Mengapa Remaja Rentan Terpengaruh Konten Kekerasan? Analisis Psikologis Tragedi SMAN 72

Mengapa Remaja Rentan Terpengaruh Konten Kekerasan? Analisis Psikologis Tragedi SMAN 72

Remaja saat ini menghadapi tantangan digital yang belum pernah dialami generasi sebelumnya: kemudahan akses konten kekerasan melalui media sosial, video game, dan platform streaming. Paparan berulang terhadap kekerasan bisa memicu perubahan psikologis serius, seperti desensitisasi emosional, pengurangan empati, dan kecenderungan agresif. Dalam konstelasi ini, tragedi SMAN 72 menjadi peringatan nyata: ketika remaja meniru konten kekerasan, dampaknya bisa sangat fatal. Artikel ini membahas mengapa remaja rentan terpengaruh konten kekerasan, melihatnya dari sudut perkembangan otak, mekanisme psikologis, dan solusi praktis untuk orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan.


Apa yang Membuat Remaja Sangat Rentan?

Perkembangan Otak Remaja

  • Otak remaja belum sepenuhnya matang. Struktur seperti prefrontal cortex — yang mengontrol impuls, pengambilan keputusan, dan regulasi emosi — masih dalam proses pembentukan.
  • Karena itu, remaja lebih rentan terhadap rangsangan emosional dan visual yang intens, termasuk adegan kekerasan. Kombinasi ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh konten yang agresif.

Sensitivitas Emosional dan Identitas

  • Masa remaja adalah fase eksplorasi identitas. Remaja mencari jati diri, meniru figur dan narasi, sosial media dan konten video menjadi “guru tidak resmi”.
  • Ketika konten kekerasan disajikan sebagai cara “mengatasi konflik” atau “tertarik secara dramatis”, ada risiko mereka menormalisasi perilaku agresif.

Bagaimana Konten Kekerasan Memengaruhi Remaja: Mekanisme Psikologis

Desensitisasi: Menjadi “Biasa” dengan Kekerasan

Desensitisasi adalah proses psikologis di mana reaksi emosional terhadap kekerasan menurun seiring paparan berulang. Ada dua komponen utama:

  1. Desensitisasi emosional
    • Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang sering terpapar kekerasan bisa mengalami penurunan empati dan respons emosional terhadap penderitaan orang lain.
    • Studi neurofisiologis juga menunjukkan bahwa setelah menonton adegan kekerasan, aktivitas otak bagian face-processing dan kontrol inhibisi bisa menurun.
  2. Desensitisasi fisiologis
    • Paparan berulang terhadap kekerasan bisa mengubah respons fisik tubuh. Pada remaja yang sudah sering menonton konten kekerasan, reaksi tekanan darah atau denyut jantung saat melihat adegan kekerasan bisa lebih rendah dibanding mereka yang jarang menonton.
    • Penelitian lama menunjukkan bahwa paparan kekerasan di masyarakat nyata maupun media dapat menurunkan respons stres hormonal, seperti kadar kortisol, yang menandakan desensitisasi fisiologis.

Imitasi dan Normalisasi Kekerasan

  • Remaja bisa meniru perilaku agresif yang mereka lihat dalam konten media. Mekanisme imitasi (mimesis) bukan hal baru dalam psikologi sosial.
  • Jika kekerasan digambarkan sebagai metode yang “efektif” untuk menyelesaikan konflik atau mendapatkan sesuatu, pemirsa remaja bisa menginternalisasi narasi tersebut sebagai gaya hidup atau strategi.

Dampak Regulasi Emosi dan Kecemasan

  • Paparan konten kekerasan tidak hanya menurunkan empati, tetapi juga bisa mengganggu regulasi emosi remaja. Menurut American Academy of Pediatrics, desensitisasi tidak muncul seketika, melainkan berkembang secara perlahan dan tanpa disadari.
  • Di sisi lain, studi eksperimental menunjukkan bahwa menonton klip kekerasan bisa meningkatkan kecemasan pada remaja, terutama jika mereka sebelumnya jarang terpapar kekerasan.

Bukti Akademis & Kasus Tragedi SMAN 72

Penelitian Empiris

  • Sebuah penelitian longitudinal menemukan bahwa remaja yang mengalami desensitisasi emosional terhadap kekerasan memiliki risiko lebih tinggi melakukan perilaku kekerasan di masa remaja akhir.
  • Penelitian lain menyoroti bahwa faktor risiko seperti konflik dalam keluarga atau impulsivitas dapat memperkuat hubungan antara paparan kekerasan media dan perilaku agresif.
  • Studi di lingkungan remaja Karachi menemukan korelasi positif kuat antara paparan konten kekerasan di media elektronik/social dan level agresi yang diukur dengan kuesioner agresi.
  • Penelitian neurosains juga menunjukkan bahwa paparan media kekerasan dapat mengubah cara otak memproses ekspresi wajah emosional dan melemahkan kontrol perilaku.

Konteks Tragedi SMAN 72

  • Dalam beberapa laporan tragedi SMAN 72, disebut bahwa pelaku kerap mengonsumsi konten kekerasan sebelum menjalankan aksinya.
  • Meski faktor psikologis setiap individu berbeda, pola paparan konten kekerasan yang intens bisa memperkuat fantasi agresif dan menurunkan kapasitas pengendalian emosional.
  • Kasus ini menyiratkan bahwa konsumsi konten kekerasan tidak bisa dipandang remeh — terutama ketika remaja tidak punya ruang aman untuk berdialog dan tidak didampingi secara emosional.

Dampak Negatif yang Lebih Luas

Penurunan Empati dan Keterhubungan Sosial

  • Ketika empati berkurang, remaja mungkin merasa terputus dari penderitaan orang lain. Ini bisa mengarah pada perilaku impulsif dan agresif tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial atau moral.
  • Keterhubungan sosial yang sehat tergantung pada kepekaan emosional, dan desensitisasi bisa melemahkan pondasi tersebut.

Gangguan Regulasi Emosi & Kesehatan Mental

  • Remaja yang terpapar kekerasan media secara terus-menerus mungkin mengalami kesulitan mengelola emosi, terutama dalam situasi stres atau konflik nyata.
  • Mereka juga berisiko mengalami kecemasan lebih tinggi. Sebuah studi menunjukkan bahwa paparan kekerasan dalam media berkorelasi dengan peningkatan kecemasan, tapi respons fisiologis terhadap kecemasan bisa melemah karena desensitisasi.
  • Akhirnya, individu yang kehilangan reaktivitas emosional bisa memasuki pola pikir agresif sebagai solusi masalah—karena empati dan rem emosional melemah.

Risiko Perilaku Agresif Jangka Panjang

  • Desensitisasi emosional dapat menjadi mediator antara paparan kekerasan awal (di masa kecil atau remaja) dengan perilaku kekerasan di kemudian hari.
  • Paparan kekerasan media tidak berdiri sendiri — dalam penelitian, faktor risiko lain seperti konflik keluarga atau impulsivitas memperkuat kecenderungan agresif.
  • Dengan kata lain, konten kekerasan di media bisa menjadi salah satu pendorong perilaku kekerasan riil jika tidak diimbangi dengan faktor protektif.

Mengapa Kasus SMAN 72 Menjadi Wake-Up Call

  1. Konsumsi media sebagai trigger
    Tragedi di SMAN 72 menunjukkan bahwa konsumsi konten kekerasan bisa menjadi bagian dari latar belakang psikologis yang memperkuat dorongan agresif.
  2. Kurangnya pendampingan dan dialog
    Bila remaja tak punya ruang aman untuk menceritakan perasaan, mimpi, atau fantasi, kecenderungan agresif bisa tertanam dan berkembang tak terkendali.
  3. Tanda lemahnya literasi digital
    Kasus ini menyoroti bahwa pemahaman remaja tentang dampak psikologis dari konsumsi konten kekerasan mungkin minim, dan kontrol dari orang tua atau pendidik belum optimal.

Solusi: Membangun Benteng Proteksi Psikologis

Literasi Digital Sejak Dini

  • Ajarkan remaja cara menilai dan memilah konten media: mana konten hiburan, mana konten berisiko.
  • Diskusi terbuka tentang dampak psikologis konten kekerasan sangat penting. Gunakan pendekatan dialog, bukan sekadar aturan “larangan”.
  • Libatkan sekolah dalam program literasi media untuk mengedukasi siswa, guru, dan orang tua.

Pendampingan Emosional

  • Buat ruang aman di mana remaja merasa bebas bercerita tanpa dinilai. Bisa melalui konseling sekolah, grup dukungan teman sebaya, atau sesi rutin dengan orang tua.
  • Latih keterampilan regulasi emosi: misalnya, melalui mindfulness, journaling, atau pelatihan pengendalian impuls.
  • Kenali tanda-tanda desensitisasi: seperti penurunan empati, komentar agresif “seperti biasa”, atau pembenaran kekerasan.

Peran Orang Tua & Sekolah

  • Orang tua harus aktif, bukan hanya sebagai pengawas tetapi sebagai pendengar. Jangan takut membahas konten sulit bersama anak.
  • Sekolah bisa menyelenggarakan workshop literasi media dan pelatihan kesehatan mental, bekerja sama dengan psikolog dan konselor.
  • Kebijakan sekolah penting: pastikan ada prosedur intervensi cepat jika ada indikasi perilaku agresif yang berakar dari konsumsi media.

Intervensi Kebijakan Publik

  • Pemerintah dan lembaga regulasi bisa mendorong platform digital untuk menyediakan fitur pengendalian konten untuk remaja (misalnya filter konten kekerasan).
  • Kampanye kesadaran nasional tentang bahaya paparan kekerasan media dan pentingnya pendampingan remaja.
  • Dukungan untuk penelitian lanjutan agar kebijakan berbasis bukti bisa dirancang dan diimplementasikan.

Penutup

Mengapa remaja rentan terpengaruh konten kekerasan? Karena otak mereka masih berkembang, mereka mencari identitas, dan emosi mereka lebih labil. Dalam kasus seperti tragedi SMAN 72, paparan media kekerasan dapat menjadi pemicu nyata dan berbahaya jika tak terkelola.

Solusinya bukan sekadar larangan atau sensor, melainkan pendidikan literasi digital, ruang dialog emosional, dan dukungan sistemik dari orang tua, sekolah, dan kebijakan publik. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa membangun benteng proteksi agar konten kekerasan tidak berubah menjadi tindakan nyata.

Penulis: Kayla Huwaida Indradi, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.