Penyalahgunaan Wewenang Pendamping Sosial PKH: Pemerasan & Pungli terhadap Penerima Bansos

Penyalahgunaan wewenang oleh pendamping sosial PKH dalam tindak pidana pemerasan dan pungutan liar terhadap penerima bantuan sosial menjadi persoalan serius yang terus muncul di berbagai daerah. Di tengah upaya pemerintah memperkuat jaminan sosial, justru ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat dan kesulitan ekonomi KPM (Keluarga Penerima Manfaat) untuk mencari keuntungan pribadi. Fenomena ini bukan hanya merugikan penerima PKH, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga sosial, menghambat distribusi bantuan, dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Untuk memahami persoalan ini secara utuh, artikel ini mengulas peran pendamping sosial, bentuk penyimpangan yang terjadi, dasar hukum pemidanaan, hingga solusi yang dapat dilakukan masyarakat dan pemerintah.
I. Latar Belakang Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu program perlindungan sosial terbesar di Indonesia. Diluncurkan pada tahun 2007, PKH dirancang sebagai program bantuan sosial bersyarat (conditional cash transfer) untuk membantu rumah tangga miskin agar dapat memenuhi kebutuhan dasar, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.
Tujuan utama PKH mencakup:
- Mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin
- Meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan
- Memutus rantai kemiskinan antar-generasi
- Meningkatkan kualitas hidup kelompok rentan: seperti ibu hamil, lansia, balita, dan penyandang disabilitas
Dalam implementasinya, PKH mengandalkan jaringan pendamping sosial yang bertugas menghubungkan pemerintah dengan masyarakat penerima. Namun, pada titik inilah berbagai penyimpangan berpotensi terjadi.
Selama beberapa tahun terakhir, laporan mengenai pemotongan dana bansos, pungutan liar berkedok “uang terima kasih”, serta intimidasi untuk menyerahkan sebagian bantuan semakin sering ditemukan. Kondisi ini menunjukkan adanya celah besar antara tujuan mulia program PKH dan realitas di lapangan.
II. Peran Penting Pendamping Sosial PKH
Pendamping sosial PKH merupakan garda terdepan dalam pelaksanaan bantuan sosial. Mereka memiliki peran kunci dalam memastikan penerima manfaat memperoleh haknya sesuai ketentuan.
1. Kedudukan dan Fungsi Pendamping PKH
Secara struktural, pendamping berada di bawah Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) di tingkat kabupaten/kota. Mereka menjadi “jembatan” informasi antara pemerintah dan masyarakat.
Tugas mereka bukan hanya administratif, tetapi juga edukatif dan sosial:
- Mengedukasi KPM tentang penggunaan dana bantuan
- Menginformasikan jadwal pencairan
- Memvalidasi data penerima
- Menjadi perwakilan pemerintah dalam komunikasi tingkat kecamatan/desa
2. Tugas Pendamping Sesuai Kepmen 592/2017
Berdasarkan KM No. 592/SK/PFM.PPK PAN.2/12/2017, tugas pendamping meliputi:
a. Mengkoordinasikan verifikasi dan validasi KPM
b. Melaksanakan edukasi dan sosialisasi pelaksanaan bantuan pangan
c. Mengkoordinasikan registrasi penerima KKS
d. Memantau penyaluran bansos
e. Membuat laporan kepada dinas sosial dan Kemensos
Tugas tersebut menegaskan bahwa pendamping tidak memiliki hak memungut biaya, memotong dana, atau meminta imbalan dalam bentuk apa pun.
Namun dalam praktiknya, sebagian kecil oknum pendamping menggunakan kedekatan mereka dengan KPM untuk melakukan penyimpangan.
III. Bentuk-Bentuk Penyalahgunaan Wewenang oleh Pendamping PKH
Kasus penyalahgunaan wewenang pendamping PKH muncul dalam berbagai bentuk. Berikut adalah bentuk yang paling sering dilaporkan.
1. Pemotongan Dana Bantuan
Ini adalah bentuk penyimpangan yang paling umum.
