Fenomena Bullying di Kalangan Remaja di Media Sosial: Tantangan Moral Generasi Digital

FOKUS SUARA PEMBACA - Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan mengekspresikan diri. Dunia digital menawarkan ruang tanpa batas di mana setiap orang dapat menyampaikan pendapat, memberikan komentar, bahkan menilai orang lain secara terbuka. Namun, di balik kebebasan tersebut muncul fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu dekadensi moral—penurunan nilai etika dan kemanusiaan dalam ruang digital.
Salah satu bentuk paling nyata dari dekadensi moral di era digital adalah cyberbullying, yakni tindakan menyakiti, merendahkan, atau menyerang orang lain melalui media sosial dan platform daring. Di Indonesia, fenomena ini meningkat signifikan dan banyak memakan korban, terutama di kalangan remaja. Berdasarkan laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO, 2024), terdapat lebih dari 15.000 laporan kekerasan digital dalam dua tahun terakhir, sebagian besar dilakukan oleh pelajar, mahasiswa, dan pengguna media sosial berusia di bawah 25 tahun.
Banyak korban cyberbullying mengalami tekanan psikologis berat, bahkan beberapa kasus berujung pada tindakan bunuh diri. Fenomena ini menunjukkan bahwa moralitas bangsa sedang menghadapi tantangan serius di tengah derasnya arus digital. Padahal, Indonesia memiliki dasar moral yang kuat melalui Pancasila, yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan yang seharusnya menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan, termasuk aktivitas di dunia maya.
Pertanyaan pentingnya adalah:
Mengapa dekadensi moral ini dapat terjadi di negara yang berlandaskan Pancasila?
Bagaimana pendidikan serta reaktualisasi nilai Pancasila dapat menjadi solusi dalam mengatasi krisis moral tersebut?
Analisis Masalah: Akar Dekadensi Moral di Era Digital
Fenomena cyberbullying mencerminkan menurunnya kualitas moral generasi digital. Banyak anak muda lebih mengejar sensasi, pengakuan sosial, dan ketenaran di media sosial tanpa mempertimbangkan nilai empati maupun martabat orang lain. Krisis moral ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
1. Kurangnya literasi moral dan etika digital
Pendidikan karakter belum sepenuhnya terintegrasi dengan literasi digital. Dunia pendidikan masih lebih menekankan aspek akademik daripada pembentukan moral, empati, serta norma etis dalam berinteraksi di ruang daring. Akibatnya, generasi muda mahir menggunakan teknologi, tetapi tidak memahami bagaimana menggunakannya secara bertanggung jawab.
Media sosial sering dianggap sebagai ruang bebas tanpa aturan. Komentar kasar, hinaan, dan fitnah dinormalisasi, bahkan dianggap “menarik.” Hal ini membentuk budaya baru: semakin pedas komentar seseorang, semakin ia mendapat perhatian.
2. Budaya media sosial yang permisif
Media sosial serba cepat, instan, dan mudah memviralkan sesuatu. Perilaku negatif justru sering mendapatkan sorotan dan dukungan. Banyak pengguna menonton, menyukai, atau membagikan konten yang merendahkan orang lain. Fenomena ini melahirkan mentalitas “viral lebih penting daripada moral.”
Dalam kondisi ini, perilaku tidak beretika justru mendapatkan validasi sosial, memperparah dekadensi moral generasi muda.
3. Melemahnya internalisasi nilai Pancasila
Pancasila sebagai dasar moral bangsa mulai kehilangan tempatnya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai fundamental seperti kemanusiaan, solidaritas, dan keadilan sosial sering diabaikan, terutama di media sosial. Cyberbullying bertentangan langsung dengan nilai-nilai berikut:
- Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Menuntut penghormatan terhadap martabat dan empati. Cyberbullying jelas melanggar prinsip ini. - Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Menekankan solidaritas, sedangkan cyberbullying memecah belah dan menimbulkan kebencian. - Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Menuntut perlakuan adil bagi semua, termasuk di ruang digital.
Dekadensi moral menunjukkan lemahnya penanaman nilai kebangsaan dalam diri generasi muda.
Urgensi Reaktualisasi Nilai Pancasila
Pendekatan hukum terhadap cyberbullying memang penting, tetapi tidak cukup mengatasi akar persoalan. Hukum mengatur perilaku dari luar, sementara moral terbentuk dari dalam diri. Karena itu, solusi mendasar adalah reaktualisasi Pendidikan Pancasila agar nilai-nilainya kembali relevan dalam kehidupan modern.
1. Pancasila sebagai pedoman moral digital
Nilai Pancasila tidak boleh berhenti pada teori atau hafalan. Nilai ini harus diterapkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk di media sosial.
- Sila Kedua dapat diterjemahkan menjadi menjaga privasi orang lain, menahan diri dari ujaran kebencian, dan membangun empati.
- Sila Ketiga mendorong ruang digital sebagai tempat memperkuat solidaritas.
- Sila Kelima mengingatkan pentingnya perlakuan yang adil dan setara terhadap semua pengguna media sosial.
Jika nilai-nilai ini diterapkan, cyberbullying, doxing, fitnah, dan kekerasan verbal dapat dicegah.
2. Pendidikan Pancasila berbasis praktik, bukan hafalan
Selama ini, pendidikan Pancasila sering hanya menekankan hafalan sila-sila. Padahal generasi muda membutuhkan pendekatan aplikatif. Sekolah dan kampus perlu menerapkan metode pembelajaran yang lebih kontekstual, misalnya:
- Simulasi debat etika digital.
- Proyek pembuatan konten positif.
- Analisis studi kasus cyberbullying dan hubungannya dengan nilai Pancasila.
Melalui pembelajaran berbasis praktik, Pancasila dapat dihayati dan diamalkan secara nyata.
3. Keteladanan dan lingkungan sosial
Penanaman nilai Pancasila tidak hanya tugas lembaga pendidikan. Keluarga, masyarakat, influencer, dan lingkungan digital harus memberikan teladan positif. Generasi muda lebih mudah meniru perilaku nyata daripada teori.
Rekomendasi Solusi Konkret
Untuk menghadapi dekadensi moral dan cyberbullying, diperlukan langkah-langkah strategis dan berkelanjutan:
- Integrasi literasi digital dan pendidikan karakter
Sekolah dan kampus harus memasukkan nilai Pancasila dalam program literasi digital, termasuk etika bermedia sosial dan tanggung jawab digital. - Kampanye digital berbasis nilai Pancasila
Pemerintah, influencer, dan komunitas kreatif dapat mengadakan kampanye seperti “Netizen Pancasila” yang mendorong empati dan etika digital. - Gerakan komunikasi anti-cyberbullying
Sekolah dan kampus dapat membentuk forum pendampingan korban serta komunitas anti-kekerasan digital berbasis semangat gotong royong. - Reformasi kurikulum pendidikan karakter
Pendidikan karakter berbasis Pancasila harus diperkuat sejak dini. Guru berperan sebagai fasilitator yang menanamkan empati, tanggung jawab, dan sopan santun digital.
Kesimpulan
Dekadensi moral di era digital, khususnya melalui fenomena cyberbullying, bukan hanya persoalan perilaku individu di ruang maya, tetapi cerminan dari krisis nilai yang lebih dalam. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang kreativitas berubah menjadi arena kekerasan psikologis yang merusak martabat manusia.
Pancasila harus kembali menjadi kompas moral bangsa, bukan sekadar teks hafalan. Nilai-nilainya perlu diterjemahkan dalam praktik nyata: menghormati sesama, menyebarkan konten positif, menjaga etika komunikasi, serta menciptakan lingkungan digital yang aman dan beradab.
Melalui reaktualisasi nilai Pancasila, pendidikan karakter yang berkelanjutan, serta peran aktif keluarga dan masyarakat, Indonesia dapat membentuk generasi digital yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga kuat dalam nilai kemanusiaan.
Baca juga: Bullying Tidak Lagi Sekadar Guyonan: Kasus Timothy dan Luka Sosial di Dunia Kampus
Ditulis oleh : Shabrina Syifaur Rahmah
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini tentang komunikasi, media digital, dan isu sosial remaja.