Mengupas Tuntas Revisi UU TNI dan Demokrasi Indonesia: Antara Kebutuhan Zaman dan Ancaman Masa Lalu

FOKUS - Di tengah dinamika politik nasional, satu isu kembali mengemuka dan memantik perdebatan sengit: rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Wacana ini bukan sekadar pembahasan regulasi biasa. Ia menyentuh jantung dari salah satu pilar terpenting reformasi, yaitu hubungan antara sipil dan militer.
Bagi sebagian pihak, revisi ini adalah langkah adaptif yang niscaya untuk menjawab tantangan keamanan modern yang semakin kompleks. Namun, bagi sebagian lainnya, revisi ini ibarat membuka kotak pandora yang bisa membangkitkan kembali "hantu" masa lalu: dominasi militer dalam kehidupan bernegara.
Pertanyaan besarnya pun menggema di ruang publik: Apakah revisi UU TNI dan Demokrasi bisa berjalan beriringan? Ataukah langkah ini justru akan membawa Indonesia mundur, mengikis prinsip supremasi sipil yang telah susah payah diperjuangkan sejak 1998?
Artikel ini akan mengupas tuntas polemik tersebut secara mendalam, lugas, dan seimbang. Yuk, kita bedah bersama, mulai dari akar sejarahnya, poin-poin krusial yang diperdebatkan, hingga analisis dampaknya bagi masa depan demokrasi kita.
Flashback Sejarah: Mengapa Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Begitu Sensitif?
Untuk memahami mengapa isu ini begitu "panas", kita perlu menarik mundur jarum jam ke era sebelum reformasi. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia berada di bawah konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Mengenal Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru
Sederhananya, Dwifungsi ABRI adalah sebuah doktrin yang memberikan militer dua peran sekaligus:
- Fungsi Pertahanan dan Keamanan: Ini adalah peran tradisional militer di seluruh dunia, yaitu menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar.
- Fungsi Sosial-Politik: Inilah yang membuat militer Indonesia pada masa itu unik. ABRI diberi mandat untuk turut serta secara aktif dalam urusan pemerintahan, politik, dan sosial kemasyarakatan.
Dalam praktiknya, fungsi sosial-politik ini diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk:
- Jabatan Publik: Perwira militer aktif maupun purnawirawan menduduki posisi-posisi strategis di ranah sipil, mulai dari bupati, gubernur, duta besar, hingga menteri dan direktur BUMN.
- Perwakilan di Parlemen: ABRI memiliki fraksi sendiri di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang anggotanya diangkat, bukan dipilih melalui pemilu. Ini memberikan mereka pengaruh langsung dalam pembentukan undang-undang.
- Struktur Teritorial: Komando militer (Kodam, Korem, Kodim, Koramil) tersebar hingga ke tingkat kecamatan, memungkinkan mereka melakukan pengawasan dan intervensi dalam kehidupan masyarakat sipil.
Dampak dari Dwifungsi ABRI sangat signifikan. Di satu sisi, doktrin ini dianggap berhasil menjaga stabilitas politik selama Orde Baru. Namun di sisi lain, ia melahirkan pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan membatasi ruang demokrasi serta kebebasan sipil. Kekuasaan militer menjadi begitu dominan, dan batas antara urusan pertahanan dan urusan sipil menjadi sangat kabur.
Spirit Reformasi 1998 dan Lahirnya UU TNI No. 34 Tahun 2004
Tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membawa angin perubahan. Salah satu agenda utama reformasi adalah menghapuskan Dwifungsi ABRI dan mengembalikan militer ke barak. Tujuannya jelas: membangun tatanan negara yang demokratis dengan menegakkan supremasi sipil.
Supremasi sipil berarti kekuasaan politik berada di tangan pemimpin yang dipilih secara demokratis oleh rakyat (pemerintah sipil), dan militer berada di bawah kendali otoritas sipil tersebut.
Semangat inilah yang kemudian melahirkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Undang-undang ini menjadi tonggak sejarah yang secara fundamental mengubah posisi, peran, dan fungsi TNI:
- Fokus pada Pertahanan: Tugas pokok TNI dipertegas sebagai alat pertahanan negara, yaitu untuk menegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan.
- Penghapusan Peran Politik: TNI tidak lagi berpolitik praktis. Fraksi ABRI di DPR dihapus, dan anggota TNI aktif dilarang memilih maupun dipilih dalam pemilu.
- Di Bawah Otoritas Sipil: TNI berada di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, dan panglima TNI bertanggung jawab kepada Presiden. Ini adalah mekanisme kontrol sipil yang fundamental.
- Pembatasan Jabatan Sipil: Prajurit aktif hanya boleh menduduki jabatan sipil di instansi yang berkaitan langsung dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Lemhannas, Wantannas, dan BIN.
Lahirnya UU ini adalah sebuah kompromi historis dan pencapaian besar dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ia dirancang untuk memastikan TNI menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, modern, dan netral secara politik.
Di Balik Usulan Revisi UU TNI: Apa Saja Poin-Poin Krusial yang Diperdebatkan?
Kini, setelah dua dekade berlaku, UU No. 34 Tahun 2004 diusulkan untuk direvisi. Sejumlah draf telah beredar dan memicu perdebatan publik. Meskipun detailnya bisa berubah, beberapa poin secara konsisten menjadi sorotan utama karena dianggap berpotensi mengubah lanskap UU TNI dan Demokrasi yang sudah mapan.
Berikut adalah poin-poin krusial tersebut:
1. Perpanjangan Batas Usia Pensiun Prajurit
- Usulan: Merevisi Pasal 53 dengan menaikkan batas usia pensiun bagi perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun, dan bagi bintara/tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Ada juga usulan perpanjangan masa dinas bagi perwira tinggi (PATI) bintang empat hingga usia 65 tahun.
- Alasan Pendukung: Menjaga prajurit-prajurit berpengalaman agar bisa lebih lama mengabdi. Menyesuaikan dengan batas usia pensiun di institusi lain seperti Polri dan ASN.
- Kekhawatiran: Berpotensi menyebabkan "penumpukan" perwira di level menengah dan atas, yang dapat memperlambat regenerasi dan promosi. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan frustrasi internal di tubuh TNI.
2. Perluasan Jabatan Sipil untuk Prajurit Aktif
- Usulan: Merevisi Pasal 47 ayat (2) yang selama ini membatasi jabatan sipil yang bisa diduduki prajurit aktif. Draf revisi mengusulkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian/lembaga mana pun yang membutuhkan "tenaga dan keahlian prajurit", atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga tersebut dan persetujuan Presiden.
- Alasan Pendukung: Banyak prajurit memiliki keahlian spesifik (misalnya di bidang siber, logistik, medis) yang dibutuhkan oleh kementerian sipil. Ini juga dianggap sebagai solusi untuk menyalurkan perwira yang jumlahnya berlebih (surplus).
- Kekhawatiran: Ini adalah poin yang paling dikritik keras. Perluasan ini dianggap sebagai pintu belakang untuk kembalinya Dwifungsi ABRI gaya baru. Ia berisiko menciptakan militerisasi birokrasi, mengaburkan batas sipil-militer, dan merusak profesionalisme TNI serta jenjang karier ASN.
3. Perluasan Definisi dan Kewenangan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
- Usulan: Menambahkan dan memperluas jenis-jenis tugas yang masuk dalam kategori OMSP. Beberapa draf menyebutkan TNI bisa bertindak langsung untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata, terorisme, hingga ancaman siber, sering kali hanya dengan perintah langsung dari Presiden.
- Alasan Pendukung: TNI perlu lebih fleksibel dalam menghadapi ancaman non-tradisional yang semakin marak, seperti terorisme, spionase siber, dan bencana alam. Birokrasi yang panjang dianggap menghambat respons cepat.
- Kekhawatiran: Berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan dengan Kepolisian RI (Polri) yang merupakan penegak hukum di ranah sipil. Pelibatan TNI dalam isu keamanan dalam negeri tanpa mekanisme kontrol yang ketat (seperti keputusan politik negara) dikhawatirkan bisa mengarah pada pendekatan represif dan melanggar hak asasi manusia.
Dua Sisi Mata Uang: Membedah Argumen Pro dan Kontra Revisi UU TNI
Perdebatan mengenai revisi ini memunculkan dua kubu pandangan yang tajam. Memahaminya secara seimbang penting untuk melihat gambaran yang utuh.
Suara "Pro": Kebutuhan Adaptasi dan Tantangan Keamanan Modern
Pihak yang mendukung revisi, termasuk dari internal TNI dan sebagian kalangan pemerintah, berargumen bahwa perubahan ini adalah sebuah keniscayaan. Menurut mereka, lanskap ancaman global dan domestik telah berubah drastis sejak 2004.
- Ancaman Hibrida (Hybrid Threats): Perang modern tidak lagi hanya soal adu senjata di perbatasan. Ancaman kini datang dalam bentuk serangan siber yang bisa melumpuhkan infrastruktur vital, kampanye disinformasi yang merusak kohesi sosial, serta perang ekonomi dan proksi. TNI, menurut pandangan ini, perlu diberi payung hukum yang lebih kuat untuk menghadapi ancaman multidimensi ini.
- Efisiensi dan Respons Cepat: Dalam situasi darurat seperti serangan teroris skala besar atau bencana alam masif, kecepatan bertindak adalah kunci. Argumennya adalah, revisi ini dapat memotong jalur birokrasi yang berbelit sehingga TNI bisa dikerahkan lebih cepat untuk melindungi kepentingan nasional.
- Optimalisasi Sumber Daya Manusia: TNI memiliki banyak perwira dengan kualifikasi tinggi yang kariernya terhenti karena terbatasnya posisi struktural. Menempatkan mereka di kementerian sipil yang relevan dianggap sebagai cara untuk mengoptimalkan SDM tersebut, daripada membiarkan mereka "menganggur" atau pensiun dini.
Pandangan ini pada intinya melihat revisi UU TNI sebagai upaya modernisasi dan adaptasi, bukan sebuah kemunduran demokrasi.
Suara "Kontra": Hantu Dwifungsi dan Alarm Mundurnya Demokrasi
Di sisi lain, koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis HAM menyuarakan penolakan keras. Mereka melihat revisi ini bukan sebagai modernisasi, melainkan sebagai regresi yang mengancam pilar-pilar demokrasi.
- Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI: Perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif dilihat sebagai upaya sistematis untuk melegalkan kembali peran militer di ranah politik dan pemerintahan. Ini akan mengaburkan batas tegas antara domain sipil dan militer yang menjadi esensi dari supremasi sipil.
- Melemahkan Profesionalisme TNI: Jika prajurit aktif terlalu banyak berkecimpung di urusan sipil, fokus mereka sebagai kekuatan pertahanan bisa terganggu. Profesionalisme TNI yang seharusnya diukur dari kemampuan tempur dan penguasaan alutsista modern, bisa terdegradasi karena sibuk dengan tugas-tugas birokrasi.
- Potensi Represi dan Pelanggaran HAM: Pelibatan TNI dalam urusan keamanan dalam negeri yang seharusnya menjadi domain polisi sangat berisiko. TNI dilatih untuk bertempur dan menghadapi musuh (combatant), bukan untuk menghadapi warga sipil dengan pendekatan penegakan hukum (hukum dan ketertiban). Pendekatan militeristik dalam penanganan masalah sosial-politik bisa berujung pada pelanggaran kebebasan sipil dan HAM.
- Proses yang Tertutup: Para kritikus juga menyoroti proses pembahasan revisi yang dinilai minim transparansi dan partisipasi publik. Mereka menyebutnya sebagai contoh “abusive law making” di mana undang-undang yang sangat krusial dibuat secara terburu-buru tanpa melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas.
Bagi kubu kontra, menjaga UU TNI dan Demokrasi berarti mempertahankan esensi dari UU No. 34 Tahun 2004, bukan malah membukanya untuk interpretasi yang bisa mengembalikan Indonesia ke era otoritarianisme.
Analisis Mendalam: Dampak Potensial Revisi UU TNI terhadap Demokrasi Indonesia
Jika revisi ini disahkan dengan poin-poin kontroversial di dalamnya, apa saja dampak nyata yang bisa kita rasakan sebagai sebuah bangsa yang demokratis?
- Erosi Supremasi Sipil: Ini adalah risiko terbesar. Ketika militer menduduki banyak pos sipil dan memiliki kewenangan otonom dalam operasi domestik, kontrol dari otoritas sipil (Presiden, DPR, dan Kementerian Pertahanan) secara de facto akan melemah. Keputusan-keputusan strategis negara bisa jadi lebih diwarnai oleh perspektif keamanan militer ketimbang pertimbangan politik yang demokratis.
- Politisasi Militer: Penempatan perwira aktif di berbagai kementerian akan menyeret mereka ke dalam pusaran politik praktis. Mereka harus berinteraksi dengan partai politik, kelompok kepentingan, dan dinamika birokrasi yang kental nuansa politis. Hal ini sangat berbahaya bagi netralitas TNI sebagai alat negara.
- Menyempitnya Ruang Kebebasan Sipil: Kehadiran militer yang masif di ranah sipil dapat menciptakan chilling effect atau efek gentar di masyarakat. Kritik terhadap pemerintah bisa dianggap sebagai ancaman keamanan. Aktivisme dan kebebasan berekspresi yang menjadi napas demokrasi bisa terancam oleh pendekatan keamanan yang represif.
- Disrupsi Sistem Peradilan: Jika TNI diberi kewenangan penindakan langsung dalam kasus terorisme atau kejahatan lainnya di ranah sipil, akan timbul kebingungan hukum. Siapa yang berwenang menyidik? Pengadilan mana yang akan mengadili? Ini berpotensi merusak sistem peradilan pidana yang sudah ada dan melemahkan peran Polri sebagai penegak hukum utama.
Mencari Jalan Tengah: Mungkinkah Revisi UU TNI Selaras dengan Demokrasi?
Di tengah pertarungan dua pandangan ini, pertanyaan pentingnya adalah: apakah setiap upaya revisi UU TNI pasti anti-demokrasi? Belum tentu. Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan ancaman baru memang nyata. Namun, kuncinya terletak pada bagaimana revisi itu dirumuskan dan batasan apa yang ditetapkan.
Sebuah revisi yang ideal dan pro-demokrasi harus berpegang pada prinsip-prinsip berikut:
- Mempertegas Batasan Sipil-Militer: Alih-alih memperluasnya, revisi seharusnya justru memperjelas dan mempertegas garis demarkasi antara tugas pertahanan (domain TNI) dan tugas ketertiban umum (domain Polri).
- Pengawasan Demokratis yang Ketat: Setiap pelibatan TNI dalam OMSP, terutama yang bersinggungan dengan ranah sipil, harus melalui mekanisme "keputusan politik negara" yang melibatkan persetujuan eksplisit dari Presiden dan DPR. Tidak boleh ada pengerahan pasukan hanya berdasarkan perintah atasan.
- Fokus pada Penguatan Kapasitas Pertahanan Eksternal: Revisi seharusnya lebih berfokus pada bagaimana menjadikan TNI sebagai kekuatan pertahanan yang disegani di kawasan, misalnya melalui modernisasi alutsista, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan penguatan doktrin perang modern, bukan malah menariknya ke urusan domestik.
- Transparansi dan Partisipasi Publik: Proses perumusan revisi harus dibuka seluas-luasnya. Melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan para ahli akan memperkaya substansi dan memastikan undang-undang yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan bangsa, bukan kepentingan segelintir elite.
Kesimpulan: Arah Persimpangan UU TNI dan Demokrasi Indonesia
Polemik revisi UU TNI menempatkan Indonesia di sebuah persimpangan krusial. Sejarah telah memberi kita pelajaran berharga bahwa dominasi militer dalam politik akan melemahkan demokrasi, membungkam partisipasi publik, dan mengikis kebebasan. Spirit reformasi 1998 adalah untuk mengakhiri itu semua.
Revisi ini bukanlah sekadar perubahan pasal per pasal. Ini adalah pertaruhan fundamental tentang arah masa depan bangsa. Apakah kita akan terus melaju di jalan demokrasi yang telah kita rintis dengan menegaskan supremasi sipil, atau kita akan mengambil jalan memutar kembali ke masa lalu di mana batas antara tentara dan politisi menjadi kabur?
Tantangan utamanya bukan terletak pada "apakah UU TNI perlu direvisi atau tidak", melainkan "bagaimana revisi tersebut dirancang dan untuk tujuan apa". Jika revisi dilakukan dengan hati-hati, transparan, dan tetap memegang teguh prinsip TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional di bawah kontrol otoritas sipil, ia bisa menjadi penguat.
Namun, jika revisi justru melonggarkan kontrol dan membuka kembali pintu bagi militer untuk masuk ke ranah sipil, maka ini adalah alarm bahaya bagi kesehatan UU TNI dan Demokrasi Indonesia. Jawabannya akan ditentukan oleh komitmen para pembuat kebijakan dan kewaspadaan kita semua sebagai warga negara dalam mengawal proses ini.

Ditulis oleh : Alifia Namira Anjani
Mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.