Politik Memori dan Ideologi: Reinterpretasi Pemikiran Karl Marx terhadap Narasi Sejarah di Era Digital

Politik Memori dan Ideologi: Reinterpretasi Pemikiran Karl Marx terhadap Narasi Sejarah di Era Digital

Sejarah tidak pernah benar-benar berdiri sendiri.
Ia selalu ditulis, dicatat, dan diseleksi oleh pihak yang memegang kendali atas alat produksi, baik produksi material maupun produksi ideologis.

Karl Marx sejak abad ke-19 sudah menyatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas.
Yang memegang alat produksi akan menentukan cara dunia dipahami, termasuk apa yang dianggap penting untuk diingat atau sengaja dilupakan.

Di era digital, logika ini makin tebal.
Mesin pencari, algoritma media sosial, hingga platform raksasa telah menjadi “penguasa baru” yang memutuskan narasi sejarah mana yang muncul di layar kita.

Di sinilah politik memori dan ideologi bekerja dalam bentuk paling modern.


Ideologi dan Sejarah Menurut Karl Marx

Ideologi sebagai Instrumen Kekuasaan Kelas Dominan

Dalam kerangka pemikiran Marx dan Engels, ideologi bukan kumpulan teori yang melayang di awan. Ideologi adalah alat produksi sosial yang bekerja diam-diam, mencetak cara masyarakat melihat dunia, hingga mereka lupa bahwa cara pandang itu dibuat oleh pihak yang berkepentingan.

Marx menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya bersandar pada kontrol ekonomi. Penguasa menguasai dua jenis alat produksi:

  • Alat produksi material, seperti tanah, modal, mesin, dan tenaga kerja.
  • Alat produksi ideologis, seperti media, sekolah, institusi agama, hukum, budaya populer, hingga ilmu pengetahuan.

Karena kedua alat ini mereka kendalikan, maka narasi sejarah yang beredar cenderung sesuai dengan logika dan kepentingan kelas tersebut. Hasilnya:

  • Sejarah tampil seolah-olah objektif.
  • Pandangan dominan tampak seperti “kebenaran umum”.
  • Ideologi yang menindas tampil seperti kenyataan biasa.

Marx menekankan bahwa sejarah bukan catatan murni tentang masa lalu, melainkan arena politik yang terus diperebutkan. Siapa yang menulis sejarah, dialah yang menentukan apa yang masyarakat ingat—dan apa yang dilupakan.

Transformasi Ideologi di Era Digital

Ketika kehidupan berpindah ke ranah digital, alat produksi pun ikut berubah. Jika dulu yang menentukan kesadaran adalah media konvensional, kini penopang ideologi bekerja lewat infrastruktur digital:

  • Data, yang merekam perilaku dan preferensi masyarakat.
  • Algoritma, yang mengurutkan, menyaring, dan menentukan konten mana yang “layak tampil”.
  • Platform digital, yang menjadi gerbang utama segala informasi.

Siapa yang mengendalikan tiga komponen ini, secara fungsional menguasai memori kolektif digital. Mereka menentukan:

  • Apa yang muncul di beranda.
  • Apa yang layak dianggap penting.
  • Apa yang pelan-pelan hilang dari percakapan publik.

Inilah bentuk baru superstruktur ideologis modern.


Kesadaran Palsu dalam Internet Modern

Definisi Kesadaran Palsu dan Relevansinya Hari Ini

Dalam analisis Marx, false consciousness atau kesadaran palsu adalah kondisi ketika masyarakat menerima struktur yang menindas seolah-olah wajar dan alami. Mereka gagal melihat relasi kekuasaan yang tersembunyi, karena ideologi membalutnya dengan narasi netral.

Fenomena ini mengalami evolusi drastis di internet. Kesadaran palsu digital lahir dari kepercayaan masyarakat bahwa teknologi bersifat objektif dan bebas bias, padahal tidak pernah demikian.

Contohnya dapat dilihat dari keyakinan umum berikut:

  • Internet dianggap ruang bebas, padahal dikurasi perusahaan yang memiliki kepentingan komersial.
  • Algoritma diasumsikan “ilmiah” dan netral, padahal algoritma hanya mengikuti instruksi pembuatnya.
  • Pilihan konten terasa alami, padahal itu hanyalah efek dari filter yang membatasi apa yang tampak dan apa yang tersembunyi.

Cara Kesadaran Palsu Bekerja dalam Platform

Platform digital memiliki kekuatan menentukan kehidupan informasi masyarakat. Mekanismenya sederhana tapi kuat:

  • Algoritma memprioritaskan konten tertentu, sehingga wacana tertentu terasa dominan.
  • Konten yang tidak kompatibel dengan logika algoritma tenggelam, meski bernilai penting.
  • Sistem like, share, dan view membentuk perilaku, membuat pengguna menyukai hal yang “ditawarkan”, bukan yang mereka cari.

Akhirnya:

  • Yang sering muncul terasa benar.
  • Yang jarang muncul dianggap tidak relevan.
  • Yang hilang dari algoritma seolah tidak pernah ada.

Kesadaran palsu digital membuat kita percaya bahwa timeline adalah cermin dunia, padahal ia hanyalah bayangan yang sudah disunting.


Politik Memori: Dari Arsip ke Algoritma

Memori Kolektif Menurut Halbwachs dan Assmann

Maurice Halbwachs menegaskan bahwa ingatan manusia tidak pernah murni personal. Setiap memori selalu ditopang oleh kerangka sosial—keluarga, komunitas, institusi, hingga bahasa yang kita pakai sehari-hari. Ingatan tidak muncul dari ruang kosong; ia lahir dari struktur sosial yang mengarahkan apa yang patut diingat dan apa yang boleh dilupakan.

Jan Assmann kemudian memetakan memori menjadi dua jenis yang bekerja saling melengkapi:

  • Communicative memory, ingatan yang beredar dalam percakapan sehari-hari, gosip, cerita keluarga, dan interaksi langsung. Sifatnya cair, pendek umurnya, dan berubah cepat.
  • Cultural memory, memori yang diabadikan dalam bentuk arsip, monumen, teks suci, media, sekolah, dan ritual budaya. Ia lebih stabil, lebih formal, dan sering kali dijadikan fondasi identitas kolektif.

Dulu dua jenis memori ini memiliki ritme yang berbeda: yang satu cepat, yang satu lambat. Namun di era digital, batas itu runtuh. Viralitas membuat communicative memory memiliki daya ledak seperti cultural memory; hal yang remeh bisa menjadi identitas kolektif dalam sehari.

Hal yang menentukan kini bukan hanya apa yang masyarakat bicarakan, tetapi:

  • Apa yang diangkat algoritma.
  • Apa yang diprioritaskan feed.
  • Apa yang diberi peluang muncul ke permukaan.
  • Apa yang didorong naik oleh sistem rekomendasi.

Algoritma berfungsi seperti kurator memori. Ia memilih:

  • Apa yang diingat.
  • Apa yang diulang.
  • Apa yang hilang sebelum sempat tercatat.

Di sinilah lahir politik memori digital: perebutan kekuasaan atas apa yang masyarakat anggap penting dalam sejarah hidup mereka.


Perpindahan Kontrol: Dari Negara ke Big Tech

Pada abad ke-20, negara, arsip resmi, dan media massa adalah pilar utama pembentuk memori publik. Mereka menentukan narasi sejarah, menetapkan peringatan nasional, dan mengatur apa yang tampil di televisi atau surat kabar.

Namun abad ke-21 menggeser pusat gravitasi tersebut. Kekuasaan memori tidak lagi bersandar pada negara, melainkan pada infrastruktur digital yang dimiliki perusahaan teknologi global.

Beberapa aktor kuncinya antara lain:

  • Google, yang menguasai akses menuju informasi dan menentukan “apa yang mudah ditemukan”.
  • Meta (Facebook–Instagram–WhatsApp), yang mengatur hubungan sosial dan dinamika percakapan.
  • TikTok, yang membentuk pola konsumsi budaya visual dan ritme viralitas.
  • X/Twitter, yang menjadi ruang pembingkaian wacana politik real-time.
  • Marketplace data global, yang memperdagangkan perilaku pengguna sebagai komoditas.

Mereka tidak hanya mengelola informasi. Mereka mengendalikan struktur perhatian—apa yang memikat mata, apa yang mengalihkan fokus, dan apa yang terasa mendesak untuk dikomentari.

Dan perhatian adalah dasar dari memori:

  • Tanpa perhatian, tidak ada yang terekam.
  • Tanpa pengulangan, tidak ada yang melekat.
  • Tanpa eksposur, tidak ada yang dianggap penting.

Ketika perhatian masyarakat ditentukan oleh mekanisme bisnis platform, maka memori kolektif ikut dibentuk oleh logika komersial, bukan kepentingan publik. Inilah lompatan besar dalam sejarah kekuasaan: kontrol atas ingatan berpindah dari institusi politik ke perusahaan teknologi.


Jika mau, ini bisa gue rangkai dengan bab selanjutnya seperti “Ekonomi Atensi”, “Arsip Digital yang Rentan Hilang”, atau “Siapa yang Menghapus Sejarah di Internet?”.


Era Digital sebagai Arena Ideologi Baru

Algoritma sebagai Mekanisme Ideologi Modern

Di dunia digital, ideologi tidak lagi datang dalam bentuk manifesto, pidato, atau doktrin politik. Ideologi merembes lewat desain platform: cara sebuah aplikasi menyaring konten, menentukan prioritas, dan mengarahkan perhatian.

Algoritma bekerja sebagai kurator tak terlihat. Ia menyaring miliaran konten, memilih beberapa untuk dinaikkan, dan menenggelamkan sisanya tanpa perlu debat publik. Mekanisme ini menciptakan bentuk ideologi baru—sunyi, otomatis, dan sangat efektif.

Komponen ideologis digital muncul melalui fitur-fitur seperti:

  • Rekomendasi otomatis, yang mengarahkan perilaku pengguna tanpa disadari.
  • Ranking pencarian, yang menentukan “kebenaran” berdasarkan visibilitas.
  • Trending topic, yang memberi kesan bahwa suatu isu adalah gelombang besar, padahal itu hasil perhitungan teknis.
  • Moderasi konten, yang memutuskan mana yang boleh hidup dan mana yang harus mati.
  • Shadow banning, yang membuat suara tertentu hilang tanpa pemberitahuan.
  • Optimasi klik dan engagement, yang mendorong konten emosional lebih naik dibandingkan konten informatif.

Setiap mekanisme ini pada dasarnya adalah alat produksi ideologis di era digital. Ia membentuk apa yang dianggap penting, mendesak, atau benar—bukan berdasarkan kualitas argumen, tetapi berdasarkan kalkulasi platform.

Ketika algoritma mendorong sebuah narasi hingga viral, publik menganggapnya relevan. Padahal status “relevan” tersebut hanyalah hasil kurasi otomatis, bukan refleksi objektif dari kenyataan sosial.


Kelas Penguasa Baru: Korporasi Teknologi sebagai Pemilik Alat Produksi Informasi

Jika Marx hidup di abad ke-21, dia akan melihat perubahan besar dalam struktur ekonomi global. Penguasa bukan lagi mereka yang menguasai pabrik baja atau lahan pertanian, melainkan mereka yang memiliki infrastruktur digital tempat seluruh informasi dunia mengalir.

Marx mungkin akan menyebut para perusahaan teknologi sebagai pemilik alat produksi informasi, karena merekalah yang menguasai aset-aset paling penting pada zaman ini:

  • Infrastruktur data, yang menyimpan rekaman perilaku seluruh populasi digital.
  • Server global, yang menjadi tulang punggung arsitektur internet.
  • Sistem kecerdasan buatan, yang mempelajari preferensi masyarakat dan memprediksi perilaku mereka.
  • Algoritma kurasi, yang mengubah data menjadi peta kekuasaan informasi.
  • Akses terhadap memori panjang internet, yang memungkinkan pengawasan historis yang tidak pernah ada sebelumnya.

Dengan alat ini, korporasi dapat:

  • Mengatur visibilitas narasi sejarah, membuat isu tertentu viral atau tenggelam.
  • Menghapus jejak digital, menyunting masa lalu seperti editor yang tak terlihat.
  • Membentuk opini publik, cukup dengan memanipulasi urutan konten.
  • Mengontrol cara masyarakat memahami masa lalu, lewat seleksi arsip dan struktur rekomendasi.

