Remaja, Media Sosial, dan Pudarnya Nilai Kemanusiaan: Perspektif Pancasila

Fenomena Remaja, Media Sosial, dan Pudarnya Nilai Kemanusiaan: Telaah Melalui Perspektif Pancasila semakin terasa dalam beberapa tahun terakhir.
Perkembangan platform digital memang membuka ruang ekspresi, tapi sekaligus menyingkap sisi gelap interaksi manusia: hilangnya empati, lunturnya sopan santun, hingga normalisasi kekerasan verbal.
Kasus cyberbullying yang merenggut nyawa beberapa remaja Indonesia sejak 2022 menjadi alarm keras bahwa media sosial bukan sekadar ruang hiburan.
Platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) berubah menjadi arena yang sering kali menelanjangi moralitas generasi muda.
Fenomena ini butuh telaah serius melalui lensa Pancasila, supaya masyarakat melihat persoalan ini bukan hanya sebagai kenakalan masa kini, tetapi krisis nilai kemanusiaan.
Lonjakan Kekerasan Digital: Potret Buram Remaja Indonesia
Cyberbullying tidak lagi berdiri sebagai masalah kecil atau insiden terisolasi.
Ia tumbuh menjadi epidemi sosial.
Data resmi menunjukkan kondisi yang mengerikan.
- Lebih dari 10.000 kasus cyberbullying sepanjang 2023 (Kominfo).
- Peningkatan laporan hingga 30% dari tahun sebelumnya.
- 70% remaja Indonesia mengaku pernah melihat atau mengalami cyberbullying (UNICEF, 2022).
- 40% mengalami dampak psikologis serius seperti depresi dan kecemasan.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik.
Ini adalah potret runtuhnya sensitivitas moral di era digital.
Bahkan dalam beberapa kasus, tekanan sosial di media digital sudah cukup kuat untuk mendorong remaja menuju keputusasaan ekstrem.
Mengapa Nilai Kemanusiaan Meredup? Pembacaan Eti ka dan Moral di Dunia Digital
Masalah ini bukan berdiri sendiri.
Ada akar yang lebih dalam, dan semuanya berhubungan langsung dengan perubahan cara remaja berinteraksi di media sosial.
1. Anonimitas yang Menghapus Empati
Media sosial menciptakan perisai tak terlihat.
Ketika seseorang ti dak harus bertatap muka, rasa bersalah melemah.
Ruang digital membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi, padahal di dunia nyata kata-kata mereka bisa menghancurkan seseorang.
2. Budaya Konten Vir al yang Mendorong Perilaku Egois
Algoritma media sosial sering memberi panggung pada konten kasar, provokatif, atau sensasional.
Ini membuat remaja melihat hinaan sebagai hiburan atau bahkan mata uang sosial.
Karakter dan kebajikan kalah jauh dibanding “views” dan “engagement”.
3. Ketimpangan Sosial yang Melahirkan Ledakan Emosi
Tidak sedikit pelaku cyberbullying berasal dari lingkungan keluarga penuh konflik atau tekanan ekonomi.
Mereka membawa luka pribadi ke ruang digital, lalu melampiaskannya pada orang lain.
Ketika stres sosial tidak terkelola, internet menjadi alat pelampiasan.
Pancasila dan Nilai Kemanusiaan yang Mulai Terpinggirkan
Jika dilihat dari perspektif Pancasila, beberapa sila paling penting justru paling diabaikan dalam fenomena cyberbullying.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila ini menekankan penghargaan terhadap martabat manusia.
Cyberbullying adalah bentuk pelanggaran langsung terhadap nilai kemanusiaan.
Tidak ada keadilan ketika satu individu dihujani hinaan massal.
Tidak ada keberadaban ketika manusia diperlakukan hanya sebagai objek olok-olok.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Media sosial kadang berubah menjadi ruang perpecahan berbasis identitas.
Isu SARA, body shaming, mocking terhadap aksen atau latar belakang sering digunakan untuk menyerang seseorang.
Sila Persatuan runtuh ketika remaja asyik saling merendahkan hanya demi sensasi.
Mengapa Reaktualisasi Pancasila Jadi Urgen?
Pancasila sudah disiapkan sebagai kompas moral bangsa.
Namun dalam derasnya arus digital, nilai-nilainya memudar di benak remaja.
Di sinilah urgensi pendidikan nilai kebangsaan muncul.
Pendidikan Pancasila bukan lagi materi hafalan.
Ia harus menjadi pondasi etika digital.
Penelitian Universitas Indonesia tahun 2023 menemukan bahwa:
Siswa yang mendapatkan pendidikan Pancasila secara intensif memiliki tingkat empati 20% lebih tinggi.
Ini menunjukkan bahwa Pancasila bisa menjadi vaksin moral untuk menghadapi penyakit sosial digital.
Jika nilai seperti gotong royong, toleransi, keadilan sosial, dan kemanusiaan dapat dihidupkan kembali dalam konteks digital, maka interaksi di media sosial bisa berubah menjadi lebih sehat.
Solusi Nyata: Menerapkan Pancasila ke Kehidupan Digital Remaja
Remaja adalah generasi yang tumbuh bersama teknologi.
Solusinya bukan menjauhkan mereka dari internet, melainkan mengintegrasikan nilai Pancasila ke dalam rutinitas digital.
Berikut pendekatan yang bisa diterapkan:
1. Edukasi Lewat Konten Digital
Video pendek, animasi, dan storytelling bisa mengemas pesan moral secara menarik.
Contoh:
Kampanye #PancasilaAntiBullying berisi contoh kejadian, cara merespons, dan nilai sila yang relevan.
2. Aktivitas Komunitas Online dan Offline
Bentuk Pancasila Digital Community di sekolah dan kampus.
Isinya diskusi, role-play, hingga simulasi etika digital.
Buat aplikasi edukasi dengan sistem poin, seperti game, untuk mendorong perilaku positif.
3. Perubahan Kurikulum Sekolah
Masukkan etika digital ke pelajaran PKN dan Bahasa Indonesia.
Gunakan metode project-based learning.
Contoh tugas: buat konten TikTok yang menyebarkan pesan toleransi.
4. Kolaborasi Pemerintah, Influencer, dan Platform Media Sosial
Platform seperti TikTok dan Instagram bisa menyediakan ruang “Konten Sehat Pancasila”.
Influencer ikut menyampaikan pesan untuk audiens mereka.
Kolaborasi semacam ini memperluas jangkauan edukasi secara signifikan.
Penutup: Pancasila sebagai Pilar Moral Dunia Digital
Fenomena Remaja, Media Sosial, dan Pudarnya Nilai Kemanusiaan: Telaah Melalui Perspektif Pancasila bukan sekadar tren digital.
Ini cerminan bahwa moralitas bangsa sedang diuji.
Pancasila tetap menjadi benteng moral yang relevan.
Jika nilai-nilainya dihidupkan kembali melalui pendidikan, konten digital, dan gerakan komunitas, Indonesia bisa menciptakan ruang virtual yang lebih manusiawi.
Generasi muda memiliki peran besar dalam menjaga masa depan moral bangsa.
Dengan memahami dan menginternalisasi nilai Pancasila, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi—mereka menjadi penjaga kemanusiaan di era digital.
Penulis: Aura Cantika Britania,
Mahasiswa Semester 1 Prodi Ilmu Komunikasi,
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA