan regional seperti Turki dan Arab Saudi, mungkin akan melihatnya dengan curiga. Indonesia berisiko dianggap terlalu kompromistis.

3. Apa Rencana Cadangan (Plan B) Indonesia?

Apa yang terjadi jika Palestina tidak kunjung merdeka dalam beberapa tahun ke depan? Apakah wacana pengakuan Israel akan terus mengambang? Hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian kebijakan yang berkepanjangan dan menjadi liabilitas politik bagi pemerintahan Prabowo di dalam negeri. Publik yang awalnya mendukung bisa berbalik menjadi kecewa.

Kesimpulan: Strategi Berbalut Simpati, Sebuah Pertaruhan Tingkat Tinggi

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: Strategi atau Simpati?

Jawabannya, kemungkinan besar, adalah keduanya. Pernyataan Prabowo adalah sebuah strategi diplomasi yang canggih, yang dibungkus dengan bahasa simpati yang berakar kuat pada sejarah dan sentimen publik Indonesia. Ini adalah upaya untuk mendobrak kebuntuan, menawarkan solusi, dan pada saat yang sama, mengukuhkan citra dan posisi politik di dalam dan luar negeri.

Namun, ini adalah sebuah pertaruhan tingkat tinggi. Keberhasilannya tidak diukur dari gemuruh tepuk tangan di Sidang Umum PBB, melainkan dari langkah-langkah diplomatik yang konsisten, negosiasi yang alot, dan kemampuan untuk mendefinisikan "kemenangan" bagi Palestina secara nyata.

Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo telah meletakkan kartunya di meja percaturan global. Dunia menanti, dan yang lebih penting, rakyat Indonesia akan mengawasi dengan seksama: apakah janji ini akan menjadi babak baru yang gemilang dalam sejarah diplomasi Indonesia, atau hanya menjadi catatan kaki yang penuh dengan kompromi politik. Ujian sesungguhnya bukanlah pada kata-kata yang diucapkan, melainkan pada kemerdekaan yang kelak (atau tidak) diwujudkan.

Foto Mutiara Dwi Salsabila

Ditulis oleh : Mutiara Dwi Salsabila

Mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.