BREAKING NEWS

Dinasti Politik yang Mengakar dan Sulit Lepas dari Kekuasaan

Dinasti Politik yang Mengakar dan Sulit Lepas dari Kekuasaan

Fenomena dinasti politik masih jadi persoalan serius dalam sistem demokrasi di Indonesia. Salah satu contoh paling nyata terlihat di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Selama hampir dua dekade, kepemimpinan daerah ini didominasi oleh satu keluarga yang secara bergantian mengisi posisi strategis, terutama jabatan Bupati.

Sejak tahun 2003 hingga 2013, Hasan Aminuddin menjabat sebagai Bupati Probolinggo selama dua periode. Setelah masa jabatannya selesai, kursi tersebut dilanjutkan oleh istrinya, Puput Tantriana Sari, yang menjabat hingga 2021 sebelum akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan jual beli jabatan.

Dengan demikian, selama lebih dari 18 tahun, kekuasaan di Kabupaten Probolinggo terpusat pada satu keluarga inti. Kondisi ini tidak sekadar mencerminkan keterlibatan pasangan suami-istri dalam politik, tetapi lebih jauh mengindikasikan adanya praktik dinasti politik, yaitu pelanggengan kekuasaan yang diwariskan secara sistematis dalam lingkup keluarga.

Dinasti Politik dan Patronase

Dalam teori politik, dinasti politik dikaitkan erat dengan sistem patronase, di mana posisi dan pengaruh politik diberikan bukan atas dasar kompetensi, melainkan karena hubungan personal dan loyalitas. Susanti (2018) menyebut fenomena ini sebagai bentuk patronase politik yang dipadukan dengan loyalitas kultural. Kekuasaan menjadi milik kelompok terbatas dan jabatan publik diperlakukan sebagai “aset keluarga”.

Kasus Probolinggo memperlihatkan tidak hanya pewarisan kekuasaan secara simbolik, tetapi juga reproduksi pola pikir dan praktik kekuasaan yang bermasalah. Penangkapan Hasan Aminuddin dan Puput Tantriana oleh KPK terkait praktik jual beli jabatan kepala desa dengan tarif sekitar Rp20 juta, menunjukkan bahwa sistem kekuasaan yang dikendalikan keluarga berpotensi tinggi disalahgunakan.

Bukan Kasus Terisolasi

Probolinggo bukan satu-satunya daerah yang mengalami fenomena ini. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, dari 582 calon kepala daerah yang dianalisis, sebanyak 155 di antaranya atau sekitar 26,6% berasal dari latar belakang dinasti politik. Ini membuktikan bahwa praktik serupa juga terjadi di berbagai daerah lain seperti Banten, Karawang, Klaten, hingga Kutai Kartanegara.

Dominasi kekuasaan oleh satu keluarga mengurangi ruang bagi kader atau tokoh masyarakat lain untuk berkompetisi secara sehat dalam pemilu. Dalam banyak kasus, proses demokrasi hanya berlangsung secara prosedural, tanpa menciptakan kompetisi yang adil.

Problematika Demokrasi Prosedural

Secara normatif, pemilihan kepala daerah tetap berjalan sebagaimana mestinya. Namun, ketika satu keluarga menguasai partai, birokrasi, bahkan organisasi masyarakat, maka calon-calon dari luar klan tersebut menjadi tidak memiliki peluang yang setara. Demokrasi kemudian hanya menjadi formalitas, sementara substansinya mengalami kemunduran.

Ketika regenerasi kepemimpinan mandek, ide-ide baru sulit masuk, dan politik lokal hanya berputar pada status quo. Studi Transparency International bahkan menunjukkan bahwa wilayah yang dikuasai dinasti politik cenderung memiliki tingkat korupsi lebih tinggi karena lemahnya sistem check and balance.

Peran Partai Politik

Salah satu faktor yang turut memperkuat dinasti politik adalah partai politik. Dalam kasus Probolinggo, Hasan Aminuddin memiliki rekam jejak politik yang panjang, mulai dari PKB hingga NasDem, dan pernah menjadi anggota DPR RI. Modal politik ini digunakannya untuk mendukung pencalonan istrinya dan memperluas jaringan kekuasaan di tingkat lokal.

