Tembok Feodalisme di Pesantren: Krisis Moral dan Urgensi Reaktualisasi Pancasila

Tembok Feodalisme di Pesantren: Krisis Moral dan Urgensi Reaktualisasi Pancasila

Pembahasan tentang Tembok Feodalisme di Pesantren: Krisis Moral dan Urgensi Reaktualisasi Pancasila semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini terlihat jelas seiring banyaknya praktik yang dipertanyakan publik, terutama ketika tradisi penghormatan kepada guru berubah menjadi relasi yang tidak setara dan mengekang kebebasan intelektual santri.

Pesantren selama ini dipandang sebagai pusat pendidikan akhlak, tetapi sebagian praktik sosial di dalamnya mulai dipertanyakan karena dianggap menyimpang dari nilai kemanusiaan dan keadilan yang dijunjung tinggi Pancasila.

Feodalisme inilah yang kini menjadi sorotan.


Makna Feodalisme yang Sering Salah Dipahami

Feodalisme tidak sekadar soal hormat pada guru. Istilah ini sering dipakai terlalu longgar sehingga maknanya kabur. Dalam konteks pendidikan Islam, feodalisme muncul ketika relasi kuasa berjalan tidak sehat dan penghormatan berubah menjadi pengkultusan.

Mencium tangan guru atau mengikuti arahan tidak otomatis menunjukkan hierarki menindas. Masalah muncul ketika:

  • posisi guru dianggap selalu benar,
  • kritik dianggap pembangkangan,
  • santri diarahkan bersikap patuh tanpa ruang dialog,
  • struktur kekuasaan lebih dominan dibanding nilai pendidikan.

Ketika itu terjadi, hubungan mulia antara guru dan murid berubah menjadi relasi subordinatif yang mematikan perkembangan intelektual.


Fenomena Feodalisme di Pesantren: Dari Tradisi ke Penyimpangan

Beberapa contoh yang viral di media sosial memperlihatkan bagaimana batas antara adab dan feodalisme semakin tipis. Misalnya:

  • Santri berjalan jongkok di depan guru.
  • Pengkultusan figur guru secara berlebihan.
  • Larangan mengkritik meski ada ketimpangan kebijakan.

Sebagian orang menilai hal ini masih wajar sebagai bentuk adab. Namun ketika praktik tersebut merendahkan martabat atau menghilangkan kebebasan berpikir, maka ia tak bisa lagi dibenarkan.

Di titik inilah Tembok Feodalisme di Pesantren: Krisis Moral dan Urgensi Reaktualisasi Pancasila menjadi relevan dan mendesak untuk dibahas.


Akar Masalah Feodalisme di Pesantren

Budaya feodal tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari kombinasi berbagai faktor.

Pertama, tradisi yang dibawa turun-temurun.
Sistem hierarki pada masa kerajaan tertanam kuat dalam struktur sosial. Ketika masuk ke dunia pendidikan, sebagian nilai tersebut terbawa tanpa adaptasi modern.

Kedua, pemahaman keliru tentang adab.
Adab dihormati, tetapi sering dipelintir menjadi tameng absolut yang membungkam kritik.

Ketiga, kurangnya aktualisasi nilai Pancasila.
Pancasila diajarkan, tetapi tidak diinternalisasi. Akibatnya, kesepadanan antara nilai agama, tradisi, dan nilai kebangsaan tidak terbentuk.

Ketika ketiga faktor ini bertemu, budaya feodal mengakar dan sulit dihilangkan.


Praktik Feodalisme yang Bertentangan dengan Pancasila

Jika dibaca melalui lensa Pancasila, sejumlah perilaku feodal jelas melanggar prinsip dasar bangsa.

1. Sila ke-2 — Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Feodalisme menempatkan manusia pada derajat yang tidak setara.
Martabat yang harusnya sejajar menjadi terdistorsi oleh hierarki berlebihan.

2. Sila ke-4 — Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Di banyak pesantren, santri tidak bebas menyampaikan aspirasi.
Keputusan diambil sepihak oleh pimpinan.
Tidak ada musyawarah, tidak ada ruang dialog.

3. Sila ke-5 — Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ketidakadilan muncul ketika posisi istimewa diberikan bukan karena prestasi, tetapi garis keturunan atau kedekatan dengan guru.

Semua praktik itu bertentangan dengan nilai keadilan yang menjadi roh Pancasila.


Mengapa Reaktualisasi Pancasila Menjadi Mendesak?

Pancasila sering diperlakukan sebagai dokumen formal—diucapkan tapi tidak dihidupi. Padahal justru di lembaga pendidikan, nilai ini seharusnya menjadi kompas moral yang menjaga relasi sosial tetap sehat.

Tanpa reaktualisasi, budaya feodal akan terus berkembang.

Pancasila bukan sekadar teks.
Ia adalah nilai-nilai yang menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat, menolak penindasan, dan mengajak masyarakat berpikir rasional serta kritis.

Dalam konteks pesantren, reaktualisasi Pancasila berarti:

  • penghormatan tetap ada,
  • hierarki tidak membunuh kebebasan berpikir,
  • guru dihormati karena keteladanannya, bukan kekuasaannya.

Solusi Nyata untuk Mengikis Budaya Feodal di Pesantren

Perubahan budaya tidak cukup dengan aturan tertulis.
Ia harus lahir dari kesadaran, pendidikan karakter, dan ruang dialog.

Berikut solusi konkret yang dapat dilakukan:

1. Forum “Berani Bicara!”

Diskusi rutin yang melatih santri untuk menyampaikan pendapat secara rasional.
Tujuannya membiasakan dialog sehat tanpa rasa takut dianggap melawan guru.

2. Komunitas “Kita Setara”

Wadah kreatif untuk mengembangkan argumen secara setara tanpa senioritas.
Ketika semua suara dihargai, hierarki ekstrem otomatis terkikis.

3. Optimalisasi Media Sosial untuk Edukasi

Gen Z sangat terpengaruh media digital.
Karena itu, konten edukatif tentang anti-feodalisme bisa dikemas lewat:

  • podcast santai,
  • short video,
  • film pendek yang memotret budaya feodal secara satire,
  • storytelling yang relatable.

Media digital adalah senjata moral paling efektif untuk generasi hari ini.


Pancasila sebagai Benteng Moral Bangsa dan Penjaga Ruang Pendidikan

Ketika relasi guru-murid berubah menjadi kultus kekuasaan, nilai luhur pendidikan Islam terancam hilang. Wibawa guru seharusnya lahir dari teladan, bukan rasa takut.

Pancasila mengingatkan bahwa:

  • manusia setara dalam martabat,
  • musyawarah harus diutamakan,
  • keadilan sosial tidak boleh dikalahkan oleh tradisi,
  • pendidikan adalah ruang kemerdekaan berpikir.

Jika Pancasila dihidupkan kembali, pesantren bisa menjadi ruang yang memanusiakan manusia tanpa kehilangan tradisi adab dan penghormatan.


Kesimpulan: Memecah Tembok Feodalisme Melalui Pendidikan Moral

Tembok Feodalisme di Pesantren: Krisis Moral dan Urgensi Reaktualisasi Pancasila bukan sekadar isu internal pesantren. Ini masalah bangsa. Karena pendidikan adalah akar karakter generasi mendatang.

Reaktualisasi Pancasila adalah jalan paling realistis untuk melahirkan santri yang berilmu, kritis, berakhlak, dan bebas dari dominasi feodal.

Wibawa sejati tidak lahir dari posisi, tetapi dari kebijaksanaan.
Penghormatan yang benar tidak lahir dari paksaan, tetapi dari keteladanan.

Pesantren yang kembali pada nilai Pancasila akan menjadi tempat yang mendidik manusia secara utuh—berilmu, bermartabat, dan merdeka dari hubungan sosial yang menindas.

Foto Mutiara Dwi Salsabila

Ditulis oleh : Mutiara Dwi Salsabila

Mahasiswa Ilmu Komunikasi – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini terkait komunikasi, media, dan isu sosial.

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.