Modusnya:
- Pendamping meminta sejumlah uang setelah pencairan PKH.
- Pendamping memotong langsung saat mendampingi proses pencairan.
- Pendamping berdalih bahwa itu “biaya administrasi”.
Padahal, tidak ada satu pun regulasi yang membenarkan pemotongan dana PKH.
2. Pungutan Berkedok “Uang Terima Kasih”
Oknum pendamping biasanya menggunakan kalimat seperti:
- “Ini untuk biaya transport.”
- “Ini untuk jasa pendampingan.”
- “Ini sudah biasa dilakukan.”
KPM yang merasa sungkan atau takut sering kali menyerahkan uang tanpa bertanya lebih jauh, sehingga praktik ilegal ini terus berulang.
3. Intimidasi dan Ancaman Penghapusan dari DTKS
Salah satu modus yang paling meresahkan adalah ancaman:
“Kalau tidak mau memberikan uang, nanti nama ibu/bapak saya hapus dari daftar PKH.”
Faktanya:
- Pendamping tidak punya kewenangan apa pun untuk menghapus nama seseorang dari DTKS atau PKH.
- Penghapusan hanya bisa dilakukan melalui musyawarah desa, verifikasi UPPKH, dan keputusan Kemensos.
Ketidaktahuan KPM dimanfaatkan oleh oknum untuk memeras.
4. Manipulasi Informasi Pencairan
Bentuknya mulai dari:
- Menahan kartu KKS
- Memberi informasi palsu soal nilai pencairan
- Mengatur jadwal pencairan agar bisa meminta uang
Semua tindakan tersebut sudah termasuk penyalahgunaan wewenang.
5. Pemerasan dengan Ancaman dan Tekanan Psikologis
Pemerasan muncul ketika:
- Oknum menggunakan ancaman
- Menekan KPM untuk membayar
- Menggunakan kekuasaannya sebagai “wakil pemerintah”
Ini bukan hanya pungli biasa, tetapi tindak pidana serius.
IV. Penjelasan Hukum: Pungli dan Pemerasan
Untuk memahami seberapa berat konsekuensi hukum dari tindakan tersebut, berikut adalah penjelasan pasal yang relevan.
1. Pungutan Liar (Pungli)
Pungli adalah pungutan yang tidak ada dasar hukumnya, biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki posisi tertentu.
Dalam konteks PKH, pungli terjadi ketika pendamping meminta uang kepada KPM tanpa ketentuan resmi.
2. Pemerasan
Pemerasan adalah tindakan memaksa seseorang memberikan uang atau barang melalui ancaman, tekanan, atau kekerasan.
Dasar Hukumnya:
• Pasal 12 huruf (e) UU Tipikor (UU No. 20/2001)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang:
“dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu...”
Ancaman pidananya:
- Penjara seumur hidup, atau
- 4–20 tahun penjara, dan
- Denda Rp200 juta – Rp1 miliar
Pendamping PKH yang mendapatkan honor dari APBN bisa masuk kategori “pegawai negeri atau penyelenggara negara” dalam konteks tipikor.
3. Pasal Pemerasan dalam KUHP
• Pasal 368 KUHP lama
Pemerasan dengan ancaman → pidana penjara maksimum 9 tahun.
• Pasal 482 KUHP baru
Memperkuat ketentuan sebelumnya.
Jika ada unsur kekerasan, sanksi bisa lebih berat lagi.
V. Mengapa Penyalahgunaan Ini Terjadi? (Analisis Sosial)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan tindakan ilegal ini dapat berlangsung lama tanpa pelaporan.
1. Minimnya Literasi Hukum Masyarakat
Banyak KPM tidak mengetahui:
- Hak penerimaan penuh
- Prosedur resmi penyaluran bansos
- Siapa yang berwenang menghapus dari DTKS
- Jalur pelaporan
Keterbatasan pengetahuan ini membuka ruang bagi oknum untuk berbuat semena-mena.