Alih-alih menjadi institusi penyaring kepemimpinan yang berkualitas, partai sering kali justru berperan sebagai kendaraan bagi keluarga politik untuk melanggengkan kekuasaan. Fokus utama partai menjadi pragmatis: mengejar elektabilitas, bukan memperkuat kaderisasi.

Kuatnya Loyalitas Komunitas

Budaya politik lokal juga turut mendukung bertahannya dinasti. Loyalitas berbasis komunitas—baik agama, pesantren, maupun kekeluargaan—masih menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam memilih pemimpin. Dalam konteks ini, tokoh seperti Hasan Aminuddin memiliki posisi ganda sebagai pemimpin politik dan figur religius, sehingga kritik terhadapnya kerap dianggap tabu.

Kondisi ini memperkuat teori patron-klien dalam politik lokal, di mana kekuasaan dibangun dari relasi personal, bukan sistem institusional. Pemilih tidak lagi menentukan pilihan berdasarkan visi dan program, tetapi karena relasi emosional atau rasa sungkan terhadap tokoh lokal.

Tanda-Tanda Perlawanan

Meskipun demikian, pasca operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Hasan dan Puput, muncul gerakan-gerakan warga yang mulai bersuara. Beberapa membuat petisi, sebagian membentuk komunitas pemantau pilkada, bahkan ada yang maju sebagai calon independen meski tanpa dukungan partai. Selain itu, sejumlah LSM lokal juga mulai aktif mengedukasi pemilih melalui diskusi publik, pertunjukan teater rakyat, dan kampanye di media sosial.

Langkah-langkah ini memang belum masif, tetapi menjadi penanda bahwa kesadaran publik mulai tumbuh. Demokrasi tidak bisa hanya bergantung pada elite. Harus ada inisiatif dari masyarakat untuk menjaga integritas politik lokal.

Legal, tapi Tidak Etis

Seringkali, pembela dinasti politik berdalih bahwa tidak ada aturan yang dilanggar. Memang benar, hukum positif di Indonesia tidak secara eksplisit melarang keluarga petahana mencalonkan diri. Namun, sesuatu yang legal belum tentu etis. Kekuasaan dalam dinasti politik menciptakan jejaring informal yang sulit ditembus. Relasi kekerabatan bisa menjalar ke berbagai lini: suami di jabatan publik, istri di partai, anak mencalonkan diri, ipar menjabat di dinas, dan seterusnya.

Fenomena ini menunjukkan kaburnya batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dalam konteks ideal demokrasi, kekuasaan seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan diwariskan sebagai hak milik keluarga.

Penutup

Kasus Probolinggo seharusnya menjadi pelajaran penting dalam membatasi praktik dinasti politik di daerah. Upaya untuk mendorong demokrasi yang sehat dan berkeadilan tidak bisa hanya mengandalkan aturan formal. Diperlukan kesadaran etis dari partai politik dan keberanian dari masyarakat untuk menolak politik berbasis warisan.

Karena pada akhirnya, demokrasi bukan tentang siapa yang punya akses paling besar, tetapi siapa yang paling mampu melayani kepentingan publik.

Penulis: Aulia Najla Khaalishah
Mahasiswi Ilmu Pemerintahan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Daftar Referensi

  • Dewi, C. (2024). Analisis Kasus Penyalahgunaan Wewenang dalam Praktik Jual Beli Jabatan oleh Bupati Probolinggo. Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik, 4(5), 1203–1212. https://doi.org/10.38035/jihhp.v4i5.2201

  • Masrurah, L. (2022). Implikasi Hukum Dinasti Politik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten Probolinggo [Tesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung]. https://digilib.uinsgd.ac.id/51835/

  • Indonesia Corruption Watch. (2023). Dinasti Politik dalam Pilkada 2024: Tren, Risiko, dan Implikasi terhadap Regenerasi Kepemimpinan. https://antikorupsi.org

  • Tempo.co. (2021, 30 Agustus). Kronologi OTT Bupati Probolinggo Puput Tantriana dan Hasan Aminuddin. https://nasional.tempo.co/read/1500564

  • Komisi Pemberantasan Korupsi. (2021). Rilis OTT Dugaan Suap Jual Beli Jabatan di Kabupaten Probolinggo. https://www.kpk.go.id

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image