Udang di Balik Abolisi Tom Lembong: Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?
Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong. Apakah ini langkah rekonsiliasi politik atau menandai krisis supremasi hukum di Indonesia?
![]() |
Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto |
FOKUS POLITIK - Kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepadanya pada 31 Juli 2025. Keputusan ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan memunculkan perdebatan sengit di berbagai kalangan, dari politikus, akademisi, hingga masyarakat sipil.
Abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong bukan sekadar tindakan hukum. Di mata publik, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini langkah untuk rekonsiliasi politik, meredakan gesekan antar-kubu, atau justru menandakan krisis supremasi hukum di Indonesia?
Kasus ini memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar penyelesaian perkara hukum individu. Ia menyentuh asas penting dalam demokrasi Indonesia, yakni keseimbangan antara:
- Stabilitas politik, terutama pasca-pemilu, agar pemerintahan berjalan lancar tanpa konflik berkepanjangan.
- Supremasi hukum, di mana setiap warga negara, tak terkecuali elite politik, harus tunduk pada hukum tanpa perlakuan istimewa.
Dengan konteks ini, publik semakin kritis dalam menilai keputusan abolisi. Bagaimana sebuah keputusan hukum bisa menjadi instrumen politik? Dan sejauh mana keputusan ini berdampak terhadap kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pintu masuk untuk memahami fenomena “Udang di balik abolisi Tom Lembong”, yang akan kita ulas lebih mendalam dalam artikel ini.
Hukum yang Sah, Politik yang Menang
Dalam sistem hukum Indonesia, abolisi merupakan salah satu hak prerogatif Presiden yang diatur secara konstitusional. Secara sederhana, abolisi adalah penghapusan sanksi pidana atau perbuatan yang telah dijatuhi pengadilan. Berbeda dengan amnesti yang hanya memaafkan pelaku, abolisi menghapuskan perbuatan itu sendiri, sehingga kasus hukum terkait dianggap selesai secara resmi.
Mekanisme Abolisi di Indonesia
Pemberian abolisi tidak bisa dilakukan sepihak oleh Presiden. Ada mekanisme formal yang harus dipenuhi:
- Presiden mengajukan abolisi terhadap individu atau kasus tertentu.
- Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diperlukan agar abolisi sah secara hukum.
- Setelah disetujui DPR, keputusan abolisi diundangkan dan berlaku efektif.
Dalam kasus Tom Lembong, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi yang kemudian disetujui DPR pada 31 Juli 2025. Secara hukum, langkah ini sah dan sesuai prosedur konstitusional, meskipun menimbulkan perdebatan publik.
Perspektif Ahli Hukum
Menurut Erdianto Effendi, ahli hukum pidana dari Universitas Riau, pemberian abolisi kepada Tom Lembong menimbulkan dilema hukum yang menarik:
"Jika unsur perbuatan melawan hukum dari pelaku utama sudah dihapuskan, apakah pihak lain yang ‘turut serta’ masih bisa dipidanakan? Tanpa Tom Lembong, mereka tidak akan pernah menjadi terdakwa."
Erdianto menegaskan bahwa abolisi dan amnesti memiliki efek hukum yang berbeda:
- Amnesti: sekadar memaafkan pelaku, perbuatan tetap tercatat.
- Abolisi: menghapuskan perbuatan yang menjadi dasar hukum tuntutan, sehingga kasus hukum resmi berakhir.
Politik vs Hukum
Meskipun langkah abolisi ini sah secara hukum, banyak pihak melihat keputusan ini sebagai campur tangan politik dalam ranah hukum. Pemberian abolisi kepada tokoh politik sekelas Tom Lembong menimbulkan pertanyaan: apakah kepentingan politik lebih diutamakan daripada kepastian hukum?
Kasus ini menunjukkan tarik-menarik antara legalitas formal dan kepentingan politik, di mana Presiden memiliki hak konstitusional, tetapi publik menilai dampaknya terhadap keadilan dan supremasi hukum.
Baca juga: Prabowo Tegaskan Empat Fokus Politik Lima Tahun Ke Depan, Oleh Nova Keiysa Mutia
Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong memunculkan perdebatan sengit. Di satu sisi, ada yang melihat langkah ini sebagai strategi politik cerdas; di sisi lain, ada yang menilai hal ini mengancam supremasi hukum.
Argumen Pendukung
Pendukung keputusan abolisi menekankan beberapa poin:
- Stabilitas Politik: Indonesia baru saja melewati pemilu, dan pemerintah memerlukan suasana yang kondusif agar roda pemerintahan berjalan lancar.