2. Ketergantungan Ekonomi KPM
Sebagian KPM sangat bergantung pada dana PKH untuk kebutuhan:
- Makanan
- Pendidikan anak
- Kesehatan
- Kebutuhan sehari-hari
Takut kehilangan bantuan membuat mereka memilih diam.
3. Budaya Takut dan Segan terhadap Pendamping
Pendamping dianggap “wakil pemerintah”.
Sikap ini memunculkan ketakutan bahwa melapor akan memperburuk keadaan.
4. Lemahnya Pengawasan di Daerah
Di beberapa daerah:
- Sistem supervisi tidak ketat
- Laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti
- Tidak ada audit publik
Akibatnya oknum merasa aman.
5. Normalisasi Praktik Pungli
Karena berlangsung lama, masyarakat menganggap pungli sebagai:
- “Sudah biasa”
- “Wajar”
- “Semua pendamping memang begitu”
Padahal ini adalah pelanggaran berat.
VI. Dampak Pemerasan terhadap KPM
Dampaknya bukan hanya soal kehilangan uang, tetapi juga menyangkut psikologis dan hak sosial.
1. Pengurangan Manfaat Bansos
Uang yang seharusnya:
- Membantu pendidikan
- Membantu biaya kesehatan
- Menjawab kebutuhan pokok
justru pindah ke tangan oknum.
2. Hilangnya Rasa Aman dan Kepercayaan
KPM menjadi takut berhubungan dengan pendamping sosial.
3. Trauma dan Ketakutan Berlebih
Ancaman penghapusan PKH membuat KPM hidup dalam kecemasan.
4. Dampak pada Anak dan Perempuan
Dampak langsung pada:
- Anak sekolah penerima PKH
- Ibu hamil dan menyusui
- Lansia
Mereka kehilangan hak untuk mendapatkan bantuan maksimal.
VII. Hak-Hak KPM yang Wajib Dilindungi
1. Hak Menerima Dana Secara Penuh
Tanpa potongan.
2. Hak Mendapat Informasi Resmi
Tentang nilai bantuan, jadwal pencairan, dan aturan program.
3. Hak Bebas dari Tekanan dan Paksaan
Tidak boleh diperas, diancam, atau ditakuti.
4. Hak Melaporkan Oknum
Ke dinas sosial, kepolisian, hingga KPK.
VIII. Apakah Pendamping Bisa Menghapus Nama dari DTKS?
Tidak bisa.
Pendamping hanya bisa:
- Mengusulkan perubahan
- Mengumpulkan data
Sementara keputusan akhir diambil oleh:
- Pemerintah desa
- Dinas Sosial
- Kementerian Sosial
- Sistem DTKS pusat
Jadi, ancaman penghapusan adalah modus pemerasan.
IX. Mekanisme Pelaporan dan Perlindungan Hukum
Jika KPM mengalami pemotongan dana, pemerasan, atau pungli, berikut langkah yang bisa dilakukan:
1. Kumpulkan Bukti
- Rekaman suara
- Chat WhatsApp
- Foto atau video
- Saksi
- Bukti transfer/pemotongan
2. Laporkan ke Instansi Berikut
- Dinas Sosial Kabupaten/Kota
- Kepolisian (SPKT Polsek/Polres)
- Inspektorat Daerah
- Kemensos RI melalui layanan resmi
- KPK jika ada unsur korupsi
3. Perlindungan Pelapor (Whistleblower)
Berdasarkan Pasal 15 huruf a UU KPK, pelapor berhak mendapat:
- Perlindungan identitas
- Perlindungan hukum
- Pendampingan aparat
- Evakuasi jika diperlukan
X. Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Wewenang
Untuk mencegah kasus berulang, beberapa upaya dapat dilakukan:
1. Digitalisasi Proses Penyaluran
Semakin sedikit kontak fisik antara pendamping dan uang, semakin kecil peluang pungli.
