BREAKING NEWS

Pergantian Jenderal di Tengah Protes: Solusi Nyata atau Sekadar Gimmick Politik?

Mengupas tuntas fenomena pergantian jenderal di tengah protes massa. Apakah ini langkah reformasi sejati atau hanya strategi meredam amarah publik? Temukan analisis mendalamnya di sini.

Pergantian Jenderal di Tengah Protes
Foto Ilustrasi: Pergantian Jenderal

FOKUS POLITIK - Di tengah deru suara demonstran yang menggema di jalanan ibu kota, sebuah pengumuman penting kerap kali muncul dan menyita perhatian nasional: pergantian pucuk pimpinan militer. Pergantian jenderal di tengah protes bukanlah fenomena baru di lanskap politik Indonesia. Ini adalah sebuah drama klasik yang sering kali dipentaskan ketika suhu politik memanas dan kepercayaan publik terhadap aparat keamanan menipis.

Bagi sebagian orang, ini adalah sinyal positif. Sebuah tanda bahwa pemerintah "mendengarkan" dan siap berbenah. Namun, bagi sebagian lainnya, ini tak lebih dari sekadar gimmick—sebuah langkah strategis untuk meredam amarah sesaat, mengganti satu wajah dengan wajah lainnya tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Pertanyaannya kemudian menjadi sangat krusial: Apakah pergantian ini benar-benar gerbang menuju reformasi yang substantif, atau hanya plester sementara untuk luka yang sudah terlalu dalam?

Artikel ini akan mengupas tuntas kompleksitas di balik pergantian jenderal di tengah protes. Kita akan menyelami alasan di baliknya, mekanisme yang berjalan, tantangan yang menanti, serta dampaknya bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Mari kita bedah bersama, lapis demi lapis.

Mengapa Pergantian Pimpinan Militer Selalu Jadi Sorotan Utama Saat Krisis?

Ketika gelombang protes membesar, tuntutan publik sering kali mengerucut pada satu atau beberapa figur yang dianggap paling bertanggung jawab. Dalam konteks keamanan, figur tersebut adalah pimpinan tertinggi militer atau kepolisian. Mengganti sosok ini menjadi langkah yang paling terlihat dan simbolis bagi pemerintah.

  • Simbol Kekuatan dan Otoritas Negara: Jenderal tertinggi adalah representasi dari kekuatan dan aparatur negara. Menggantinya mengirimkan pesan kuat bahwa negara mengakui adanya masalah di dalam tubuh institusinya. Ini adalah cara tercepat untuk menunjukkan "niat baik" kepada publik yang sedang marah.
  • Mencari "Kambing Hitam" Politik: Dalam politik, sering kali dibutuhkan seseorang untuk menanggung beban kesalahan. Mengganti seorang jenderal bisa menjadi cara elegan untuk meredefinisi masalah, dari yang tadinya kegagalan sistemik menjadi "kegagalan individu". Dengan begitu, tekanan publik bisa dialihkan dan energi protes bisa diredam.
  • Harapan Publik akan Perubahan: Masyarakat yang lelah dengan pendekatan represif secara alami akan berharap bahwa pimpinan baru akan membawa angin segar. Harapan ini, meskipun sering kali semu, cukup efektif untuk mendinginkan suasana dan memberikan pemerintah ruang untuk bernapas dan berkonsolidasi.

Namun, mengandalkan pergantian figur semata adalah pertaruhan yang sangat berbahaya. Jika tidak diiringi dengan perubahan nyata, ia justru akan menjadi bumerang yang memperburuk krisis kepercayaan.

Akar Masalah yang Tak Terselesaikan: Lebih dari Sekadar Sosok di Pucuk Pimpinan

Fokus pada pergantian figur sering kali membuat kita lupa pada borok sesungguhnya yang memicu protes. Amarah publik tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah akumulasi dari berbagai persoalan mendasar yang sudah lama diabaikan.

1. Kultur Kekerasan Aparat yang Berulang

Salah satu pemicu utama protes adalah penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive force) oleh aparat dalam menangani demonstrasi. Tragedi di mana aksi damai dibalas dengan gas air mata, pentungan, bahkan peluru tajam telah menjadi catatan kelam yang terus berulang.

  • Pendekatan Represif vs. Dialogis: Masih kuatnya pandangan bahwa massa adalah ancaman yang harus dikendalikan, bukan warga negara yang suaranya harus didengar. Pendekatan dialogis dan humanis sering kali hanya menjadi jargon di atas kertas.
  • Minimnya Akuntabilitas: Aparat yang terbukti melakukan kekerasan sering kali hanya mendapatkan sanksi ringan atau bahkan impunitas. Hal ini menciptakan siklus kekerasan yang tak terputus karena tidak ada efek jera.

Mengganti jenderal tanpa mereformasi doktrin penanganan massa dan menegakkan hukum secara tegas bagi pelaku kekerasan hanya akan memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

2. Bayang-Bayang Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Isu pelanggaran HAM adalah bahan bakar paling kuat bagi ketidakpercayaan publik. Tuduhan yang kerap muncul bukan hanya soal kekerasan saat unjuk rasa, tetapi juga mencakup:

  • Penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis.
  • Kasus penyiksaan selama interogasi.
  • Intimidasi terhadap jurnalis dan pembela HAM.
  • Kasus penghilangan paksa yang belum tuntas.

Selama kasus-kasus ini tidak pernah diusut secara transparan dan adil, citra institusi keamanan akan terus tergerus. Pimpinan baru akan mewarisi "dosa institusional" yang sama jika tidak ada kemauan politik untuk membuka lembaran kelam masa lalu.

3. Lemahnya Kontrol Sipil terhadap Militer

Inilah jantung persoalan demokrasi modern. Supremasi sipil adalah prinsip di mana otoritas sipil yang dipilih secara demokratis (pemerintah) memiliki kendali penuh atas institusi militer. Ketika prinsip ini lemah, militer berpotensi menjadi "negara di dalam negara".

Pergantian jenderal yang didasarkan murni pada tekanan massa atau manuver politik—bukan atas dasar evaluasi kinerja yang terukur oleh otoritas sipil—justru bisa memperlemah prinsip ini. Ini mengirimkan sinyal bahwa posisi strategis militer bisa dipengaruhi oleh "politik jalanan", yang dalam jangka panjang berbahaya bagi stabilitas demokrasi.

Di Balik Layar: Bagaimana Sebenarnya Mekanisme Pergantian Panglima TNI Bekerja?

Penting untuk dipahami bahwa pergantian jenderal di tengah protes tidak serta-merta terjadi karena tekanan publik semata. Ada mekanisme formal yang diatur oleh undang-undang untuk menjaga profesionalisme dan mencegah politisasi institusi. Di Indonesia, proses pergantian Panglima TNI diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Prosesnya berjalan sebagai berikut:

  1. Pengajuan Calon Tunggal oleh Presiden: Presiden, sebagai Panglima Tertinggi, memiliki hak prerogatif untuk memilih dan mengajukan satu nama calon Panglima TNI kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Calon ini harus berasal dari Kepala Staf angkatan (Darat, Laut, atau Udara) yang sedang menjabat atau pernah menjabat.
  2. Persetujuan atau Penolakan oleh DPR: DPR memiliki waktu paling lambat 20 hari (tidak termasuk masa reses) untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon yang diajukan Presiden.
  3. Uji Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test): Sebelum memberikan persetujuan, Komisi I DPR akan menggelar sesi uji kelayakan. Di sinilah calon Panglima akan memaparkan visi, misi, dan strateginya, serta menjawab berbagai pertanyaan kritis dari para wakil rakyat. Sesi ini biasanya terbuka untuk publik dan media.
  4. Persetujuan dalam Rapat Paripurna: Hasil dari Komisi I kemudian dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan. Jika disetujui, DPR akan mengirimkan surat resmi kepada Presiden.
  5. Pelantikan oleh Presiden: Setelah mendapatkan lampu hijau dari DPR, Presiden akan secara resmi melantik Panglima TNI yang baru.

Mekanisme ini dirancang sebagai sistem checks and balances. Tujuannya adalah memastikan bahwa Panglima TNI yang terpilih tidak hanya loyal kepada Presiden, tetapi juga memiliki kapasitas, integritas, dan visinya telah diuji oleh wakil rakyat. Namun, dalam praktiknya, proses ini tak jarang dipengaruhi oleh lobi-lobi politik tingkat tinggi.

Dua Sisi Mata Uang: Simbol Politik atau Momentum Reformasi?

Inilah inti dari perdebatan. Pergantian jenderal di tengah protes bisa menjadi salah satu dari dua hal yang sangat berbeda, tergantung pada niat dan langkah-langkah yang mengikutinya.

Sisi Pertama: Sekadar Simbol Peredam Amarah

Jika pergantian ini hanyalah respons reaktif tanpa rencana tindak lanjut yang jelas, maka ia akan jatuh menjadi sekadar simbol. Ciri-cirinya adalah:

  • Tidak Ada Perubahan Kebijakan: Setelah pimpinan baru dilantik, tidak ada evaluasi atau perubahan signifikan dalam Prosedur Tetap (Protap) penanganan unjuk rasa.
  • Proses Hukum Mandek: Kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang menjadi pemicu protes tidak diusut tuntas. Pelakunya tetap bebas.
  • Retorika Publik Tanpa Aksi: Pimpinan baru mungkin akan mengeluarkan pernyataan yang menyejukkan, berjanji akan lebih humanis, namun di lapangan, praktik lama terus berlanjut.
  • Fokus pada Citra, Bukan Substansi: Institusi lebih sibuk melakukan kampanye public relations untuk memperbaiki citra daripada melakukan reformasi internal yang menyakitkan.

Jika ini yang terjadi, maka pergantian tersebut hanya akan menjadi "plester" yang menutupi luka borok. Dalam beberapa bulan atau tahun, ketika insiden serupa terulang, amarah publik akan meledak kembali, bahkan mungkin lebih besar.

Sisi Kedua: Pintu Gerbang Menuju Reformasi Sejati

Sebaliknya, jika pergantian ini dijadikan titik awal, ia bisa menjadi katalisator perubahan yang luar biasa. Langkah-langkah konkret yang harus menyertainya adalah:

  • Evaluasi Menyeluruh Doktrin Keamanan: Jenderal baru harus memimpin evaluasi total terhadap doktrin, strategi, dan taktik yang digunakan dalam menghadapi masyarakat sipil. Pendekatan keamanan (security approach) harus digeser menjadi pendekatan pelayanan dan hak asasi manusia.
  • Reformasi Sistem Pendidikan Militer: Kurikulum di akademi militer dan sekolah staf komando harus diperkaya dengan materi demokrasi, supremasi sipil, dan HAM secara mendalam, bukan hanya sebagai pelengkap.
  • Membangun Mekanisme Akuntabilitas Internal yang Kuat: Membentuk badan pengawas internal yang independen dan berwenang untuk menyelidiki dan menindak setiap laporan pelanggaran oleh anggota.
  • Transparansi dan Keterbukaan: Berani membuka data dan informasi terkait operasi keamanan kepada publik dan lembaga pengawas eksternal, seperti Komnas HAM atau Ombudsman.
  • Dialog Konstruktif dengan Masyarakat Sipil: Membangun jembatan komunikasi yang tulus dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil, aktivis, dan akademisi untuk mendapatkan masukan dan kritik yang membangun.

Jika langkah-langkah ini yang ditempuh, maka pergantian jenderal di tengah protes akan tercatat dalam sejarah sebagai momentum perubahan yang fundamental.

Baca juga: Udang di Balik Abolisi Tom Lembong: Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?