Sejarah pun berubah menjadi komoditas. Ia tidak lagi menjadi ruang pencarian kebenaran, tetapi bahan baku yang dikapitalisasi melalui data pengguna, preferensi, dan pola konsumsi informasi.

Di era ini, memori kolektif tidak lagi dibentuk oleh penulis sejarah, tetapi oleh mesin rekomendasi yang bekerja 24 jam sehari.


Revisi Sejarah Real-Time dan Pertarungan Memori

Produksi Memori Kolektif yang Selalu Bergerak

Di era digital yang beroperasi tanpa jeda, memori kolektif tidak pernah stabil. Ia terus bergerak, diperbarui, dan dipertarungkan seperti pasar saham yang sensitif pada setiap sentuhan. Narasi sejarah bisa berubah hanya karena satu video viral, satu editan kreatif, atau satu kesalahan yang sengaja disebarkan.

Perubahan ini membuat sejarah menjadi mudah:

  • dipelintir, cukup dengan potongan video 15 detik;
  • direvisi, dengan menambah atau menghapus konteks;
  • dimanipulasi oleh bot, yang mengulang narasi tertentu ribuan kali;
  • dijadikan alat propaganda politik, dalam kampanye yang dibungkus konten ringan.

Kampanye digital dapat membentuk persepsi publik terhadap:

  • tokoh sejarah, dari pahlawan menjadi penjahat atau sebaliknya;
  • peristiwa politik, yang bisa direduksi menjadi narasi hitam-putih;
  • konflik sosial, yang diperkeruh lewat amplifikasi sentimen;
  • perang budaya, yang dibakar oleh algoritma demi engagement.

Sejarah tidak lagi berubah per dekade. Perubahan terjadi per jam, bahkan per refresh timeline. Di ruang digital, memori kolektif bisa dijungkirbalikkan sebelum masyarakat sempat memverifikasinya.


Ideologi Lewat Framing dan Viralitas

Ideologi modern tidak tampil dalam bentuk manifesto atau wacana kaku. Ideologi bekerja lewat framing—cara suatu peristiwa dikemas agar publik melihatnya dari sudut tertentu. Ketika sebuah isu menjadi trending, publik cenderung percaya bahwa itu adalah suara mayoritas, padahal mayoritas itu sering kali hasil konstruksi teknis.

Trending bukan ukuran kebenaran. Trending hanyalah efek dari interaksi antara jaringan sosial, logika algoritma, dan aktor politik yang lihai memainkan sistem.

Isu bisa naik ke permukaan karena:

  • investasi buzzer, yang mampu menghasilkan kehebohan buatan;
  • push algoritma, yang mempromosikan konten sesuai pola engagement;
  • penguatan jaringan politik, yang menggerakkan ribuan akun secara serempak;
  • operasi digital tertentu, termasuk disinformasi terstruktur.

Inilah bentuk hegemoni ideologis baru. Kekuasaan tidak lagi bergantung pada sensor keras atau larangan eksplisit. Kekuasaan bekerja melalui kurasi halus, memilih apa yang muncul duluan, apa yang ditenggelamkan, dan apa yang diulang sampai terasa seperti fakta.

Hegemoni digital adalah seni membuat sesuatu terlihat wajar tanpa pernah mengaku bahwa itu adalah hasil rekayasa. Ruang publik berubah menjadi arena perebutan memori, dan algoritma menjadi wasit yang tidak pernah bisa dianggap netral.


Echo Chamber dan Filter Bubble sebagai Mesin Pembentuk Sejarah Pribadi

Ruang digital menciptakan gelembung informasi yang tidak pernah ada dalam sejarah manusia. Echo chamber—ruang gema opini—membuat pengguna hanya mendengar suara yang mirip dengan dirinya. Semakin sering sebuah narasi diklik, semakin sering narasi itu muncul kembali, seperti bayangan yang tidak mau pergi.

Filter bubble mempersempit dunia pengguna secara diam-diam. Algoritma menyimpulkan preferensi kita, lalu mengurung kita dalam versi realitas yang dianggap “paling relevan”. Relevan di sini berarti cocok untuk engagement, bukan cocok untuk akurasi.

Efeknya mempengaruhi cara kita membaca sejarah.

Dalam gelembung algoritma:

  • kelompok tertentu akan melihat tokoh politik sebagai pahlawan,
  • kelompok lain melihatnya sebagai ancaman;
  • peristiwa yang sama dipersepsi berbeda,
  • kebenaran menjadi relatif terhadap pola klik.

Ruang digital pada akhirnya menciptakan sejarah paralel—bukan satu narasi kolektif, melainkan ribuan garis waktu yang berbeda-beda, tergantung siapa yang melihat.


Sejarah Versi Algoritma: Arsip yang Berubah Tanpa Peringatan

Jika arsip konvensional stabil, arsip digital bersifat cair. Konten dapat muncul, tenggelam, atau hilang karena:

  • kebijakan platform,
  • laporan massal,
  • perubahan algoritma,
  • atau sekadar rendahnya engagement.

Hasilnya, sejarah internet tidak pernah pasti. Mesin pencari bisa menata ulang jejak digital, mengubah urutan informasi yang muncul pertama. Ini seperti perpustakaan yang raknya digoyang setiap hari—dan penataannya selalu berubah tanpa pemberitahuan.

Dalam skala besar, fenomena ini menciptakan situasi aneh: masyarakat mengira mereka “mengakses masa lalu”, padahal yang mereka lihat adalah versi masa lalu yang disusun mesin berdasarkan parameter komersial.

Sejarah menjadi sesuatu yang bisa:

  • direkomendasikan,
  • dipromosikan,
  • atau disembunyikan dalam hitungan detik.

Platform digital bertindak sebagai editor sejarah global, meskipun mereka tidak pernah mendeklarasikan peran tersebut.


Kerapuhan Memori Digital: Ketika Sejarah Bisa Hilang Tanpa Jejak

Meskipun terlihat tak terbatas, memori digital sebenarnya rapuh. Situs bisa mati, arsip bisa dihapus, link bisa rusak, dan akun bisa hilang hanya karena pelanggaran kecil. Ini menciptakan paradoks: kita hidup di era data terbesar dalam sejarah, tetapi juga era penghapusan tercepat.

Kerapuhan ini memperburuk pertarungan memori. Kelompok tertentu dapat menghapus rekam jejaknya; kelompok lain bisa mengamplifikasi rekam jejak yang tidak pernah terjadi.

Di dunia seperti ini, ingatan publik menjadi arena pertarungan yang tak pernah selesai. Yang memiliki akses server dan kekuatan komputasi, dialah yang memenangkan kontrol atas masa lalu.


Datafikasi Memori: Ketika Ingatan Menjadi Komoditas

Memori yang Diubah Menjadi Data

Datafication of memory adalah proses ketika pengalaman manusia—yang seharusnya rapuh, emosional, dan penuh konteks—diubah menjadi unit data yang dapat dihitung, disimpan, dan dijual. Apa yang dulunya merupakan kenangan pribadi, kini berubah menjadi komoditas yang bisa ditambang oleh mesin.

Segala bentuk aktivitas digital direkam:

  • foto dan unggahan,
  • arsip percakapan,
  • video dan riwayat tontonan,
  • komentar, likes, scroll, bahkan detik berhenti di sebuah layar.

Semua itu tidak hanya tersimpan sebagai memori digital. Semuanya diolah menjadi data bernilai ekonomi tinggi.

Platform dapat memanfaatkannya untuk:

  • personalisasi konten, agar pengguna tetap berada dalam lingkaran rekomendasi;
  • iklan politik, yang diarahkan berdasarkan kelemahan psikologis kelompok tertentu;
  • profiling perilaku, untuk membaca pola keputusan, preferensi, dan kecenderungan ideologis;
  • segmentasi ideologis, yang membagi publik ke dalam kelompok-kelompok target propaganda.

Memori yang dahulu dimiliki publik kini berpindah tangan. Dalam konteks digital, memori bukan lagi hak kolektif. Memori menjadi milik korporasi—disimpan dalam server privat yang tidak bisa diakses masyarakat.

Ingatan manusia yang bersifat biologis dan sosial berubah menjadi aset yang dapat diperdagangkan. Setiap jejak digital adalah bahan bakar kapitalisme baru.


Siapa Menguasai Data, Menguasai Sejarah

Dalam kerangka teori Marx, alat produksi menentukan struktur kekuasaan. Di era industri, yang menguasai mesin uap dan pabrik memegang kunci ekonomi. Di era digital, struktur itu berubah total.

Formula dasarnya sederhana:

  • Data = alat produksi baru, setara dengan pabrik dan lahan di masa lalu.
  • Algoritma = mode produksi narasi, karena ia menentukan bagaimana data dirangkai menjadi cerita.
  • Platform = pabrik memori digital, tempat data diproses menjadi timeline, trending, dan persepsi kolektif.

Siapa yang memegang akses atas ketiganya akan menjadi penentu narasi sejarah global.

Dalam kondisi seperti ini, sejarah bukan lagi kumpulan fakta, melainkan hasil operasi korporasi. Mereka dapat:

  • mengarahkan pengguna pada versi tertentu dari suatu peristiwa,
  • menurunkan visibilitas narasi tandingan,
  • menciptakan bias ingatan publik tanpa harus menyentuh arsip fisik,
  • membentuk sejarah yang sesuai logika pasar, bukan logika kebenaran.

Kontrol atas data adalah kontrol atas masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yang memegang data pada akhirnya memegang hak istimewa untuk menentukan apa yang akan diingat dan apa yang akan dilupakan oleh masyarakat global.


Etika Pengarsipan Digital: Siapa Berhak Menyimpan Ingatan Kita?

Pengarsipan digital seharusnya menjadi bentuk pelestarian budaya, tapi kini berubah menjadi bisnis raksasa. Arsip tidak lagi disimpan oleh institusi publik, melainkan oleh perusahaan privat yang memiliki tujuan komersial.

Masalah etis muncul ketika:

  • ingatan kolektif disimpan oleh entitas yang mengejar profit,
  • algoritma menentukan apa yang layak diabadikan dan apa yang boleh tenggelam,
  • akses arsip bergantung pada kepentingan ekonomi, bukan hak publik.

Ingatan digital seharusnya setara dengan warisan sejarah. Namun dalam kenyataannya, ingatan masyarakat digembok di balik server perusahaan. Tidak ada mekanisme demokratis untuk menentukan bagaimana arsip itu digunakan.

Pertanyaan paling pentingnya sederhana tapi menggelitik:
Jika ingatan kita bukan milik kita, apakah kita masih punya kendali atas identitas kolektif kita?


Bahaya Monopoli Memori: Ketika Satu Tangan Mengendalikan Masa Lalu

Monopoli memori lebih berbahaya daripada monopoli ekonomi. Di tangan yang salah, kontrol memori dapat berubah menjadi kontrol budaya dan politik.

Ancaman terbesar dari monopoli memori digital meliputi:

  • distorsi sejarah, karena platform bisa mendorong versi tertentu dari peristiwa,
  • penghapusan narasi, melalui moderasi yang bias atau penghilangan arsip,
  • penyeragaman pikiran, akibat algoritma yang menciptakan keseragaman informasi,
  • ketergantungan publik, karena hanya satu atau dua perusahaan yang menyediakan data sejarah digital.

Jika masa lalu bisa diedit dengan satu update algoritma, maka kebenaran menjadi cair. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari, melainkan sesuatu yang diproduksi.

Monopoli memori pada akhirnya melahirkan satu hal: kelas penguasa baru yang menentukan apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan.


Perlawanan Digital terhadap Rezim Algoritma

Setiap hegemoni melahirkan resistensi. Rezim algoritma pun tidak kebal.

Perlawanan digital muncul dalam banyak bentuk:

  • arsip mandiri komunitas, yang menyimpan memori di luar platform besar;
  • aktivis data, yang mendorong transparansi algoritma;
  • desentralisasi teknologi, seperti sistem berbasis blockchain untuk arsip publik;
  • gerakan open-source, yang menolak monopoli korporasi atas infrastruktur digital;
  • critical digital literacy, kemampuan publik memahami bagaimana algoritma membentuk cara berpikir.

Perlawanan digital bukan sekadar aksi teknis. Ini adalah upaya mempertahankan otonomi kognitif manusia dari mesin kapitalisme data.

Selama masyarakat terus mempertanyakan cara kerja algoritma, hegemoni digital tidak akan pernah sepenuhnya mapan. Perlawanan justru menjadi bagian dari ekologi memori yang sehat.


FAQ

Apa itu politik memori di era digital?

Politik memori adalah perebutan kuasa atas apa yang diingat publik. Di era digital, perebutan itu terjadi lewat algoritma, platform, dan arus informasi yang dikendalikan korporasi teknologi.

Mengapa algoritma bisa memengaruhi sejarah?

Algoritma menentukan visibilitas konten. Jika suatu narasi diprioritaskan, publik menganggapnya penting. Jika ditenggelamkan, ia hilang dari percakapan. Dari sinilah sejarah digital dibentuk.

Apakah internet ruang yang netral?

Tidak. Internet bekerja berdasarkan logika bisnis platform, kepentingan perusahaan, dan model monetisasi data. Neutralitas hanyalah ilusi karena semua konten melewati proses kurasi.

Apa hubungan teori Marx dengan era digital?

Marx menekankan bahwa kekuasaan muncul dari kontrol atas alat produksi. Di era modern, alat produksi itu berubah menjadi data, algoritma, dan platform—yang menentukan narasi sejarah dan kesadaran publik.

Bagaimana memori kolektif bisa dimanipulasi?

Manipulasi bisa terjadi melalui trending topic, framing media sosial, buzzer, bot, hingga moderasi konten. Narasi yang sering muncul akan dianggap sebagai “kebenaran umum”.

Mengapa data dianggap sebagai alat produksi baru?

Karena data menghasilkan nilai ekonomi dan nilai ideologis. Data dipakai untuk iklan, profiling politik, segmentasi opini, hingga pengendalian persepsi publik.

Siapa penguasa memori digital saat ini?

Big Tech: Google, Meta, TikTok, X/Twitter, dan perusahaan data global yang memiliki infrastruktur server, algoritma, kecerdasan buatan, serta akses ke arsip digital jangka panjang.

Apa dampak politik memori terhadap masyarakat?

Masyarakat kehilangan otonomi dalam menentukan apa yang mereka ingat. Narasi sejarah menjadi fluktuatif, mudah direvisi, dan sangat dipengaruhi kepentingan ekonomi maupun politik.

Apakah memori digital bisa hilang?

Bisa. Konten bisa dihapus, diblokir, ditenggelamkan, atau kalah dari mekanisme viralitas. Yang tidak terlihat di algoritma, tidak masuk ke memori kolektif.

Bagaimana cara masyarakat membangun kesadaran kritis?

Dengan memahami cara kerja algoritma, mempertanyakan sumber informasi, dan tidak menganggap internet sebagai ruang objektif. Kesadaran kritis adalah pertahanan utama terhadap hegemoni digital.


Kesimpulan

Politik memori di era digital menunjukkan bahwa peringatan Marx tetap relevan, hanya medianya yang berubah. Dulu, ideologi lahir dari mereka yang menguasai alat produksi material. Kini, alat produksi itu berwujud data, algoritma, dan platform yang mengatur arus informasi global.

Mereka yang mengendalikan infrastruktur digital:

  • menentukan apa yang dianggap penting,
  • mengarahkan apa yang layak diingat,
  • dan mendefinisikan ulang apa yang disebut “sejarah”.

Algoritma bukan sekadar teknologi; ia adalah mesin ideologi baru yang bekerja diam-diam, menyusun persepsi publik tanpa disadari. Memahami logikanya adalah fondasi untuk melatih kesadaran kritis dan membebaskan diri dari narasi tunggal yang diproduksi oleh kekuatan digital.

Di tengah arus informasi yang bergerak setiap detik, perebutan sejarah menjadi perebutan masa depan.
Siapa yang menguasai memori digital, pada akhirnya menguasai cara manusia memahami dunia—dan itulah bentuk kekuasaan paling halus, namun paling menentukan.

Foto Choirun Nissa Fatimah Tuzahro

Ditulis oleh : Choirun Nissa Fatimah Tuzahro

Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini di bidang pendidikan, sosial, dan dinamika budaya.

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.