2. Peningkatan Transparansi Informasi
KPM perlu diberi info:
- Nilai bantuan
- Jadwal pencairan
- Mekanisme program
- Nomor pengaduan resmi
Transparansi mengurangi ruang manipulasi.
3. Penguatan Pengawasan Internal
UPPKH dan Dinsos harus melakukan:
- Audit berkala
- Evaluasi kinerja pendamping
- Penindakan terhadap temuan
4. Edukasi kepada Masyarakat
Pelatihan hukum sederhana dapat menekan angka pungli.
XI. Rekomendasi Kebijakan
Untuk Kementerian Sosial
- Perketat rekrutmen pendamping
- Perbaiki sistem aduan berbasis digital
- Berikan sanksi administratif tegas
Untuk Pemerintah Daerah
- Perkuat monitoring kecamatan/desa
- Lakukan investigasi jika ada laporan dari warga
Untuk Pendamping Sosial
- Memegang teguh etika profesi
- Mengutamakan integritas
- Menjauhi praktik pungli
Untuk Masyarakat/KPM
- Jangan takut melapor
- Simpan bukti
- Pahami hak-hak bansos
XII. Kesimpulan
Penyalahgunaan wewenang oleh pendamping sosial PKH dalam tindak pidana pemerasan dan pungutan liar terhadap penerima bantuan sosial merupakan persoalan serius yang harus dihentikan. Bantuan sosial adalah hak penuh KPM, dan tidak satu pun pihak berhak memotong, memungut, atau menekan mereka untuk membayar.
Kasus pungli dan pemerasan bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merupakan tindak pidana yang dapat dijerat hukum berat, termasuk UU Tipikor. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui hak-haknya, memahami proses bansos, dan berani melapor jika menemukan penyalahgunaan.
Pemerintah, pendamping sosial, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bansos tepat sasaran, bersih dari pungli, serta benar-benar membantu keluarga miskin mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
FAQ: Penyalahgunaan Wewenang oleh Pendamping Sosial PKH dalam Tindak Pidana Pemerasan dan Pungutan Liar
1. Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang oleh pendamping sosial PKH?
Penyalahgunaan wewenang terjadi ketika pendamping PKH menggunakan posisi dan otoritasnya untuk meminta uang, memaksa, atau mengambil sebagian dana bantuan sosial (bansos) dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Praktik ini melanggar hukum dan merugikan hak penerima bantuan.
2. Apakah pungutan liar (pungli) terhadap penerima PKH termasuk tindak pidana?
Ya. Pungli merupakan tindakan yang melanggar hukum. Jika dilakukan oleh aparat negara atau pendamping sosial yang bertugas atas nama negara, maka dapat dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi.
3. Apa dasar hukum pemerasan terhadap penerima bantuan sosial?
Pemerasan dapat dijerat Pasal 368 KUHP lama atau Pasal 482 KUHP baru. Jika pelaku adalah aparat negara, maka berlaku Pasal 12 huruf (e) UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Apa saja tugas resmi pendamping sosial PKH berdasarkan regulasi?
Tugas pendamping sosial antara lain melakukan verifikasi KPM, edukasi program, pemantauan penyaluran bantuan, registrasi KKS, serta membuat laporan resmi kepada Dinas Sosial dan Kemensos. Tidak ada kewajiban bagi KPM untuk memberi imbalan uang kepada pendamping.
5. Jika pendamping meminta uang dengan alasan “uang terima kasih”, apakah itu dibolehkan?
Tidak. Segala bentuk pemberian yang diminta, dipaksa, disyaratkan, atau dipungut oleh pendamping PKH adalah tindakan ilegal, meskipun disebut “uang terima kasih”.
6. Apakah pendamping PKH memiliki hak untuk memotong dana bantuan?
Tidak sama sekali. Dana bansos PKH harus diterima KPM secara penuh. Pendamping hanya berperan mengawasi dan memfasilitasi, bukan menarik, mengelola, atau memotong bantuan.
7. Apakah pendamping PKH bisa menghapus nama KPM dari DTKS?
Tidak. Pendamping tidak memiliki wewenang menghapus, menonaktifkan, atau mengeluarkan nama KPM dari DTKS secara sepihak. Keputusan DTKS diproses melalui sistem resmi pemerintah dan verifikasi berlapis.
8. Bagaimana jika pendamping mengancam KPM agar memberikan uang?
Jika ada ancaman, itu sudah termasuk tindak pidana pemerasan. KPM berhak melaporkan pelaku ke pihak berwenang karena ancaman melanggar KUHP dan UU Tipikor.
9. Mengapa banyak KPM takut melaporkan pungli atau pemerasan?
Karena minimnya pengetahuan, ketergantungan ekonomi, rasa takut bantuan dihentikan, atau kekhawatiran bahwa laporan justru memperburuk situasi. Padahal pendamping PKH tidak berwenang menghentikan bantuan.
10. Apa risiko jika praktek pemerasan dibiarkan?
Pelaku akan merasa aman dan cenderung mengulangi tindakan. KPM semakin dirugikan dan kepercayaan terhadap program bantuan sosial menurun drastis.
11. Ke mana KPM dapat melaporkan pendamping PKH yang melakukan pungli?
KPM dapat melaporkan ke:
- Dinas Sosial Kabupaten/Kota
- Inspektorat Daerah
- Kementerian Sosial (LAPOR Kemensos)
- Kepolisian (SPKT Polsek / Polres)
- KPK melalui kanal pengaduan resmi
12. Apakah pelapor mendapat perlindungan hukum?
Ya. Berdasarkan Pasal 15 huruf (a) UU No. 19 Tahun 2019, KPK wajib memberikan perlindungan bagi pelapor tindak pidana korupsi, termasuk menyembunyikan identitas, memberikan keamanan, dan pendampingan.
13. Jika saya hanya ingin mengadukan secara anonim, apakah bisa?
Bisa. Beberapa kanal pengaduan, termasuk Kementerian Sosial dan KPK, menyediakan opsi pelaporan anonim tanpa mencantumkan identitas pribadi.
14. Apa yang harus saya lakukan jika sudah terlanjur memberikan uang pada pendamping?
Kumpulkan bukti-bukti seperti chat, rekaman, foto, atau saksi, lalu laporkan ke Dinsos, Kepolisian, atau KPK. Pemberian tersebut tetap dapat dijadikan alat bukti pemerasan maupun pungli.
15. Bagaimana cara memastikan bahwa bantuan PKH saya aman?
Pastikan Anda memegang sendiri KKS, PIN ATM, buku rekening, dan tidak memberikan data pribadi kepada pihak yang meminta tanpa alasan resmi. Dana PKH hanya dicairkan melalui kanal resmi.
16. Apakah pendamping boleh memegang kartu KKS atau PIN ATM KPM?
Tidak boleh dalam kondisi apa pun. KKS adalah dokumen pribadi penerima. Pendamping yang meminta atau menahan KKS dapat terindikasi melakukan penyalahgunaan wewenang.
17. Bagaimana cara memverifikasi bahwa pendamping saya resmi?
Cek ID Card resmi, tanyakan SK penugasan, atau konfirmasi ke Dinas Sosial setempat. Pendamping resmi tidak akan meminta pembayaran atau imbalan.
18. Apakah KPM wajib hadir setiap kali pendamping mengadakan pertemuan?
Kehadiran biasanya diperlukan untuk edukasi program, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk memungut biaya. Semua kegiatan PKH adalah gratis.
19. Jika pendamping memotong dana "karena aturan baru", apakah itu benar?
Tidak. Tidak ada aturan resmi yang membolehkan pemotongan dana PKH. Semua informasi resmi dikeluarkan oleh Kemensos, bukan pendamping.
20. Apa langkah hukum yang bisa ditempuh KPM?
KPM dapat mengajukan laporan resmi, meminta perlindungan sebagai saksi, serta melakukan pendampingan hukum melalui lembaga bantuan hukum (LBH) setempat.