Tantangan Berat di Pundak Jenderal Baru

Menjabat di tengah krisis kepercayaan bukanlah tugas yang mudah. Seorang jenderal baru akan menghadapi tantangan dari berbagai arah:

  • Tantangan Internal: Ia harus menghadapi kemungkinan adanya resistensi dari dalam. Mengubah kultur institusi yang sudah mengakar selama puluhan tahun adalah pekerjaan raksasa. Mungkin ada faksi-faksi internal yang tidak setuju dengan agenda reformasi.
  • Tantangan Eksternal: Selain memulihkan kepercayaan publik, ia harus piawai menavigasi tekanan politik dari Istana, Parlemen, dan partai-partai politik. Menjaga netralitas dan profesionalisme militer di tengah tarikan kepentingan politik adalah ujian terberat.
  • Tantangan Geopolitik: Di saat yang sama, ia tetap memiliki tanggung jawab utama untuk menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar. Ia harus bisa menyeimbangkan fokus antara reformasi internal dan kesiapsiagaan eksternal.

Belajar dari Panggung Global: Kasus Serupa di Negara Lain

Indonesia tidak sendirian. Banyak negara mengalami dilema yang sama.

  • Thailand: Sejarah modern Thailand diwarnai oleh siklus protes dan kudeta militer. Pergantian jenderal sering kali menjadi bagian dari konsolidasi kekuasaan faksi militer tertentu dan jarang sekali berujung pada penguatan kontrol sipil. Ini adalah contoh di mana pergantian pimpinan militer justru memperkuat cengkeraman mereka dalam politik.
  • Myanmar: Kasus Myanmar adalah contoh paling ekstrem dan tragis. Alih-alih merespons tuntutan pro-demokrasi, militer (Tatmadaw) justru melakukan kudeta. Pergantian pimpinan di sana sepenuhnya merupakan mekanisme internal militer untuk melanggengkan kekuasaan dan menyingkirkan pemerintahan sipil.
  • Korea Selatan: Di sisi lain, sejarah Korea Selatan menunjukkan kemungkinan transisi yang berhasil. Setelah puluhan tahun di bawah kediktatoran militer, gerakan pro-demokrasi yang masif pada tahun 1987 berhasil memaksa adanya reformasi. Sejak saat itu, pergantian pimpinan militer dilakukan dalam kerangka supremasi sipil yang semakin kuat, menjadikan militer sebagai lembaga yang profesional dan apolitis.

Pelajaran dari panggung global ini jelas: pergantian figur saja tidak pernah cukup. Yang menentukan adalah apakah pergantian itu menjadi bagian dari paket reformasi sistemik yang lebih besar untuk menempatkan militer secara kokoh di bawah kendali demokrasi.

Baca juga: Prabowo Tegaskan Empat Fokus Politik Lima Tahun Ke Depan

Kesimpulan: Publik Menuntut Perubahan Paradigma, Bukan Sekadar Pergantian Nama

Pergantian jenderal di tengah protes adalah sebuah persimpangan jalan yang krusial bagi sebuah bangsa. Ia bisa menjadi jalan pintas yang menipu, sebuah solusi semu yang hanya menunda masalah untuk meledak di kemudian hari. Atau, ia bisa menjadi gerbang yang membuka jalan terjal namun pasti menuju pendewasaan demokrasi.

Pilihan itu ada di tangan para pemegang kekuasaan. Namun, pengawasan dan tekanan ada di tangan kita sebagai publik.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukanlah sekadar pergantian nama di papan jabatan. Yang dituntut adalah perubahan paradigma—pergeseran fundamental dari cara pandang institusi keamanan terhadap rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Tanpa komitmen tulus terhadap penghormatan hak asasi manusia, transparansi, dan akuntabilitas, pergantian pimpinan tertinggi hanya akan berhenti sebagai sebuah simbol kosong.

Publik tidak lagi puas dengan pergantian wajah; yang dituntut adalah perubahan fundamental dalam jiwa dan raga institusi. Dan tugas kita bersama adalah terus mengawal agar tuntutan itu tidak pernah padam.

Penulis: Shabrina Syifaur Rahmah
Mahasiswa semester 1 Pengantar Ilmu Politik,
Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA