Naik Gunung Demi Konten: Ketika FOMO Mengalahkan Logika di Jalur Pendakian

Naik Gunung Demi Konten: Ketika FOMO Mengalahkan Logika di Jalur Pendakian

Pendakian gunung dulu identik dengan refleksi batin dan proses menemukan diri.
Kini, banyak yang naik gunung demi konten—tren baru yang memadukan ambisi, estetika visual, dan budaya FOMO.

Fenomena ini tidak selamanya buruk.
Namun, saat kamera menggantikan kompas dan tripod lebih penting daripada air, pendakian berubah menjadi ajang pembuktian, bukan pembelajaran.

Artikel ini membahas realitas baru tersebut secara mendalam, sambil memberi panduan agar pendakian tetap aman, bermakna, dan sesuai esensinya.


Perjalanan Dimulai: Ketika Gunung Menjadi Latar, Bukan Guru

Subuh itu, dua pemuda memulai perjalanan panjang menuju Gunung Slamet.
Bekal sudah masuk carrier, doa dari orang tua pun sudah dikantongi.

Namun, realita di jalur pendakian jauh dari romantis.
Mereka bertemu rombongan yang bertanya “Mas, ada air lebih?”, sambil membawa speaker bluetooth, tripod, kacamata hitam, dan sepatu kasual seperti mau nongkrong di mall.

Air dianggap berat.
Sachet kopi dianggap penting.
Gunung jadi panggung.

Fenomena naik gunung demi konten akhirnya terlihat telanjang: prioritas pendaki pemula mulai bergeser dari keselamatan ke estetika.


Pendakian: Ruang Refleksi atau Medan Adu Eksistensi?

Dalam budaya digital, banyak orang ingin terlihat “ikut tren”.
FOMO (Fear of Missing Out) mendorong mereka mendaki bukan karena ingin belajar, melainkan karena ingin masuk algoritma.

Penelitian Sabila dalam Jurnal Audience menunjukkan bahwa FOMO memengaruhi perilaku Gen Z dalam banyak aspek.
Tekanan untuk selalu “update” membuat pendakian bergeser menjadi kompetisi visual.

Sisi positifnya tetap ada.
Kegiatan fisik meningkat, UMKM sekitar basecamp hidup, dan lebih banyak anak muda akhirnya bersentuhan dengan alam.

Namun makna mendaki sebagai perjalanan batin semakin memudar.
Gunung lebih sering diperlakukan sebagai studio foto daripada ruang kontemplasi.


Ketika Keamanan Digeser oleh Estetika

Pendakian selalu menuntut disiplin dan kesadaran risiko.
Namun sebagian pendaki pemula mengabaikannya demi tampilan yang instagramable.

Data dalam Journal of Green Landscape Planning mencatat bahwa 68% pendaki di Jawa Timur belum membawa perlengkapan sesuai SNI.
Itu angka yang gila, mengingat medan gunung bukan playground.

Di Gunung Rinjani, 18 kecelakaan pendakian tercatat sepanjang 2021–2025, dan 11 di antaranya meninggal dunia.
Bukan karena “penunggu gunung”, tetapi karena kurangnya persiapan.

Jika tren ini terus berlanjut, standar perlengkapan pendakian mungkin berubah: kamera, tripod, dan ringlight jadi prioritas utama, sementara jaket tebal dan ponco hanya lampiran.

Outfit matching sering dianggap wajib.
Safety gear dianggap aksesori.

Kedinginan katanya masih bisa ditahan.
Komentar netizen? Tidak.


Mitos vs Realita: Pengetahuan Dasar yang Justru Paling Sering Diabaikan

Banyak pendaki takut pada hal mistis di gunung, tetapi tidak takut pada fakta bahwa mereka tidak bisa memasang tenda.
Celakanya, ini jauh lebih berbahaya daripada hal gaib.

Ilmu paling mendasar seperti memilih lokasi tenda, menangani hipotermia, atau membaca perubahan cuaca justru jarang dipelajari.

Dalam jurnal Sukarmin tentang physical preparedness for hikers, keamanan pendakian selalu bergantung pada rasionalitas manusia.
Alam tidak mencari korban—ketidaktahuanlah yang menjerumuskan.

Begitu juga temuan Susilowati dalam penelitian tentang hipotermia.
Kurangnya pengetahuan dasar membuat tubuh cepat kolaps sebelum bantuan datang.

Tubuh manusia lebih mudah “marah” daripada makhluk gaib.
Tanda-tandanya jelas: menggigil, lemas, kehilangan fokus—sementara kamera tetap merekam.

Pendakian akhirnya bukan lagi tentang melawan medan.
Melainkan melawan kebodohan yang dibawa sendiri ke ketinggian.


Naik Gunung Demi Konten Boleh, Asal Tidak Menggadaikan Logika

Tidak ada yang salah dengan mendokumentasikan perjalanan.
Tidak ada yang salah dengan mengambil foto estetik.

Yang salah adalah mengabaikan akal sehat.

Gunung bisa menjadi ruang belajar tentang disiplin, tanggung jawab, dan kerendahan hati.
Namun jika diartikan hanya sebagai ajang pembuktian, nilai itu hilang.

Mitos di gunung seharusnya dipahami sebagai simbol untuk menghormati alam, bukan ditafsirkan sebagai alasan kecelakaan.
Ketika nalar dan etika berjalan bersama, pendakian kembali menjadi ruang refleksi.


Kesimpulan: Mengembalikan Pendakian pada Makna Aslinya

Fenomena naik gunung demi konten menunjukkan adanya krisis eksistensi manusia modern.
Pendakian yang dulu penuh refleksi kini berubah menjadi arena pencitraan.

Sartre pernah berkata bahwa manusia sering hidup demi pandangan orang lain.
Gunung kini menjadi panggung tempat kalimat itu terbukti.

Namun pendakian bisa kembali bermakna bila:

  • keselamatan dijadikan prioritas
  • peralatan standar dibawa, bukan diganti aksesori
  • pengetahuan dasar dikuasai
  • konten menjadi bonus, bukan tujuan utama

Gunung bukan tempat untuk menaklukkan alam.
Gunung adalah tempat menaklukkan diri sendiri.

Semakin manusia mampu mengendalikan egonya, semakin aman dan dalam perjalanan itu terasa.

Penulis:
Nama: Mirza Ali Naqi Hamadhani
Kampus: Universitas Negeri malang

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.