Kemunduran HAM di 100 Hari Pemerintahan Baru: Simbol atau Kenyataan?

FOKUS OPINI - Seratus hari pertama pemerintahan baru Indonesia diwarnai kritik tajam dari berbagai lembaga hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia menilai situasi hak asasi manusia (HAM) mengalami kemunduran, ditandai dengan meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi, maraknya konflik agraria, serta mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kebebasan Berekspresi di Bawah Tekanan
Aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah pada awal September 2025 menjadi bukti nyata pengekangan ruang publik. Aparat kepolisian dilaporkan menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi di sekitar kampus Jakarta dan Bandung, sebagaimana diberitakan Reuters (2/9/2025).
Para mahasiswa menolak sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap membatasi ruang kritik dan kebebasan akademik. Amnesty International mengecam tindakan aparat tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak berpendapat yang dijamin konstitusi.
“Pengekangan kebebasan berekspresi tidak sejalan dengan komitmen pemerintah terhadap nilai-nilai HAM,” ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Konflik Agraria Tak Kunjung Reda
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat lebih dari 200 kasus konflik agraria sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025. Sebagian besar kasus melibatkan masyarakat adat yang lahannya tumpang tindih dengan izin perusahaan besar di sektor perkebunan dan pertambangan.
Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan tanpa adanya penyelesaian hukum yang adil. Dalam laporan tahunan 2025, Komnas HAM menilai pemerintah daerah belum menunjukkan keseriusan dalam melindungi hak warga negara.
“Konflik agraria masih menjadi wajah nyata pelanggaran HAM struktural di Indonesia,” tulis Komnas HAM dalam laporannya.
Penyelesaian Kasus Lama Masih Mandek
Upaya pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Tragedi Mei 1998, Wasior–Wamena, dan Paniai dinilai belum menunjukkan kemajuan berarti. Pembentukan tim penyelesaian non-yudisial dianggap belum memberi keadilan substantif bagi korban.
Usman Hamid menilai, tanpa keberanian politik dan keseriusan hukum, penyelesaian kasus HAM berat hanya berhenti pada tataran simbolik.
“HAM tidak boleh hanya dijadikan alat pencitraan politik,” tegasnya.
Janji Belum Jadi Aksi
Pemerintah berulang kali menegaskan komitmen terhadap perlindungan HAM, namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Pembatasan ruang sipil, lambannya reformasi hukum, dan kurangnya transparansi menjadi catatan serius.
Sejumlah pengamat menilai pemerintahan baru lebih fokus pada stabilitas politik dan ekonomi dibanding penegakan HAM. Akibatnya, nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar moral negara justru terpinggirkan.
Baca juga: Strategi atau Simpati? Janji Prabowo: Palestina Merdeka, RI Akui Israel
Analisis: Antara Inspirasi dan Simbol
Hak asasi manusia sejatinya merupakan roh dari demokrasi dan keadilan sosial. Namun, realitas menunjukkan bahwa HAM di Indonesia kerap dijadikan simbol politik tanpa tindakan nyata.
Kebijakan yang membatasi kritik dan lemahnya perlindungan terhadap masyarakat kecil memperlihatkan bahwa nilai kemanusiaan belum menjadi prioritas utama. Jika pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan publik, komitmen terhadap HAM harus diwujudkan melalui transparansi, penegakan hukum yang adil, dan perlindungan terhadap kelompok rentan.
HAM seharusnya tidak hanya menjadi inspirasi dalam pidato, tetapi juga tercermin nyata dalam kebijakan negara.
Ditulis oleh : Jesica Fitria Hanafi
Mahasiswa semester 1 UIN Raden Lampung. Aktif menulis artikel dan opini seputar isu hak asasi manusia, inspirasi, dan refleksi simbolik dalam kehidupan sosial-politik Indonesia.