Negeri Kaya yang Masih Hidup dalam Kemiskinan — Mengapa Kekayaan Tak Menjamin Kesejahteraan

Negeri Kaya yang Masih Hidup dalam Kemiskinan — Mengapa Kekayaan Tak Menjamin Kesejahteraan

FOKUS OPINI
- Indonesia sering dipuji sebagai negara dengan kekayaan alam berlimpah—tanah subur, hutan tropis, lautan luas, hingga potensi tambang kelas dunia. Tapi di balik semua itu, muncul ironi: negeri kaya yang masih hidup dalam kemiskinan. Fenomena ini bukan sekadar slogan; angkanya nyata. Pada Maret 2025, BPS mencatat 8,47% penduduk Indonesia atau 23,85 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski ini adalah capaian terendah dalam sejarah modern Indonesia, faktanya masih banyak keluarga yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Artikel ini mengulik akar paradoks tersebut, membedah data 30 tahun perjalanan kemiskinan Indonesia, dan menawarkan strategi konkret yang bisa membawa Indonesia keluar dari lingkaran kemiskinan struktural.


Kenapa Negeri Kaya Tapi Masih Banyak yang Hidup Susah?

Buat memahami paradoks negeri kaya yang masih hidup dalam kemiskinan, kita harus ngelihat masalahnya dengan kepala dingin. Kekayaan alam memang besar, tapi distribusi manfaatnya belum merata.

1. Distribusi Kekayaan Alam Tak Merata

Sumber daya alam Indonesia memang luar biasa. Sayangnya:

  • Akses dan manfaat sering terkonsentrasi pada segelintir pihak.
  • Wilayah kaya tambang tidak selalu kaya masyarakatnya.
  • Model pengelolaan masih didominasi ekonomi ekstraktif tanpa nilai tambah lokal.

Kekayaan ada, tapi tidak berputar di masyarakat.

2. Struktur Ekonomi Belum Inklusif

Pembangunan cenderung fokus di kota-kota besar. Daerah pedesaan atau 3T kerap tertinggal:

  • Akses layanan dasar belum merata.
  • Infrastruktur minim membuat biaya hidup dan biaya usaha lebih tinggi.
  • Banyak masyarakat tak mampu menembus pasar kerja formal.

Hasilnya? Kemiskinan mengakar dari generasi ke generasi.

3. Kemiskinan Itu Multidimensi, Bukan Angka Penghasilan Aja

Kalau seseorang penghasilannya naik, belum tentu dia keluar dari kemiskinan. Kenapa?

Karena:

  • akses pendidikan buruk,
  • layanan kesehatan minim,
  • air bersih sulit,
  • sanitasi kacau,
  • lingkungan tidak mendukung.

Ini bikin masyarakat sulit naik kelas.

4. Ketimpangan Masih Tinggi

Meskipun rasio Gini Indonesia membaik, gap antara kelompok kaya dan miskin masih cukup lebar:

  • Kelompok 20% terbawah sulit mengejar ketertinggalan.
  • Pendapatan rata-rata naik, tapi kelompok bawah tetap sulit memenuhi kebutuhan dasar.

Performa Pemerintah: Sudah Membaik, Tapi Tantangannya Besar

Beberapa tahun terakhir, penurunan angka kemiskinan memang signifikan:

  • 2024: 8,57%
  • 2025: 8,47%
  • Kemiskinan ekstrem: 0,85%
  • Ketimpangan turun meski perbedaan kota–desa masih ketara.

Artinya, kebijakan bantuan sosial dan integrasi data mulai bekerja lebih baik. Tapi pekerjaan rumah masih panjang karena angka absolut penduduk miskin tetap besar: belasan hingga puluhan juta orang.


Membaca Grafik Kemiskinan Indonesia 1996–2025: Tiga Dekade Naik-Turun

Membaca Grafik Kemiskinan Indonesia 1996–2025: Tiga Dekade Naik-Turun

Untuk memahami mengapa Indonesia masih menjadi negeri kaya yang masih hidup dalam kemiskinan, kita harus membaca historiografi datanya.

1. Krisis 1997/1998: Titik Terdalam

  • 1996: 17,47%
  • 1998: 24,23%

Ini lonjakan terbesar dalam sejarah. Krisis membuat kelas menengah bawah terjun bebas. Harga pangan melesat, PHK massal terjadi, UMKM rontok.

2. 1999–2014: Pemulihan Lambat Tapi Stabil

Penurunan kemiskinan berlangsung bertahap:

  • 1999: 23,43%
  • 2008: 15,42%
  • 2014: 11,25%

Era ini ditandai oleh:

  • program BLT,
  • perluasan akses pendidikan,
  • infrastruktur dasar mulai meningkat,
  • pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%.

3. 2019–2020: Pandemi COVID-19 Memukul Balik

  • 2019: 9,22%
  • 2020: 9,78%

Kenaikan tampak kecil, tapi tiap 0,1% = ratusan ribu kepala keluarga terdampak.

4. 2024–2025: Tren Turun Lagi

Angka kemiskinan kembali menuju tren terendah:

  • 2024: 8,57%
  • 2025: 8,47%

Tetapi di balik persentase kecil itu, masih ada hampir 24 juta penduduk rentan.


Apa Pelajaran Penting dari Tren 1996–2025?

A. Kemiskinan Indonesia Sangat Sensitif terhadap Krisis

Begitu ada guncangan ekonomi, kelompok miskin dan rentan langsung terpukul. Perlindungan sosial belum cukup kuat menopang mereka.

B. Tidak Ada Kebijakan Tunggal yang Bisa Menghapus Kemiskinan

Penurunan 24% → 8% terjadi karena orkestrasi:

  • pertumbuhan ekonomi,
  • jaring pengaman sosial,
  • pendidikan,
  • infrastruktur,
  • diversifikasi pasar kerja.

Butuh waktu puluhan tahun dan upaya simultan.

C. Tantangan Terberat Ada di Penghapusan Kemiskinan Ekstrem

Setelah angka kemiskinan turun drastis, sisa kelompok yang berada di dasar piramida lebih sulit disentuh:

  • tinggal di daerah terpencil,
  • minim akses transportasi,
  • bekerja di sektor super-informal,
  • berhadapan dengan kendala budaya dan geografis.

Strategi Akselerasi: Jalan Keluar dari Status Negeri Kaya yang Masih Hidup dalam Kemiskinan

Kalau Indonesia ingin menurunkan tingkat kemiskinan ke <5% dalam 5–8 tahun, beberapa langkah berikut wajib dilakukan.

1. Perluasan Jaminan Sosial Berbasis Data Akurat

Problem klasik:

  • banyak orang miskin tidak tercatat (exclusion error),
  • banyak masyarakat mampu justru menerima bantuan (inclusion error).

Solusi:

  • integrasi big data lintas kementerian,
  • pembaruan data desa berbasis by-name by-address,
  • pemanfaatan AI untuk mendeteksi perubahan kondisi ekonomi keluarga secara real-time.

2. Bangun Pusat Produksi Lokal Berbasis SDA

Indonesia punya banyak bahan baku, tapi nilai tambah lari ke luar negeri.
Solusi:

  • pabrik mini berbasis desa,
  • koperasi modern,
  • hilirisasi UMKM,
  • e-commerce berbasis komunitas lokal.

Model ini menciptakan efek ganda: lapangan kerja + nilai tambah di desa.

3. Reformasi Pasar Kerja dan Pelatihan Ulang Besar-Besaran

Sektor informal menyerap 55–60% tenaga kerja Indonesia.

Yang dibutuhkan:

  • pelatihan berbasis kebutuhan industri riil,
  • sertifikasi cepat & murah,
  • skema magang + penyaluran pekerjaan berbasis kemitraan industri.

4. Perbaikan Infrastruktur Dasar di Wilayah Termiskin

Infrastruktur bukan hanya jalan tol. Yang paling berdampak bagi kemiskinan:

  • air bersih,
  • sanitasi,
  • listrik stabil,
  • konektivitas internet,
  • jalan desa yang layak.

Wilayah 3T tidak miskin karena malas, tapi karena terisolasi.

5. Stabilitas Harga Pangan

Harga pangan adalah penentu utama kemiskinan.

Solusi:

  • gudang pangan berbasis desa,
  • sistem logistik dingin,
  • digitalisasi rantai pasok,
  • koperasi pangan modern.

Penutup: Menuju Indonesia yang Tak Lagi Menjadi Negeri Kaya yang Hidup dalam Kemiskinan

Indonesia punya modal besar: sumber daya alam melimpah, bonus demografi, dan ekonomi digital yang berkembang pesat. Grafik tren kemiskinan 1996–2025 membuktikan bahwa bangsa ini tangguh dan mampu bangkit dari berbagai krisis.

Namun untuk benar-benar keluar dari status negeri kaya yang masih hidup dalam kemiskinan, Indonesia butuh langkah lebih berani, lebih inklusif, dan lebih terstruktur.

Kuncinya bukan hanya pertumbuhan ekonomi—melainkan transformasi sosial-ekonomi yang memastikan setiap warga, dari kota sampai pelosok desa, bisa merasakan manfaat kekayaan negeri ini.

Dengan kebijakan yang tepat, data yang akurat, pengelolaan sumber daya yang adil, dan keberpihakan pada kelompok rentan, Indonesia bisa bertransisi dari “kaya tapi miskin” menjadi “kaya dan sejahtera”.

Penulis: Suci Nurdani
Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam As-Sunnah Deli Serdang Sumatera Utara

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.