Dakwah Digital di Era Kecerdasan Buatan: Tantangan, Risiko, dan Solusi

Dakwah digital di era kecerdasan buatan memasuki babak baru yang kompleks.
Perubahan ini menciptakan percepatan luar biasa dalam penyebaran ilmu, namun juga membuka risiko besar terhadap ketepatan makna, sensitivitas bahasa, dan otoritas keilmuan.
Artikel ini membahas bagaimana kecerdasan buatan membentuk ulang lanskap dakwah modern, serta apa yang harus dilakukan agar pesan agama tetap bersandar pada kedalaman ilmu, bukan sekadar viralitas.
Kecerdasan Buatan Sebagai “Tangan Kedua” Dakwah Modern
Teknologi AI kini menjadi alat rutin bagi banyak pendakwah—mulai dari menerjemahkan kitab, merangkum teks klasik, sampai menyebarkan konten ke berbagai platform.
AI bekerja cepat dan efisien.
Namun kekuatan ini mengandung kelemahan: mesin mengenali pola bahasa, tetapi tidak memahami ruh makna yang terikat pada tradisi keilmuan Islam.
AI bisa menerjemahkan ayat dan hadis dengan rapi, tetapi belum tentu menangkap konteks spiritual, historis, maupun budaya yang selama ini dijaga para ulama.
Istilah fikih yang kaya konsep dapat berubah menjadi frasa datar tanpa nuansa.
Di sinilah masalah dimulai: bahasa agama bukan sekadar struktur kalimat, tetapi warisan ilmu yang memerlukan adab, pengalaman, dan bimbingan otoritatif.
Risiko Hilangnya Sensitivitas Makna dalam Dakwah Digital
Ketika AI memproses teks keagamaan tanpa pemahaman nilai, hasilnya sering terdengar kaku atau salah arah.
Kesalahan kecil dalam penerjemahan bisa menimbulkan bias besar di ruang digital.
Dampaknya nyata.
Kesalahan tafsir yang beredar di dunia maya:
- memecah diskursus,
- memicu perdebatan tanpa fondasi,
- membentuk persepsi keliru yang sulit diluruskan.
Jejak digital bergerak lebih cepat dari proses klarifikasi ilmiah.
Ketika dai berusaha mengoreksi, publik biasanya sudah terlanjur membentuk opini pertama yang sulit digeser.
Ledakan Konten Dakwah dan Tantangan Validitas Makna
Dakwah digital kini sangat demokratis.
Siapa pun bisa berbicara, kapan saja, melalui platform apa pun.
Demokratisasi ini memperluas akses ilmu, tetapi juga memiliki sisi gelap.
Otoritas ilmu sering kalah oleh kecepatan viral dan kualitas ringkas.
Banyak teks keagamaan disajikan dalam bentuk potongan pendek yang kehilangan konteks.
Ayat dipisahkan dari maqashid (tujuan hukum), hadis diambil tanpa syarah (penjelasan), dan masalah rumit disimpulkan seperti slogan.
Ledakan konten membuat ruang dakwah mengalami tiga masalah besar:
- narasi keagamaan kehilangan kedalaman,
- publik menerima “setengah kebenaran”,
- verifikasi makin sulit dilakukan.
Informasi salah bisa menyebar ribuan kali hanya dalam beberapa jam.
Ketika koreksi datang, persepsi publik sudah terkunci.
Algoritma Platform: Sensasi Diutamakan, Substansi Diabaikan
Platform digital bekerja berdasarkan pola respons emosional.
Konten yang memicu kemarahan, keterkejutan, atau fanatisme biasanya naik lebih cepat.
Di sinilah dakwah digital di era kecerdasan buatan menghadapi paradoks besar.
AI sering mengoptimalkan konten berdasarkan tren, bukan kebenaran ilmiah.
Akibatnya:
- penjelasan agama yang salah lebih sering muncul di beranda,
- terjemahan keliru ikut diviralkan,
- konten provokatif mengalahkan konten hikmah.
Algoritma tidak peduli apakah penjelasan itu akurat.
Yang dinilai hanyalah apakah orang memberi reaksi dan membagikannya.
Echo chamber pun terbentuk.
Pengguna hanya melihat konten sejenis yang menguatkan bias, bukan membuka wawasan.
Inilah kondisi di mana ayat dibaca tanpa maqashid, kaidah fikih disederhanakan seperti meme, dan hikmah terasa hambar karena kehilangan konteks.
Dai Dituntut Menjadi Kurator Ilmu, Bukan Sekadar Penyampai Pesan
Dai hari ini memiliki tugas yang jauh lebih berat dibanding generasi sebelumnya.
Mereka tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga harus mengoreksi informasi yang salah, melawan konten sensasional, dan menjaga ketepatan makna.
Tantangan ganda ini menciptakan perubahan peran:
- dai menjadi kurator ilmu,
- dai menjadi penyeimbang algoritma,
- dai menjadi penjaga makna di tengah derasnya arus informasi.
Peran ini menuntut literasi digital, pemahaman etika, dan kemampuan membaca kecenderungan algoritma.
Dakwah substansial tidak boleh kalah oleh konten yang sengaja dibuat untuk memancing emosi.
Bagaimana Dakwah Tetap Autentik di Tengah Dominasi AI
Ada beberapa strategi praktis agar dakwah digital tetap bernilai dan berdasar pada ilmu:
Pertama, jadikan AI sebagai alat, bukan otoritas.
Gunakan teknologi sebagai penunjang editorial, bukan sumber utama penafsiran.
Kedua, lengkapi setiap konten dengan penjelasan, rujukan kitab, atau pandangan ulama.
Publik butuh pegangan, bukan hanya ringkasan.
Ketiga, lakukan verifikasi berlapis untuk terjemahan dan ringkasan.
Tinjau istilah fikih, konteks ayat, dan sensitivitas makna.
Keempat, bangun komunitas pembaca yang kritis.
Ruang digital yang sehat hanya muncul jika publik terdidik untuk menilai informasi, bukan menelannya mentah-mentah.
Penutup: Masa Depan Dakwah Digital di Era Kecerdasan Buatan
Dakwah digital di era kecerdasan buatan membuka peluang dakwah yang luar biasa luas.
Namun peluang ini datang bersama risiko distorsi makna yang bisa meluas tanpa kontrol.
Tugas dai hari ini bukan lagi sekadar menyampaikan pesan, tetapi memastikan pesan itu tetap akurat, kontekstual, dan berlandaskan nilai.
Dengan kehati-hatian, literasi digital, dan kontrol kualitas yang ketat, kecerdasan buatan dapat menjadi mitra dakwah yang memperluas manfaat—bukan pengabur makna.
Penulis:
Moh. Hairud Tijani adalah alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia aktif menulis dan meneliti isu-isu sosial, budaya, serta sejarah. Saat ini, ia juga tergabung dalam Komunitas Ayo Less Waste (ALW) yang berfokus pada gerakan edukasi lingkungan dan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Instagram: @hairudtjnn_