Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru

FOKUS OPINI HUKUM - Perdebatan mengenai Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru kembali menguat seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP pada 2 Januari 2026. Regulasi ini tidak hanya mengubah kerangka hukum pidana Indonesia, tetapi juga memantik diskusi baru mengenai nilai kemanusiaan, keadilan bagi korban, dan efektivitas hukuman ekstrem dalam mencegah kejahatan berat. Di tengah perubahan struktur pidana yang menjadikan hukuman mati sebagai pilihan alternatif, publik kini mempertanyakan bagaimana negara harus menyeimbangkan hak hidup setiap warga negara dengan kebutuhan menghadirkan keamanan dan keadilan bagi masyarakat luas. Artikel ini menyajikan pembahasan mendalam, sistematis, dan menyeluruh untuk membantu masyarakat memahami dinamika kompleks di balik transformasi sistem pemidanaan tersebut.
Mengapa Hukuman Mati Selalu Menjadi Perdebatan?
Hukuman mati bukan sekadar topik hukum. Ia adalah isu moral, sosial, politik, dan kemanusiaan yang menyentuh aspek paling sensitif dari kehidupan manusia: hak hidup.
Dalam sejarah modern Indonesia, pembahasan hukuman mati selalu hadir dalam siklus naik turun. Ketika terjadi kejahatan brutal yang menggemparkan publik—mulai dari pembunuhan berencana, terorisme, hingga narkotika dalam skala raksasa—tuntutan masyarakat terhadap hukuman paling berat ini kembali menguat.
Sebaliknya, organisasi hak asasi manusia, akademisi, dan kelompok sipil berulang kali menyuarakan penolakan karena menilai hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak hidup yang fundamental.
Diskusi ini bukan hanya tentang hukuman, melainkan tentang:
- Bagaimana negara memandang martabat manusia
- Seberapa jauh negara berhak mencabut nyawa
- Bagaimana keadilan didefinisikan dalam konteks modern
- Sejauh mana sistem hukum bebas dari kesalahan
Dengan hadirnya KUHP baru, isu ini memasuki babak baru yang menuntut analisis lebih kritis dan menyeluruh.
Dukungan Masyarakat terhadap Hukuman Mati: Realitas atau Emosi Publik?
Survei Kementerian Hukum dan HAM tahun 2022 menemukan bahwa 80% masyarakat mendukung penerapan hukuman mati. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar warga negara masih memandang hukuman mati sebagai instrumen keadilan.
Dukungan besar ini sering didasari oleh beberapa faktor:
1. Rasa Keadilan bagi Korban
Bagi keluarga korban kejahatan berat, hukuman mati dianggap sebagai penegasan moral—bahwa pelaku harus menanggung akibat setimpal atas tindakan yang merusak hidup orang lain.
2. Ketakutan Publik
Kejahatan besar yang marak diberitakan membentuk persepsi publik bahwa ancaman kejahatan berat semakin meningkat, sehingga masyarakat menginginkan negara memberikan perlindungan yang tegas.
3. Efek Deterrence (Pencegahan)
Banyak orang berharap hukuman mati membuat pelaku kejahatan lain berpikir dua kali sebelum bertindak.
Namun, sejauh mana argumen tersebut berdiri di atas fondasi data dan bukan semata emosi? Pertanyaan ini menjadi inti dalam penyusunan kebijakan pemidanaan yang berimbang.
Penolakan terhadap Hukuman Mati: Antara Hak Asasi dan Risiko Kesalahan
Di sisi yang berlawanan, kelompok penentang mengajukan alasan yang tidak kalah kuat:
1. Hak Hidup Tidak Bisa Dicabut
Konstitusi Indonesia menjamin hak hidup sebagai hak fundamental. Mereka berargumen bahwa tidak ada otoritas—termasuk negara—yang boleh mencabut hak tersebut.
2. Sistem Peradilan Tidak Sempurna
Sejarah global menunjukkan kasus salah hukum (miscarriage of justice) bukan hal mustahil. Bila terjadi pada hukuman mati, kesalahan tersebut tidak bisa diperbaiki.
3. Tidak Terbukti Efektif Mencegah Kejahatan
Berbagai studi internasional menunjukkan hukuman mati tidak lebih efektif dibanding penjara seumur hidup dalam mencegah kejahatan berat.
4. Pengaruh Politik, Tekanan Publik, atau Bias
Dalam sistem peradilan yang belum steril dari tekanan eksternal, risiko kesalahan objektif tetap ada.
Argumen ini membuat perdebatan kian kompleks, terutama ketika KUHP baru mencoba menghadirkan kompromi di antara kedua kubu.
KUHP Baru: Transformasi Signifikan dalam Pengaturan Hukuman Mati
KUHP warisan kolonial selama ini menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok, sejajar dengan pidana penjara dan pidana denda. Namun, KUHP baru mengubah posisi ini secara fundamental.
Dalam konteks Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru, terdapat beberapa perubahan penting:
1. Hukuman Mati Menjadi Pidana Alternatif
Pasal 98 KUHP baru secara eksplisit mengatur bahwa hukuman mati hanya dapat dijatuhkan sebagai upaya terakhir. Artinya, negara mengakui bahwa pencabutan nyawa harus ditempatkan sebagai opsi minimal, bukan pilihan utama.
Ini menunjukkan pergeseran paradigma dari retributif (pembalasan) menjadi restoratif (pemulihan).
2. Masa Percobaan 10 Tahun
Terpidana mati tidak langsung dieksekusi. Mereka memasuki masa percobaan selama sepuluh tahun. Bila menunjukkan penyesalan, perubahan perilaku, dan mengikuti ketentuan pembinaan, hukuman dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Filosofinya:
Setiap orang berhak atas kesempatan kedua, bahkan dalam tindak pidana paling berat.
3. Penilaian Individu, Bukan Sekadar Pasal
Pendekatan baru memungkinkan hakim mempertimbangkan:
- latar belakang pelaku
- motif kejahatan
- kondisi psikologis
- potensi rehabilitasi
- penilaian sosial dan moral
Hal ini menandai sistem pemidanaan yang lebih manusiawi dan proporsional.
4. Pengawasan Ketat selama Masa Percobaan
Meski membuka ruang bagi perubahan pelaku, mekanisme ini tetap menjamin keamanan publik karena:
- pelaku tidak langsung bebas
- pembinaan dilakukan dengan evaluasi berkala
- keputusan perubahan hukuman harus melalui pertimbangan ketat
Pendekatan seperti ini berupaya merangkul kedua nilai besar: kemanusiaan dan keadilan.
Perspektif Korban: Dimana Letak Keadilan yang Sesungguhnya?
Dalam setiap diskusi tentang hukuman mati, suara korban sering kali menjadi pusat perhatian moral. Keadilan bagi korban bukan sekadar konsep hukum. Ia berkaitan dengan:
- rasa aman
- pemulihan martabat
- pengakuan atas penderitaan
- validasi bahwa negara melindungi hak mereka
Bagi banyak keluarga korban, hukuman mati dianggap sebagai wujud konkret dari pembalasan yang sepadan. Namun demikian, tidak semua keluarga korban memiliki pandangan serupa. Sebagian justru menginginkan proses hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan.
Dalam konteks Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru, pertanyaan penting yang muncul adalah:
Apakah hukuman mati benar-benar memberikan pemulihan psikologis bagi korban?
Ataukah negara perlu mendorong pendekatan pemulihan yang lebih komprehensif?
Jawaban atas pertanyaan itu sangat bergantung pada kondisi sosial dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Perspektif Pelaku: Antara Pertanggungjawaban dan Kesempatan Rehabilitasi
Sistem pemidanaan modern tidak hanya mengatur bagaimana pelaku harus dihukum, tetapi juga bagaimana pelaku dapat berubah.