- Rekonsiliasi Antar-Kubu: Abolisi Tom Lembong dianggap sebagai upaya merangkul lawan politik dan meredakan gesekan antar-pihak.
- Memperkuat Pemerintahan: Dengan mengurangi konflik politik, pemerintah diharapkan bisa fokus pada pembangunan dan kebijakan publik.
Bagi kelompok ini, abolisi Tom Lembong adalah langkah pragmatis yang membantu menjaga keseimbangan politik dan meminimalkan potensi konflik berkepanjangan.
Argumen Pengkritik
Di sisi lain, kritikus menilai bahwa keputusan ini memiliki risiko serius terhadap supremasi hukum:
- Keadilan Tidak Merata: Jika elite politik bisa “melalui jalur politik” untuk menghapus kasus hukum, maka prinsip equality before the law akan hilang.
- Preseden Berbahaya: Langkah ini dapat menjadi contoh bagi pejabat lain untuk mencari jalur politik sebagai jalan pintas keluar dari jerat hukum.
- Kepercayaan Publik Terkikis: Rakyat akan melihat hukum hanya berlaku untuk kalangan tertentu, mengurangi legitimasi sistem peradilan.
Dampak Sosial dan Politik
Pemberian abolisi ini tidak hanya berdampak pada ranah hukum, tetapi juga dampak sosial-politik:
- Persepsi Publik: Masyarakat menjadi skeptis terhadap konsistensi hukum.
- Polarisasi Politik: Langkah ini bisa menimbulkan perpecahan opini antara pendukung pemerintah dan pihak kritis.
- Tekanan pada Lembaga Hukum: Aparat penegak hukum bisa menghadapi tekanan politik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara keseluruhan, kasus ini menegaskan tarik-menarik antara kepentingan politik dan kepastian hukum. Sementara sebagian pihak melihatnya sebagai alat rekonsiliasi, sebagian lain menilai hal ini merupakan contoh nyata krisis supremasi hukum di Indonesia.
Suara dari Masyarakat Sipil
Keputusan pemberian abolisi kepada Tom Lembong tidak hanya memicu perdebatan di kalangan politikus dan akademisi, tetapi juga mendapat perhatian luas dari masyarakat sipil. Lembaga-lembaga hukum dan aktivis menyoroti risiko jangka panjang terhadap supremasi hukum dan kepercayaan publik.
PSHK: Preseden Berbahaya
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menekankan bahwa abolisi ini meninggalkan preseden berbahaya. Dalam siaran persnya, PSHK menegaskan:
"Ketika hukum tunduk pada politik, rakyat kecil kehilangan pegangan. Inilah awal dari krisis supremasi hukum."
Bagi PSHK, rekonsiliasi politik seharusnya tidak dibangun dengan mengorbankan kepastian hukum, karena konsekuensinya bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
KontraS: Ketidakadilan antara Rakyat Kecil dan Elite Politik
Organisasi KontraS menyoroti kesenjangan keadilan yang muncul:
- Rakyat kecil harus menghadapi proses hukum yang panjang dan mahal.
- Elite politik bisa memanfaatkan jalur politik untuk menghindari jeratan hukum.
Laila Kusuma, Direktur Eksekutif KontraS, menyatakan:
"Praktik semacam ini memperlebar jurang ketidakadilan. Keadilan bagi warga biasa kerap diabaikan, sementara elite politik bisa menggunakan jalur politik untuk kepentingannya."
ICJR: Risiko Jangka Panjang bagi Penegakan Hukum
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti dampak jangka panjang abolisi bagi sistem hukum:
- Menciptakan preseden buruk bagi pejabat atau tokoh politik lain.
- Mengubah hukum menjadi alat politik, bukan instrumen keadilan.
- Mengurangi independensi aparat penegak hukum.
ICJR menegaskan bahwa hak prerogatif Presiden dalam bentuk abolisi harus dilakukan secara ketat dan transparan, bukan sebagai instrumen politik semata.
Aktivis Mahasiswa: Hukum sebagai “Kelas Sosial”
Suara dari generasi muda juga muncul dari aktivis mahasiswa hukum. Mereka menilai abolisi ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia tidak berlaku merata:
"Kalau elite bisa mendapat abolisi dengan alasan rekonsiliasi, sementara rakyat kecil menghadapi proses panjang yang mahal dan rumit, negara sedang memberi pesan: hukum itu kelas sosial. Yang kaya dan berkuasa punya jalan pintas, yang miskin tidak."
Aktivis ini menekankan bahwa ketidaksadaran politik masyarakat membuat manipulasi politik lebih mudah terjadi, dan semakin menguatkan ketimpangan kekuasaan di ranah hukum.
Respon Tom Lembong di Mata Najwa
Kasus abolisi Tom Lembong semakin ramai diperbincangkan setelah dirinya hadir dalam program Mata Najwa bersama Najwa Shihab. Dalam diskusi tersebut, Tom memberikan tanggapan langsung terkait keputusan Presiden Prabowo yang menutup semua proses hukum sebelumnya.
Pernyataan Tom Lembong Terkait Abolisi
Najwa Shihab menanyakan pandangan Tom tentang pandangan publik yang menyebut abolisi ini lebih bersifat politik daripada hukum. Tom menanggapi:
"Saya paham pandangan itu. Abolisi ini memang keputusan politik sekaligus hukum. Tapi bagi saya pribadi, ini menutup semua proses hukum yang sebelumnya menjerat saya. Jadi bab panjang itu selesai."
Tom menegaskan bahwa bagi dirinya, abolisi merupakan cara untuk menuntaskan perkara hukum yang telah lama membayangi dan memungkinkan ia untuk melanjutkan aktivitas profesional tanpa beban hukum.
Tanggapan Soal Keadilan bagi Masyarakat
Najwa kemudian menyinggung pertanyaan kritis mengenai rasa keadilan, mengingat banyak orang yang mungkin tidak mendapatkan perlakuan serupa ketika menghadapi kasus hukum.
Tom menanggapi reflektif:
"Saya sadar mungkin sebagian pendukung saya kecewa atau kesal mendengarnya. Saya bisa memahami itu. Tapi saya berharap pengalaman ini bisa jadi pelajaran. Kita harus membenahi sistem hukum kita supaya lebih konsisten, tidak pilih kasih, dan bisa memberikan rasa keadilan untuk semua."
Dengan jawaban ini, Tom mencoba menempatkan abolisi sebagai titik akhir pribadi, sambil menyadari kritik dan kekhawatiran publik tentang ketimpangan keadilan.
Pandangan Pribadi Tom terhadap Dampak Abolisi
Secara pribadi, Tom menilai keputusan abolisi memiliki dua sisi:
- Manfaat bagi dirinya: menutup kasus hukum dan memberi kesempatan untuk fokus pada karier dan kontribusi publik.
- Pelajaran bagi sistem hukum: pentingnya transparansi, konsistensi, dan perlakuan adil bagi semua pihak, tidak hanya elite politik.
Pernyataan Tom Lembong di Mata Najwa menegaskan bahwa abolisi tidak sekadar soal kepentingan pribadi, tetapi juga refleksi atas tantangan keadilan hukum di Indonesia dan bagaimana masyarakat menilai konsistensi hukum di tengah kepentingan politik.
Judul Video: Tom Lembong Bicara Abolisi, Prabowo & Jokowi: Mungkin Pendukung Saya Kesal Dengar Ini | Mata Najwa
Sumber: YouTube - Mata Najwa
Bahaya Preseden Abolisi
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong menimbulkan preseden yang berpotensi berbahaya bagi sistem hukum dan politik Indonesia. Jika praktik semacam ini dinormalisasi, efek negatifnya bisa terasa luas, baik dalam mekanisme hukum maupun persepsi publik terhadap keadilan.
1. Normalisasi Intervensi Politik
Salah satu risiko utama adalah normalisasi intervensi politik dalam ranah hukum.
- Mekanisme hukum rawan intervensi: Setiap kasus besar berpotensi diselesaikan di meja politik, bukan melalui proses peradilan yang independen.
- Dampak terhadap independensi aparat hukum: Aparat penegak hukum bisa kehilangan kewibawaan karena tekanan politik atau harapan presiden untuk “memuluskan” jalur tertentu.
Prof. Ahmad Ridwan, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, menyatakan:
"Abolisi Tom Lembong membuka celah impunitas politik. Hari ini Tom, besok bisa tokoh lain. Jika dibiarkan, pengadilan kehilangan wibawa, karena semua bisa selesai lewat tanda tangan politik."
Situasi ini berpotensi menggeser rule of law menjadi rule of deal, di mana hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, tetapi alat kompromi politik.
2. Erosi Kepercayaan Publik
Risiko berikutnya adalah erosinya kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
- Ketidakadilan bagi rakyat kecil: Sementara elite politik bisa memanfaatkan abolisi, masyarakat biasa tetap harus menghadapi proses hukum yang panjang, mahal, dan rumit.
- Dampak jangka panjang terhadap legitimasi negara hukum: Ketika publik melihat hukum hanya berlaku untuk segelintir orang, legitimasi institusi hukum tergerus dan kepercayaan masyarakat menurun drastis.
Laila Kusuma dari KontraS menegaskan:
"Krisis keadilan tidak lahir seketika, ia lahir dari serangkaian keputusan yang mengabaikan rakyat kecil dan melindungi elite. Abolisi ini adalah salah satu contohnya."
Erosi kepercayaan publik bukan hanya masalah persepsi; ini bisa berdampak langsung pada stabilitas sosial dan politik, karena masyarakat mulai meragukan efektivitas hukum dan keberpihakan negara terhadap keadilan.
Baca juga: Dinasti Politik yang Mengakar dan Sulit Lepas dari Kekuasaan
FAQ Seputar Abolisi Tom Lembong
Apa itu abolisi yang diberikan kepada Tom Lembong?
Abolisi adalah penghapusan atau pembatalan hukum terhadap seseorang oleh Presiden. Dalam kasus ini, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, terkait dugaan kasus korupsi.
Apakah abolisi Tom Lembong termasuk rekonsiliasi politik?
Beberapa pihak menilai langkah ini sebagai upaya rekonsiliasi politik untuk meredakan konflik antar-kubu dan menjaga stabilitas pemerintahan. Namun, kritik muncul karena hal ini berpotensi melemahkan supremasi hukum.
Bagaimana dampak abolisi ini terhadap hukum di Indonesia?
Abolisi bisa menjadi preseden yang mengancam independensi aparat hukum, memicu intervensi politik, dan menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat kecil, sehingga berisiko mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Apa perbedaan abolisi dengan amnesti?
- Amnesti: memaafkan pelaku, tetapi perbuatan hukum tetap tercatat.
- Abolisi: menghapuskan perbuatan hukum, sehingga tidak ada dasar hukum lagi untuk menuntut pelaku.
Bagaimana masyarakat sipil menanggapi abolisi Tom Lembong?
Lembaga seperti PSHK, KontraS, dan ICJR menyoroti risiko jangka panjang bagi penegakan hukum dan potensi ketidakadilan sosial. Aktivis mahasiswa bahkan menyebut hukum di Indonesia bisa terlihat seperti “kelas sosial”, berbeda perlakuannya antara elite politik dan rakyat biasa.
Apa pesan Tom Lembong soal abolisi?
Tom menekankan abolisi menutup semua proses hukum sebelumnya dan berharap sistem hukum Indonesia lebih konsisten dan transparan agar semua pihak mendapatkan rasa keadilan yang setara.
Apa implikasi jangka panjang bagi demokrasi Indonesia?
Jika praktik abolisi bagi elite politik terus dinormalisasi, demokrasi Indonesia berisiko berubah menjadi negara kesepakatan politik, di mana kepentingan politik lebih diutamakan daripada keadilan dan legitimasi hukum masyarakat bisa tergerus.
Penutup
Kasus abolisi Tom Lembong menunjukkan tarik-menarik antara rekonsiliasi politik dan supremasi hukum. Di satu sisi, abolisi bisa dianggap sebagai upaya pragmatis untuk meredakan konflik politik dan memperkuat stabilitas pemerintahan. Di sisi lain, langkah ini menimbulkan preseden berbahaya yang dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap hukum dan menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat kecil.
Implikasi untuk Demokrasi Indonesia
Jika praktik pemberian abolisi kepada elite politik terus dinormalisasi, demokrasi Indonesia berisiko mengalami:
- Pergeseran dari negara hukum menjadi negara kesepakatan politik, di mana kepentingan politik lebih diutamakan daripada keadilan.
- Erosi legitimasi sistem peradilan, karena publik menilai hukum hanya berlaku bagi sebagian pihak tertentu.
- Normalisasi intervensi politik, yang mengancam independensi aparat penegak hukum dan kestabilan demokrasi secara jangka panjang.
Pesan tentang Rekonsiliasi Sejati dan Transparansi Hukum
Rekonsiliasi politik yang sejati seharusnya dibangun di atas keadilan hukum dan transparansi, bukan kompromi yang melemahkan institusi hukum. Supremasi hukum harus tetap dijaga agar masyarakat memiliki kepastian hukum dan rasa keadilan yang setara, tanpa pandang status sosial atau posisi politik.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah, legislator, dan publik: politik dan hukum tidak bisa dipisahkan begitu saja, tetapi keduanya harus berjalan seiring untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan kualitas demokrasi di Indonesia.
Penulis: Siti Nurhalimah
Mahasiswa UNTIRTA FISIP Ilmu Komunikasi