Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z

FOKUS OPINI - Di era digital yang serba cepat, media sosial bukan hanya ruang hiburan—tetapi mesin pembentuk perilaku. Bagi Generasi Z, terutama mahasiswa dan remaja, platform seperti TikTok telah mengubah cara mereka melihat kebutuhan, keinginan, dan bahkan identitas. Fenomena ini membuat Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z menjadi topik penting, bukan hanya bagi akademisi, tetapi juga orang tua, pendidik, dan pelaku usaha.
Artikel ini mengurai bagaimana algoritma, influencer, dan fitur belanja instan membentuk budaya konsumsi baru—sebuah pola yang lebih emosional, lebih cepat, dan sering kali menjebak pengguna dalam lingkaran konsumsi impulsif.
Baca juga: Sextortion & Krisis Moral: Alarm Penting bagi Generasi Digital
1. Media Sosial, Teknologi, dan Lahirnya Budaya Konsumsi Digital
Kemajuan teknologi komunikasi membawa perubahan besar pada cara masyarakat memenuhi kebutuhan. Belanja online kini bukan sekadar pilihan, tetapi menjadi bagian alami dari keseharian. Generasi Z, sebagai digital native, tumbuh dalam lingkungan di mana smartphone, internet cepat, dan media sosial menyatu dalam aktivitas sehari-hari.
Fenomena ini melahirkan pola baru:
- Belanja tak lagi memerlukan pertimbangan mendalam
- Keinginan lebih dominan daripada kebutuhan
- Eksposur visual menentukan rasa “butuh”
- Validasi sosial menjadi motivasi konsumsi
Inilah pondasi yang membuat TikTok—platform video pendek yang sangat visual—menjadi ruang paling subur memicu perilaku konsumtif generasi muda.
2. Konten TikTok: Konsumsi Berbasis Emosi dan Visual
Salah satu temuan penting dari berbagai studi adalah kecenderungan Generasi Z menerima pesan melalui rute periferal—jalur yang mengandalkan estetika, tren, dan daya tarik visual, bukan logika atau analisis rasional.
Artinya:
- Video yang aesthetic lebih mudah memicu keinginan membeli
- Produk yang dikemas dalam gaya visual menarik terasa lebih “penting”
- Musik, editan cepat, dan visual sinematik membangun dorongan emosional
- “Before-after”, haul, unboxing, dan tutorial memperkuat ilusi kebutuhan
Pada akhirnya, pengaruh media sosial terhadap perilaku konsumtif Generasi Z sangat dipengaruhi oleh bagaimana konten tersebut dibungkus, bukan nilai fungsi produknya.
3. Influencer dan Pembentukan Identitas Konsumtif
Di masa pandemi, TikTok menjadi “ruang pertemanan baru” bagi banyak remaja dan mahasiswa. Influencer tampil dengan gaya santai, personal, dan terasa dekat—sehingga mereka lebih dipercaya dibanding iklan formal.
Beberapa karakteristik yang membuat influencer begitu memengaruhi keputusan konsumsi:
- Relatable: gaya ngobrol seperti teman sebaya
- Autentik: berbagi pengalaman pribadi, bukan sekadar promosi
- Emosional: menciptakan kedekatan yang membuat rekomendasi terasa tulus
- Persuasif: pandai membangun narasi menarik mengenai sebuah produk
Influencer tidak lagi sekadar endorser; mereka menjadi role model, referensi gaya hidup, bahkan pembentuk identitas.
4. Normalisasi Belanja lewat TikTok Shop
Hadirnya TikTok Shop mengubah lanskap belanja digital secara besar-besaran. Tidak ada platform lain yang menggabungkan hiburan, influencer, dan pembelian satu-klik dalam satu ekosistem yang seamless seperti TikTok.
Dampaknya:
- Proses membeli hanya butuh beberapa detik
- Belanja impulsif meningkat karena minim hambatan kognitif
- Fitur live selling menciptakan suasana “panas” yang memicu FOMO
- Rekomendasi algoritmik memperkuat bias keinginan
Generasi Z cenderung mengasosiasikan belanja sebagai “kegiatan seru”, bukan keputusan ekonomi.
5. Konsumsi Sebagai Strategi Representasi Diri
Bagi banyak pengguna muda, membeli barang bukan soal kebutuhan, tetapi cara menunjukkan diri di ruang digital.
Fenomena ini terlihat dalam:
- tren “apa yang kamu pakai menunjukkan siapa kamu”
- konten mirror selfie, outfit check, produktivitas aesthetic
- keinginan tampil up-to-date mengikuti tren TikTok
- penggunaan produk sebagai simbol status
Dengan kata lain, konsumsi menjadi bahasa visual untuk membangun identitas digital.
6. Mahasiswa dan Tekanan Ekosistem Sosial TikTok
Mahasiswa sebagai kelompok yang aktif di TikTok sering terjebak dalam budaya komparasi sosial:
- merasa tertinggal jika tidak punya barang “yang lagi viral”
- saling rekomendasi produk dalam circle pertemanan
- mengikuti tren karena takut dianggap tidak gaul
- menjadi konsumen aktif meski tidak selalu mampu secara finansial
Tekanan sosial di TikTok membuat pola konsumsi bukan lagi soal keputusan personal, tetapi keputusan kolektif.
7. Aspek Hukum: Perlindungan Konsumen dalam Era TikTok & Influencer
Salah satu isu penting dalam Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z adalah lemahnya literasi konsumen. Banyak pengguna muda tidak menyadari bahwa konten promosi influencer berada dalam ruang yang seharusnya tunduk pada aturan hukum.
Di Indonesia, rujukan utama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan:
- Hak atas informasi yang benar dan jujur (Pasal 4).
Artinya, konsumen berhak tahu apakah sebuah konten bersifat iklan, promosi berbayar, atau pengalaman pribadi. - Larangan penyebaran informasi menyesatkan (Pasal 9).
Banyak konten TikTok mengandung klaim berlebihan, testimoni palsu, atau impresi “dipakai setiap hari” padahal hanya gimmick marketing. - Relevansi untuk Generasi Z
Minimnya literasi hukum membuat mahasiswa dan remaja sering menjadi target empuk taktik pemasaran agresif yang tidak transparan.
Dengan kata lain, TikTok menciptakan ruang abu-abu: influencer tampil seperti teman, tapi bertindak sebagai tenaga pemasaran. Generasi Z sering tidak menyadari pergeseran peran ini.
8. Dampak Psikologis: Dari FOMO hingga Self-Rewarding
Perilaku konsumtif di media sosial bukan hanya soal keinginan membeli barang. Ada mekanisme psikologis yang membuat Generasi Z rentan:
a. FOMO (Fear of Missing Out)
Konten TikTok bergerak cepat dan berbasis tren. Ketika suatu produk viral, pengguna merasa harus ikut membeli agar “nggak ketinggalan”.
b. Emotional Buying
Video dengan musik tertentu, transisi dramatis, dan testimoni manis membuat emosi mengambil alih rasionalitas.
c. Dopamin Hit
Belanja online memberikan rasa senang instan. Semakin cepat proses checkout, semakin cepat pula dopamin dilepaskan.
d. Social Comparison
Melihat orang lain punya barang tertentu mendorong keinginan untuk menyamai status atau gaya hidup mereka.
Ini menjelaskan kenapa Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z tidak bisa dipisahkan dari kondisi mental, harga diri, dan kebutuhan akan validasi sosial.
Baca juga: Fenomena FOMO pada Remaja di Era Digital: Dampak, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
9. Dampak Ekonomi: Kebiasaan Konsumsi Tak Rasional di Usia Muda
Bagi mahasiswa, perilaku konsumtif dapat berakibat pada:
- pengeluaran meningkat tanpa disadari
- memprioritaskan keinginan daripada kebutuhan
- berutang melalui paylater atau kartu kredit digital
- impulsive buying menjadi kebiasaan
- sulit mengelola uang jangka panjang
Fenomena ini menjadi alarm serius, mengingat Generasi Z sedang memasuki usia produktif dan harus membangun fondasi finansial.
10. Solusi: Membangun Literasi Digital dan Kesadaran Konsumen
Agar Generasi Z tidak terus menjadi korban arus konsumsi digital, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
1. Edukasi literasi digital sejak dini
Bukan hanya soal keamanan data, tetapi juga memahami bagaimana algoritma memengaruhi keputusan.
2. Melek hukum perlindungan konsumen
Mengetahui hak dan larangan yang diatur undang-undang dapat mencegah manipulasi informasi.
3. Membandingkan harga dan kebutuhan
Jangan langsung membeli karena tampilan video menarik.
4. Membatasi paparan konten belanja
Mengurangi waktu di TikTok Shop atau live selling membantu mengendalikan impuls.
5. Mencatat pengeluaran bulanan
Mahasiswa perlu belajar mengelola anggaran agar tidak terjebak pola belanja emosional.
FAQ: Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z
1. Mengapa media sosial dapat memicu perilaku konsumtif pada Generasi Z?
Media sosial dipenuhi konten visual yang menarik, promosi influencer, dan rekomendasi produk yang membuat Generasi Z mudah terpengaruh. Algoritma platform juga menampilkan konten sesuai minat pengguna sehingga mendorong keinginan membeli secara berulang.
2. Apa peran influencer dalam keputusan belanja Generasi Z?
Influencer dianggap sebagai figur yang relatable dan terpercaya. Gaya komunikasi yang santai membuat mereka tampak seperti teman sendiri, sehingga rekomendasi produk lebih mudah diterima dan memicu pembelian impulsif.
3. Bagaimana TikTok Shop memengaruhi perilaku konsumtif remaja dan mahasiswa?
TikTok Shop menggabungkan hiburan dan belanja dalam satu aplikasi. Proses checkout yang cepat dan fitur live selling membuat pengguna membeli tanpa banyak pertimbangan rasional.
4. Apakah perilaku konsumtif di media sosial bisa berdampak pada kondisi keuangan Generasi Z?
Ya. Kebiasaan belanja impulsif dapat menyebabkan pengeluaran berlebihan, ketergantungan “self-reward”, hingga memicu penggunaan paylater yang tidak terkontrol.
5. Bagaimana cara Generasi Z mengurangi perilaku konsumtif akibat media sosial?
Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi paparan konten belanja, mencatat pengeluaran bulanan, membatasi penggunaan fitur live shopping, serta meningkatkan literasi digital dan kemampuan membedakan promosi dari konten organik.
6. Apakah ada regulasi yang melindungi konsumen dari konten promosi menyesatkan di media sosial?
Ada. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur hak atas informasi yang benar dan larangan penyebaran iklan menyesatkan. Namun, literasi pengguna—terutama Generasi Z—masih perlu ditingkatkan agar lebih kritis dalam menerima konten influencer.
Penutup: Media Sosial Menciptakan Budaya Konsumsi Baru
Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Konsumtif Generasi Z tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia dibentuk oleh perpaduan:
- visualisasi konten yang memicu emosi
- influencer yang terasa dekat dan kredibel
- algoritma yang mendorong keinginan berulang
- fitur belanja instan tanpa hambatan
Generasi Z hidup pada era di mana identitas dan konsumsi berjalan beriringan. Mereka bukan hanya membeli barang, tetapi juga membeli gaya hidup, estetika, dan validasi sosial.
Kesadaran, edukasi, dan literasi digital menjadi fondasi penting untuk menciptakan generasi muda yang bijak dalam mengelola kebutuhan dan keinginan di tengah derasnya arus digital.
Penulis : Nurlita
Mahasiswa Ilmu Komunikasi – FISIP – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa