Korupsi: Ideologi yang Gagal Diamalkan

Oleh: Hermione Jessica Syahla
(Artikel opini ini merupakan kiriman pembaca dan tidak mencerminkan pandangan redaksi FOKUS.CO.ID)

Korupsi: Ideologi yang Gagal Diamalkan
Gambar Kampanye Anti Korupsi: Habis Gelap Tak Kunjung Terang, Stop Korupsi

Ironi Moral di Negeri Berideologi Pancasila

Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar pelanggaran hukum, melainkan gejala ideologis dan moral yang kronis. Negara yang berdiri di atas dasar Pancasila—sebuah ideologi yang menegaskan kejujuran, keadilan, dan kemanusiaan—justru menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi tinggi di kawasan Asia Tenggara.

Menurut laporan Transparency International tahun 2024, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara. Skor ini menunjukkan bahwa korupsi di negeri ini tidak hanya bertahan, tetapi telah berakar dalam sistem sosial, politik, dan birokrasi.

Ironinya, hampir setiap upacara kenegaraan selalu diwarnai dengan seruan moral, tetapi di balik podium yang penuh slogan antikorupsi, praktik penyalahgunaan kekuasaan terus mengakar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar:
Apakah Pancasila masih menjadi pedoman moral bangsa, ataukah telah berubah menjadi sekadar retorika seremonial tanpa makna praksis?


Korupsi dan Pengkhianatan terhadap Lima Sila

Korupsi bukan hanya soal uang atau kekuasaan; ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, yang seharusnya menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Setiap sila mengandung dimensi moral yang, ketika diabaikan, melahirkan ruang bagi praktik curang dan ketidakadilan.

Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa – Iman yang Tak Terwujud dalam Integritas

Sila pertama menuntut kejujuran, rasa takut kepada Tuhan, dan integritas moral. Namun, banyak pelaku korupsi yang justru tampil religius di ruang publik. Mereka rajin beribadah, pandai beretorika moral, tetapi mengkhianati nilai iman dalam tindakan sosial dan jabatan publik.

Dalam konteks ini, korupsi menjadi bentuk kemunafikan spiritual: mengaku takut Tuhan, tapi mengabaikan amanah yang melekat pada jabatan. Sebagaimana pernah dikatakan Bung Hatta, “Korupsi merusak sendi kepercayaan dan kesetiaan bangsa.” Artinya, pelaku korupsi bukan sekadar melanggar hukum, tapi menghancurkan moralitas ketuhanan yang seharusnya menjadi fondasi etika publik.

Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – Saat Keadilan Terkubur oleh Keserakahan

Korupsi adalah wujud paling nyata dari ketidakadilan sosial. Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan justru mengalir ke rekening pribadi segelintir elite.

KPK mencatat, sepanjang tahun 2023, lebih dari 1.000 kasus korupsi ditangani dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Dampak langsungnya dirasakan oleh rakyat kecil—mereka yang kehilangan akses terhadap pelayanan dasar karena keadilan sosial dijadikan komoditas kekuasaan.

Korupsi dalam konteks ini bukan hanya kejahatan finansial, melainkan kejahatan kemanusiaan yang menyingkirkan nilai kemanusiaan adil dan beradab.

Sila Ketiga dan Keempat: Persatuan Indonesia & Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan

Korupsi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Saat rakyat melihat pejabat yang seharusnya menjadi panutan justru memperkaya diri, rasa percaya berubah menjadi sinisme dan apatisme.

Demokrasi kehilangan maknanya ketika suara rakyat ditukar dengan uang dan jabatan. Politik menjadi ruang transaksi, bukan lagi ruang deliberasi moral. Maka, korupsi tidak hanya menghancurkan birokrasi, tetapi juga memecah persatuan nasional, karena rakyat kehilangan rasa memiliki terhadap negara.

Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – Ketika Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Sila terakhir menjadi cermin paling suram dalam praktik penegakan hukum. Fenomena “tajam ke bawah, tumpul ke atas” bukan sekadar ungkapan populer, tetapi kenyataan pahit.

Banyak kasus korupsi besar yang berhenti di meja peradilan tanpa kejelasan, sementara pelanggaran kecil rakyat miskin dihukum tanpa ampun. Ketimpangan hukum ini menunjukkan bahwa keadilan sosial belum menjadi kenyataan, melainkan janji yang terus tertunda.

Baca juga: Udang di Balik Abolisi Tom Lembong: Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?


Kegagalan Keteladanan dan Budaya Permisif

Korupsi di Indonesia telah menembus batas moral, bukan hanya karena lemahnya sistem hukum, tetapi juga karena budaya permisif yang membiarkan pelanggaran kecil tumbuh menjadi kejahatan besar.

1. Pancasila Direduksi Menjadi Hafalan

Pendidikan Pancasila di sekolah lebih menekankan teori normatif ketimbang pembentukan karakter. Anak-anak diajari menghafal lima sila, tetapi tidak diajari bagaimana menghidupkannya dalam tindakan nyata. Akibatnya, nilai Pancasila berhenti di ruang kelas, tidak pernah turun ke ruang publik.

2. Minimnya Keteladanan Pemimpin

Rakyat kehilangan panutan ketika pejabat publik justru menjadi pelaku korupsi. Ketika teladan moral tak hadir dari atas, kejujuran di bawah pun kehilangan makna.

3. Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten

Hukum yang “tajam ke bawah” memunculkan persepsi ketidakadilan struktural. Rakyat kecil takut, pejabat besar kebal. Dalam kondisi seperti ini, moral publik lumpuh, karena keadilan dianggap barang mewah yang bisa dinegosiasikan.

4. Budaya “Asal Tidak Ketahuan”

Korupsi dianggap lumrah selama tidak terbongkar. Dari praktik pungli kecil hingga gratifikasi miliaran, masyarakat sering kali menutup mata karena budaya kompromi telah menjadi kebiasaan sosial.


Korupsi sebagai Krisis Ideologi dan Etika Publik

Lebih jauh, korupsi harus dipahami bukan sekadar kejahatan administratif, tetapi sebagai indikasi kegagalan ideologi. Pancasila gagal diamalkan bukan karena konsepnya lemah, melainkan karena kesadaran moral bangsa tumpul oleh pragmatisme kekuasaan.

Para pendiri bangsa menempatkan Pancasila sebagai philosophische grondslag—dasar moral bagi pembangunan manusia seutuhnya. Namun kini, nilai-nilainya direduksi menjadi jargon politik. Akibatnya, Pancasila kehilangan daya hidup di ranah praksis.

Ketika ideologi tidak lagi menjiwai tindakan, maka korupsi menjadi logis. Negara kehilangan arah moral, dan hukum kehilangan kekuatan etis. Inilah yang dimaksud oleh Franz Magnis-Suseno ketika menulis bahwa “Korupsi bukan hanya kejahatan hukum, melainkan pemberontakan terhadap tatanan moral bangsa.

Baca juga: Prabowo Tegaskan Empat Fokus Politik Lima Tahun Ke Depan, Oleh Nova Keiysa Mutia


Menghidupkan Kembali Pancasila sebagai Etika Publik

Harapan belum hilang. Pancasila masih memiliki daya untuk menjadi kompas moral bangsa—asal dihidupkan kembali dalam tindakan nyata, bukan hanya ucapan seremonial.

1. Pemimpin sebagai Teladan Moral

Pemimpin publik harus menjadi refleksi hidup dari nilai Pancasila. Integritas, kesederhanaan, dan tanggung jawab tidak bisa digantikan oleh pencitraan atau pidato. Keteladanan adalah strategi antikorupsi paling efektif.

2. Reformasi Pendidikan Karakter

Pendidikan antikorupsi harus menekankan penginternalisasian nilai, bukan sekadar penghafalan norma. Generasi muda perlu memahami bahwa kejujuran bukan pilihan moral, tapi kebutuhan sosial.

3. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu

Korupsi harus dihukum secara adil tanpa diskriminasi status. Transparansi proses hukum menjadi syarat utama mengembalikan kepercayaan publik.

4. Partisipasi Masyarakat

Rakyat tidak boleh hanya menjadi penonton. Gerakan antikorupsi harus tumbuh dari bawah: dari keluarga, komunitas, hingga birokrasi. Pengawasan publik menjadi pilar etika demokrasi.


Harapan: Pancasila yang Dihidupkan, Bukan Diucapkan

Korupsi memang telah menorehkan luka panjang bagi bangsa ini. Namun, Pancasila tidak gagal sebagai ideologi. Yang gagal adalah manusia yang enggan mengamalkannya.

Selama kejujuran dan keadilan dijadikan jalan hidup, bukan sekadar kata-kata, Indonesia masih memiliki harapan. Korupsi bukanlah takdir bangsa, melainkan penyakit sosial yang bisa disembuhkan—asal nilai-nilai luhur Pancasila kembali dihidupkan dalam tindakan, bukan hanya dihafalkan dalam upacara.

FAQ Korupsi & Nilai Pancasila

1. Apa itu korupsi dan bagaimana hubungannya dengan ideologi Pancasila?

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi, yang bisa berupa uang, pengaruh, atau fasilitas.
Dalam konteks Pancasila, korupsi menjadi masalah ideologis karena nilai-nilai Pancasila (misalnya kejujuran, keadilan, kemanusiaan) dilanggar secara sistemik oleh para pejabat. Artikel ini menyebutkan korupsi sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila.


2. Mengapa korupsi dianggap sebagai kegagalan mengamalkan Pancasila?

Korupsi mencerminkan ketidaksesuaian antara nilai moral Pancasila dan praktik pemerintahan. Sila-sila Pancasila mengajarkan integritas, keadilan sosial, dan pelayanan publik. Namun, ketika pejabat melakukan korupsi, mereka secara langsung mengingkari nilai-nilai tersebut dan mengubah Pancasila menjadi retorika kosong.


3. Apa saja jenis-jenis korupsi yang umum terjadi di Indonesia?

Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat berbagai jenis korupsi, antara lain: gratifikasi, suap, penggelapan jabatan, pemerasan, dan benturan kepentingan.
Jenis-jenis ini memperlihatkan bahwa korupsi tidak hanya soal uang, tetapi juga soal integritas jabatan dan pengaruh kekuasaan.


4. Apa dampak korupsi terhadap keadilan sosial dan kemanusiaan?

Korupsi merampas sumber daya publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan sosial. Praktik ini memperparah ketimpangan ekonomi dan mengikis nilai keadilan sosial, yang merupakan salah satu sila utama Pancasila.
Korupsi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara, merusak rasa kemanusiaan dan persatuan nasional.


5. Mengapa penegakan hukum terhadap korupsi sering dianggap tidak konsisten?

Penegakan hukum korupsi di Indonesia sering dikritik karena ketimpangan hukuman: hukum dianggap “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
Beberapa faktor penyebabnya meliputi:

  • Lemahnya sistem pengawasan dan keterbatasan transparansi.
  • Budaya elit yang protektif terhadap koruptor besar.
  • Kurangnya keteladanan moral dari pemimpin publik.

Hal ini membuat banyak kasus korupsi besar sulit dihukum setimpal, meskipun korupsi merusak keadilan sosial dan etika publik.


6. Apa peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi?

KPK adalah lembaga negara yang didirikan khusus untuk mencegah dan menindak tindak pidana korupsi di Indonesia.
KPK menangani berbagai jenis kasus korupsi besar dan juga mengawasi laporan gratifikasi melalui mekanisme LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).
Namun, tantangannya tetap besar karena budaya korupsi yang permisif dan sistem hukum yang kompleks.


7. Bagaimana nilai Pancasila dapat dihidupkan kembali sebagai etika publik untuk menekan korupsi?

Beberapa strategi untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan publik dan menekan korupsi meliputi:

  • Pendidikan karakter yang menekankan internalisasi nilai moral, bukan hanya hafalan sila.
  • Teladan pemimpin yang berintegritas dan sederhana.
  • Penegakan hukum yang adil dan transparan, tanpa pandang bulu.
  • Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan anti-korupsi, dari keluarga hingga komunitas dan sektor publik.

Dengan strategi ini, Pancasila bisa menjadi kompas moral nyata, bukan sekadar slogan politis.


8. Apakah Pancasila sebagai ideologi sudah gagal sepenuhnya jika korupsi masih marak?

Tidak. Pancasila sendiri tidak gagal, melainkan manusia yang gagal mengamalkannya.
Nilai-nilai Pancasila — seperti kejujuran, keadilan sosial, kemanusiaan — masih sangat relevan sebagai landasan moral bangsa. Kegagalan terletak pada praktik pengamalan dalam sistem politik, budaya pemerintahan, dan etika publik. Jika nilai-nilai ini dihidupkan kembali, korupsi bisa dikurangi secara sistemik.


9. Apa peran masyarakat dalam mencegah dan melawan korupsi di Indonesia?

Masyarakat memiliki peran krusial dalam memberantas korupsi dengan cara:

  • Melaporkan tindakan korupsi melalui saluran resmi seperti KPK atau lembaga pengawas lokal.
  • Mengedukasi diri dan komunitas tentang nilai-nilai antikorupsi dan etika publik.
  • Menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pejabat publik.
  • Menerapkan nilai kejujuran dan integritas dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bagian dari budaya antikorupsi.

Partisipasi aktif masyarakat adalah fondasi untuk membangun tata pemerintahan yang bersih dan berkeadilan sosial.

Penutup

Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum; ia adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman moral bangsa. Namun, kegagalan ini bukan karena ideologi yang lemah, melainkan karena manusia yang enggan mengamalkannya.

Dengan penegakan hukum yang adil, keteladanan pemimpin yang berintegritas, pendidikan karakter yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat, nilai-nilai Pancasila bisa kembali hidup. Saat kejujuran dan keadilan dijadikan jalan hidup, bukan sekadar kata-kata, Indonesia masih memiliki harapan. Korupsi bukan takdir bangsa, melainkan penyakit sosial yang bisa disembuhkan.


Hermione Jessica Syahla
(Penulis adalah pemerhati isu etika publik dan moral kebangsaan. Artikel ini dikirim melalui email ke redaksi FOKUS.CO.ID untuk rubrik Opini/Kolom.)

Baca juga: