Mengelola Keseimbangan antara Teknologi dan Otentikasi dalam Komunikasi Politik
SERANG, FOKUS.CO.ID - Komunikasi politik telah menjadi salah satu elemen paling penting dalam sistem demokrasi. Di tengah transformasi digital yang terus berkembang, komunikasi politik kini menghadapi tantangan baru yang menguji otentisitas dan integritasnya. Dalam artikel ini, Shafira Rahma akan membahas bagaimana teknologi memengaruhi komunikasi politik, tantangan yang muncul, dan solusi untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat dan dapat dipercaya.Gambar Ilustrasi: Mengelola Keseimbangan antara Teknologi dan Otentikasi dalam Komunikasi Politik
Apa Itu Komunikasi Politik?
Komunikasi politik adalah proses pertukaran informasi, ide, dan opini yang berhubungan dengan distribusi kekuasaan, pembuatan kebijakan publik, serta isu-isu yang memengaruhi masyarakat. Sejak zaman kuno hingga era digital, komunikasi politik terus berevolusi, mulai dari retorika di agora Yunani hingga interaksi dua arah di media sosial saat ini.
Sejarah Singkat Komunikasi Politik di Indonesia
Tradisi Musyawarah dan Mufakat: Pada masa awal, komunikasi politik di Indonesia berakar pada budaya musyawarah. Pertemuan adat menjadi forum utama untuk membahas masalah publik.
Peran Media Massa: Dengan hadirnya surat kabar, radio, dan televisi, komunikasi politik menjadi lebih terstruktur. Pada era Orde Baru, media massa digunakan untuk menjaga stabilitas politik dan menyebarkan narasi pembangunan.
Era Digital dan Reformasi: Reformasi membuka ruang kebebasan pers, yang diperkuat dengan kemunculan teknologi digital seperti komputer dan internet. Hal ini mengubah cara masyarakat mengakses informasi dan berpartisipasi dalam diskusi politik.
Era Digital: Peluang dan Tantangan Baru
Transformasi digital membuka pintu untuk partisipasi yang lebih inklusif, tetapi juga membawa berbagai tantangan, termasuk disinformasi, polarisasi opini, dan manipulasi opini publik.
1. Disinformasi dan Misinformasi
Era digital mempermudah akses informasi, tetapi juga memungkinkan penyebaran disinformasi (informasi salah yang sengaja disebarkan untuk tujuan tertentu) dan misinformasi (informasi salah yang disebarkan tanpa niat buruk). Fenomena ini mengikis kepercayaan publik terhadap media, pemerintah, dan lembaga lainnya.
Faktor Penyebab Disinformasi:
Kurangnya Verifikasi Informasi: Banyak individu menyebarkan informasi tanpa memastikan kebenarannya.
Bias Kognitif: Orang cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Minimnya Literasi Digital: Literasi digital yang rendah membuat masyarakat lebih rentan terhadap hoaks.
2. Polarisasi dan Echo Chamber
Media sosial menggunakan algoritma untuk menyesuaikan konten berdasarkan preferensi pengguna. Akibatnya, pengguna hanya melihat pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka, yang menciptakan echo chamber.
Dampak Polarisasi:
Mengurangi empati terhadap pandangan berbeda.
Memperburuk konflik sosial, terutama di negara majemuk seperti Indonesia.
Menghambat dialog konstruktif.
3. Manipulasi Opini Publik
Peran buzzer dan influencer dalam komunikasi politik semakin besar. Meski keduanya dapat membantu menyebarkan pesan politik, penggunaan yang tidak etis sering kali mengganggu wacana publik.
Buzzer: Kelompok yang menyebarkan informasi dalam skala besar untuk kepentingan tertentu, sering kali menciptakan ilusi dukungan publik.
Influencer: Figur publik dengan banyak pengikut yang memiliki kekuatan untuk membentuk opini, meskipun sering kali tanpa pemahaman mendalam.
Mengatasi Tantangan di Era Digital
Untuk memastikan komunikasi politik tetap otentik dan mendukung demokrasi, beberapa langkah strategis perlu diterapkan:
1. Meningkatkan Literasi Digital
Mengadakan penyuluhan tentang cara memverifikasi informasi dan mengenali hoaks.
Memahami cara kerja algoritma media sosial.
2. Peran Media Massa
Media harus menyajikan informasi yang akurat dan berimbang.
Aktif dalam melakukan fact-checking sebelum menyebarkan berita.
3. Pengawasan Platform Digital
Platform media sosial perlu mendeteksi dan menghapus konten yang mengandung disinformasi.
Memprioritaskan informasi yang telah diverifikasi faktanya.
4. Penegakan Hukum
Memberikan sanksi tegas kepada pelaku penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian.
5. Kolaborasi Masyarakat Sipil
Organisasi masyarakat dapat membantu meningkatkan kesadaran publik dan menyebarkan informasi yang akurat.
Implikasi Terhadap Demokrasi
Tantangan seperti disinformasi, polarisasi, dan manipulasi opini dapat mengancam fondasi demokrasi. Kepercayaan publik terhadap institusi politik menurun, yang pada akhirnya mengurangi legitimasi pemerintah dan partisipasi politik.
Untuk mengatasi hal ini, perlu ada upaya kolektif yang mencakup:
Memerangi disinformasi secara sistematis.
Mendorong literasi digital.
Membangun lingkungan informasi yang aman dan bertanggung jawab.
Kesimpulan
Komunikasi politik di Indonesia telah berkembang pesat, terutama dengan kemajuan teknologi digital. Meski membawa banyak manfaat, digitalisasi juga menghadirkan tantangan serius yang harus diatasi. Shafira Rahma percaya bahwa masa depan komunikasi politik di Indonesia bergantung pada bagaimana semua pihak – pemerintah, media, platform digital, dan masyarakat – bekerja sama untuk menciptakan ekosistem informasi yang otentik, sehat, dan mendukung demokrasi.
Dengan literasi digital yang lebih baik dan peran aktif dari berbagai elemen masyarakat, komunikasi politik Indonesia dapat menjadi lebih inklusif, transparan, dan mendukung demokrasi yang kuat di masa depan.
Penulis : Shafira Rahma, Mahasiswa Semester 3 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2024.