Masa percobaan sepuluh tahun dalam KUHP baru mengakui bahwa:
- tidak semua pelaku kejahatan berat adalah “jahat selamanya”
- beberapa pelaku melakukan kejahatan karena tekanan psikologis, ekonomi, atau kondisi lingkungan
- pelaku masih manusia yang bisa menyesal dan memperbaiki diri
Dalam pendekatan ini, hukuman mati tetap tersedia sebagai opsi, tetapi pelaksanaannya tidak tergesa-gesa. Negara memberi ruang bagi “kemanusiaan” pelaku tanpa mengorbankan keamanan publik.
Baca juga: Relevansi Nilai-Nilai Pancasila dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia
Perbandingan Internasional: Apakah Indonesia Sejalan dengan Tren Dunia?
Ketika membahas hukuman mati, penting untuk melihat posisi Indonesia dalam konteks global. Dinamika global menunjukkan bahwa negara-negara di dunia mengambil sikap yang sangat beragam—dipengaruhi oleh sejarah, politik, budaya, agama, hingga tekanan internasional. Perbedaan itu bisa dilihat dalam tiga kelompok besar: negara yang menghapus total hukuman mati, negara yang menerapkan secara terbatas, dan negara yang menerapkannya secara ketat. Dengan memahami konfigurasi ini, kita bisa menilai apakah arah kebijakan Indonesia dalam Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru selaras dengan perkembangan dunia atau justru berada di jalur berbeda.
1. Negara yang Menghapus Total Hukuman Mati: Mendorong Penghormatan Absolut terhadap Hak Hidup
Sebagian besar negara Eropa, termasuk Prancis, Jerman, Italia, Belanda, hingga Norwegia, telah menghapus hukuman mati sepenuhnya. Kanada, Australia, Nepal, dan Meksiko juga termasuk dalam kelompok ini. Negara-negara tersebut tidak hanya melarang hukuman mati dalam undang-undang nasional, tetapi juga mewajibkan perlindungan hak hidup sebagai prinsip konstitusional yang tidak dapat diganggu gugat.
Mengapa mereka menghapus hukuman mati?
Ada beberapa faktor utama:
a. Komitmen terhadap Hak Asasi Manusia
Banyak dari negara ini adalah bagian dari perjanjian internasional seperti Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang bertujuan menghapus hukuman mati secara global.
b. Bukti Minim Efektivitas Deterrence
Penelitian akademik di negara-negara Eropa menunjukkan bahwa penghapusan hukuman mati tidak meningkatkan angka kejahatan berat. Keamanan justru diperoleh dari:
- kepastian hukum
- tingkat kesejahteraan
- efektivitas kepolisian dan sistem peradilan
c. Kekhawatiran terhadap Salah Hukum
Salah satu alasan paling kuat adalah risiko menghukum orang yang tidak bersalah—sebuah kesalahan yang tidak bisa dikoreksi.
d. Perubahan Budaya dan Moral
Nilai moral masyarakat di banyak negara Eropa berubah secara signifikan. Masyarakat memandang hukuman mati sebagai praktik yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan peradaban modern.
e. Tekanan dan Standar Internasional
Uni Eropa secara konsisten menolak hukuman mati. Bahkan, negara yang ingin bergabung dengan UE wajib menghapus hukuman mati sebagai salah satu syarat utama.
Apa yang bisa dipelajari Indonesia?
Meski Indonesia belum berada pada tahap penghapusan total, kebijakan mengubah hukuman mati menjadi pidana alternatif dalam KUHP baru menunjukkan bahwa Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih moderat dan sejalan dengan sebagian prinsip negara-negara penghapus.
2. Negara yang Masih Menerapkan secara Terbatas: Jalan Tengah antara Keadilan dan Kemanusiaan
Kelompok kedua mencakup negara-negara yang tidak menghapus hukuman mati, namun menempatkannya dalam kerangka hukum yang jauh lebih ketat dan terbatas. Indonesia kini berada dalam kategori ini, terutama setelah KUHP baru menegaskan bahwa hukuman mati adalah pidana alternatif dengan masa percobaan 10 tahun sebelum eksekusi dapat dilakukan.
Negara dengan pendekatan serupa antara lain:
- Malaysia, yang pada 2023 melakukan reformasi besar: hukuman mati tidak lagi wajib untuk sejumlah kejahatan, dan membuka opsi hukuman alternatif.
- Thailand, yang masih mencantumkan hukuman mati tetapi jarang melakukan eksekusi.
- Beberapa negara Amerika Latin, seperti Guatemala atau Brasil (khusus untuk kejahatan militer saat perang), yang menempatkan hukuman mati dalam kategori khusus dan terbatas.
Ciri-ciri pendekatan terbatas ini antara lain:
a. Hukuman mati bukan pilihan utama
Hanya digunakan untuk tindak pidana sangat berat, misalnya:
- terorisme
- kejahatan narkotika dalam skala besar
- pembunuhan berencana yang sangat kejam
b. Mekanisme penalti yang fleksibel
Hukuman mati bisa diganti dengan:
- penjara seumur hidup
- pidana jangka panjang
- rehabilitasi bila dinilai layak
c. Proses pengawasan yang ketat
Beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, menerapkan masa percobaan atau mempertimbangkan perilaku pelaku sebelum keputusan final dibuat.
d. Pengaruh tekanan internasional
Banyak negara non-Barat mulai beradaptasi karena adanya dorongan diplomatik, perdagangan, dan kerja sama internasional.
Posisi Indonesia dalam kelompok ini
Indonesia menjadi salah satu negara dengan pendekatan paling progresif dalam kategori ini karena:
- mengatur masa percobaan 10 tahun
- membuka ruang rehabilitasi
- menempatkan keputusan akhir pada penilaian perilaku dan penyesalan pelaku
Pendekatan ini menggambarkan usaha Indonesia untuk tetap mempertahankan rasa keadilan publik sambil bergerak menuju sistem hukum yang lebih manusiawi.
3. Negara yang Menerapkan Hukuman Mati secara Ketat: Eksekusi Rutin dan Penegakan Tanpa Kompromi
Berbeda dengan dua kelompok sebelumnya, negara-negara dalam kategori ini memiliki tingkat eksekusi yang relatif tinggi, dengan kebijakan yang tegas dan minim kompromi. Contoh negara yang sering melakukan eksekusi antara lain:
- Tiongkok
- Iran
- Arab Saudi
- Amerika Serikat (di beberapa negara bagian seperti Texas, Oklahoma, Alabama)
Mengapa negara-negara ini tetap mempertahankan hukuman mati secara ketat?
a. Stabilitas Politik dan Kepentingan Negara
Di beberapa negara, hukuman mati digunakan sebagai alat untuk menjaga stabilitas internal atau sebagai bentuk kontrol sosial.
b. Sistem Keagamaan atau Ideologis
Negara seperti Arab Saudi mendasarkan penghukumannya pada interpretasi hukum syariah tertentu.
c. Budaya Hukum yang Kuat dengan Penekanan pada Retribusi
Amerika Serikat contohnya, masih memiliki sebagian masyarakat yang percaya bahwa hukuman mati adalah bentuk keadilan retributif yang sah.
d. Persepsi Bahwa Hukuman Berat Menjaga Ketertiban
Beberapa negara menilai hukuman mati sebagai simbol ketegasan negara terhadap kejahatan.
Apakah Indonesia termasuk dalam kategori ini?
Tidak. Meski hukuman mati masih ada dalam undang-undang Indonesia, eksekusi telah sangat jarang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan KUHP baru semakin mempertegas bahwa Indonesia bergerak menjauh dari pendekatan eksekusi rutin.
Indonesia memilih jalur tengah: tidak menghapus, tetapi tidak pula memberlakukan secara agresif.
Analisis: Dimanakah Indonesia Berdiri dalam Spektrum Global?
Jika dikaji lebih dalam, posisi Indonesia dalam diskursus global menunjukkan beberapa hal penting:
1. Indonesia bergerak ke arah moderasi
Dengan menjadikan hukuman mati sebagai pidana alternatif, Indonesia mengikuti tren global yang menilai pencabutan nyawa bukan lagi solusi absolut.
2. Indonesia tetap mempertahankan elemen keadilan retributif
Ini mencerminkan konteks sosial Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat masih mendukung hukuman mati.
3. Indonesia menjaga ruang diplomasi internasional
Dengan kebijakan yang lebih moderat, Indonesia tetap diterima dalam percakapan global terkait hak asasi manusia, tanpa memicu kritik tajam seperti negara-negara yang masih rutin melakukan eksekusi.
4. Indonesia mengakui potensi rehabilitasi
Meski pelaku kejahatan berat dihukum, negara tetap membuka peluang bagi mereka untuk berubah, sesuai prinsip pemidanaan modern.
Apakah Indonesia Sejalan dengan Tren Dunia?
Jawabannya: ya, tetapi dengan karakteristiknya sendiri.
Indonesia tidak termasuk negara yang menghapus hukuman mati, tetapi juga bukan negara yang menjalankan hukuman mati secara ketat. Indonesia kini berada di tengah—bergerak sejalan dengan tren reformasi global yang menekankan humanisme, kehati-hatian, dan akuntabilitas dalam pemidanaan.
KUHP baru menunjukkan bahwa Indonesia memahami bahwa kemanusiaan dan keadilan tidak harus berseberangan. Dalam konteks global, pendekatan Indonesia dinilai sebagai model “jalur tengah” yang cukup progresif bagi negara berkembang dengan latar sosial dan budaya yang kompleks.
Menimbang Efektivitas: Apakah Hukuman Mati Mampu Mengurangi Kejahatan Berat?
Ini salah satu pertanyaan paling krusial.
1. Tidak Ada Bukti Kuat bahwa Hukuman Mati Lebih Efektif
Sejumlah penelitian dari berbagai negara menemukan bahwa tingkat kejahatan berat tidak menurun secara signifikan meski hukuman mati diberlakukan.
2. Deterrence Berasal dari Kepastian Hukum, Bukan Kekerasan Hukuman
Efektivitas pencegahan lebih dipengaruhi oleh:
- kecepatan penanganan kasus
- kepastian hukuman
- transparansi sistem hukum
- keamanan publik
Bukan oleh seberapa berat hukuman itu sendiri.
Baca juga: Udang di Balik Abolisi Tom Lembong: Rekonsiliasi Politik atau Krisis Hukum?
Di Antara Dua Kutub: Upaya KUHP Baru Menemukan Jalan Tengah
Revisi KUHP merupakan upaya menyatukan dua nilai fundamental:
1. Negara Menghormati Hak Asasi
Dengan menempatkan hukuman mati sebagai pidana alternatif, negara mengakui bahwa hak hidup tetap dijunjung.
2. Negara Tetap Melindungi Masyarakat
Dalam kondisi tertentu, terutama kejahatan yang sangat kejam, negara masih memiliki instrumen hukuman paling berat untuk memberikan kepastian hukum dan rasa aman.
3. Memberikan Ruang Evaluasi Moral
Masa percobaan sepuluh tahun bukan sekadar waktu tunggu. Ia adalah:
- mekanisme introspeksi
- ruang rehabilitasi
- pengaman dari potensi salah hukum
Dengan demikian, pendekatan baru ini mencerminkan sistem hukum yang lebih adaptif dan berimbang.
Tantangan Implementasi: Apakah KUHP Baru Siap Dilaksanakan?
Perubahan regulasi tanpa persiapan matang berpotensi menimbulkan masalah baru.
Beberapa tantangan yang perlu diantisipasi:
1. Sumber Daya Manusia Aparat Penegak Hukum
Hakim, jaksa, polisi, dan petugas lapas harus:
- memahami filosofi baru pemidanaan
- mampu menilai rehabilitasi secara objektif
- bekerja dengan standar etik yang tinggi
2. Sistem Pembinaan Terpidana Mati
Masa percobaan 10 tahun membutuhkan:
- fasilitas lapas yang memadai
- program rehabilitasi berkualitas
- evaluasi psikologis profesional
3. Komunikasi Publik
Pemerintah harus menjelaskan tujuan reformasi ini agar tidak memicu kesalahpahaman di masyarakat.
4. Pencegahan Intervensi Politik
Keputusan perubahan hukuman tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan eksternal.
Implikasi Sosial: Bagaimana Perubahan Ini Mempengaruhi Kehidupan Masyarakat?
Dengan pendekatan baru, masyarakat dapat memperoleh:
1. Jaminan Keamanan Publik
Pelaku kejahatan berat tetap diawasi ketat.
2. Keadilan bagi Korban
Keluarga korban tetap mendapatkan pengakuan bahwa negara tidak mengabaikan penderitaan mereka.
3. Sistem Hukum yang Lebih Manusiawi
Negara tidak gegabah dalam mencabut nyawa.
4. Ruang Rekonsiliasi
Model pemidanaan modern membuka peluang dialog antara pelaku dan korban (jika memungkinkan).
Masa Depan Hukuman Mati: Mengarah pada Penghapusan atau Transformasi?
Tren global mengarah pada pengurangan hukuman mati. Indonesia, dengan KUHP baru, mengambil langkah awal menuju:
- sistem pemidanaan restoratif
- penghormatan hak hidup
- penangguhan eksekusi
- penekanan pada rehabilitasi
Namun, negara tidak menghapus total hukuman mati. Sebaliknya, negara mengelola hukuman mati dalam kerangka yang lebih bijaksana, terukur, dan kemanusiaan.
Baca juga: Hak Asasi Manusia di Indonesia: Panduan Lengkap, Perlindungan & Aktivisme Generasi Muda
Menyatukan Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru
Dalam konteks Hukuman Mati dalam Sorotan: Menimbang Kemanusiaan dan Keadilan di Era KUHP Baru, Indonesia sedang berada di persimpangan penting sejarah hukum pidana. KUHP baru menghadirkan pendekatan yang mencoba menyeimbangkan dua nilai utama yang sering dianggap bertentangan: kemanusiaan dan keadilan.
Negara tidak lagi memandang hukuman mati sebagai vonis final yang harus segera dilaksanakan, tetapi sebagai proses panjang yang membuka ruang bagi evaluasi, pertobatan, dan rehabilitasi. Di sisi lain, negara tetap memberikan kepastian hukum bagi korban dan masyarakat bahwa kejahatan berat tidak akan diabaikan.
Pada akhirnya, keberhasilan pendekatan baru ini tidak hanya bergantung pada teks undang-undang, tetapi pada:
- kesiapan aparat
- kualitas lembaga pemasyarakatan
- transparansi proses hukum
- penerimaan masyarakat
Kemanusiaan dan keadilan bukanlah dua kutub yang harus saling meniadakan. Keduanya dapat berjalan berdampingan bila negara mampu mengelola hukuman mati dengan bijaksana, proporsional, dan menghormati martabat seluruh warga negara—baik korban, pelaku, maupun masyarakat luas.
KUHP baru menjadi cermin bahwa Indonesia sedang bergerak menuju sistem hukum yang lebih matang, reflektif, dan sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mengabaikan kebutuhan menghadirkan keadilan.
Ditulis oleh : Muhamad Naka Kaiser
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini tentang hukum, kebijakan publik, dan isu sosial di Indonesia.