Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada: Analisis Regulasi, Praktik, dan Solusi Sistemik

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada: Analisis Regulasi, Praktik, dan Solusi Sistemik

Baca 10 Detik
  • Ketidaknetralan ASN pada Pilkada masih menjadi masalah sistemik yang muncul berulang pada setiap penyelenggaraan pemilu kepala daerah di berbagai wilayah Indonesia.

  • Bentuk pelanggaran paling umum mencakup mobilisasi dukungan, penyalahgunaan fasilitas negara, keterlibatan dalam kampanye, serta intimidasi yang memengaruhi aparatur di tingkat bawah.

  • Regulasi terkait netralitas ASN sebenarnya sudah kuat, mulai dari UU ASN, PP 42/2004, hingga Surat Edaran MenPAN-RB dan Bawaslu, namun implementasinya masih lemah.

  • Data Bawaslu menunjukkan bahwa pelanggaran ASN cenderung meningkat pada tahun politik, terutama di daerah dengan kontestasi politik yang ketat dan dominasi petahana.

  • Pencegahan membutuhkan reformasi sistemik: digitalisasi pengawasan, pemutusan rantai patronase politik birokrasi, sanksi yang lebih tegas, dan memperkuat pendidikan etika pemerintahan.

Ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia. Meskipun kerangka hukum telah menetapkan prinsip netralitas secara tegas, berbagai temuan di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam beberapa kontestasi daerah. Ketika birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan publik berubah menjadi instrumen politik, kepercayaan terhadap proses pemilu menurun, kualitas layanan publik terganggu, dan prinsip demokrasi menjadi tercederai. Artikel ini mengupas secara komprehensif dasar hukum netralitas ASN, dinamika pelanggaran, studi kasus daerah, analisis faktor penyebab, hingga rekomendasi perbaikan sistemik yang dapat memperkuat penyelenggaraan Pilkada yang bebas, adil, dan berintegritas.


Kerangka Hukum Netralitas ASN dalam Sistem Pemilu Indonesia

1. Dasar Konstitusional dan Prinsip Demokrasi

Netralitas ASN memiliki hubungan erat dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilu. Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang‐Undang Dasar.

Agar kedaulatan rakyat berjalan secara efektif, negara harus memastikan bahwa seluruh aparatur pelaksana kebijakan publik tidak memihak kepada peserta pemilu tertentu. Di sinilah netralitas ASN menjadi salah satu pilar fundamental bagi penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

2. Undang-Undang Pemilu dan Prinsip Penyelenggaraannya

Merujuk Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan pemilu wajib berlandaskan asas:

  • Langsung
  • Umum
  • Bebas
  • Rahasia
  • Jujur
  • Adil

Ketidaknetralan ASN secara langsung melanggar asas jujur dan adil, karena keberpihakan aparatur negara berpotensi mengganggu keseimbangan kompetisi politik antarkandidat.

UU ini juga mengatur larangan penggunaan fasilitas negara, kewenangan jabatan, maupun program pemerintah untuk tujuan politik elektoral.

3. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)

UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan:

  • Pasal 2 huruf f: ASN harus menjalankan fungsi sebagai penjaga netralitas.
  • Pasal 9: ASN dilarang menjadi anggota partai politik dan dilarang terlibat dalam kegiatan politik.
  • Pasal 12: ASN harus bebas dari intervensi politik dalam menjalankan tugasnya.

Dari sisi regulatif, norma tentang netralitas sudah sangat kuat. Persoalannya terletak pada implementasi, kultur birokrasi, dan political patronage yang membuat norma hukum sering tidak dijalankan secara efektif.

4. Peraturan Bawaslu dan KASN sebagai Instrumen Pengawasan

Pengawasan netralitas diatur lebih teknis melalui:

  • Peraturan Bawaslu tentang Pengawasan Netralitas ASN
  • Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan Netralitas ASN
  • Peraturan Komisi ASN (KASN)

KASN secara berkala mempublikasikan temuan pelanggaran netralitas ASN dalam setiap periode pemilu dan Pilkada. Data resmi KASN menunjukkan lebih dari 2.034 pelanggaran netralitas ASN terjadi sepanjang 2020–2024, mencakup dukungan terbuka, penggunaan fasilitas negara, hingga intimidasi terhadap bawahan.


Fungsi ASN dalam Sistem Administrasi Negara dan Relevansinya terhadap Netralitas

1. ASN sebagai Penyelenggara Kebijakan Publik

Sebagai pelaksana kebijakan, ASN harus bekerja berdasarkan prinsip:

  • Profesionalitas
  • Keadilan
  • Independensi
  • Non-partisan

Dalam kerangka good governance, keberpihakan ASN kepada kandidat politik tertentu menggeser orientasi pelayanan publik menjadi orientasi kekuasaan.

2. Ekosistem Birokrasi dan Potensi Politisasi

Birokrasi Indonesia masih berada dalam transisi dari pola patrimonial menuju birokrasi rasional‐legal. Dalam birokrasi patrimonial, jabatan sering dikaitkan dengan loyalitas pada pemimpin politik, bukan kompetensi.

Akibatnya:

  • ASN merasa berkepentingan mendukung kandidat petahana demi keamanan posisi.
  • Bawahan mudah ditekan oleh atasan yang memiliki relasi politik.
  • Birokrasi menjadi alat mobilisasi politik.

Peneliti pemilu seperti Fajlur Rahman Juhdi dan Abdul Hakam Sholahuddin menjelaskan bahwa politisasi birokrasi adalah ancaman struktural terhadap demokrasi elektoral.


Penyebab Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada

1. Budaya Politik Patrimonial dan Feodalisme Birokrasi

Budaya patronase politik menciptakan hubungan “balas budi” yang memicu keberpihakan ASN kepada kandidat tertentu. Birokrasi dianggap sebagai aset politik oleh elite lokal.

2. Ambisi Jabatan dan Faktor Karier

Sebagian ASN mendukung kandidat karena berharap:

  • Promosi jabatan
  • Rotasi menguntungkan
  • Pengaman posisi struktural

Dalam praktiknya, jabatan birokrasi sering dipolitisasi oleh pemenang Pilkada, sehingga ASN termotivasi untuk memihak demi masa depan karier.

3. Lemahnya Penegakan Hukum

Meskipun sanksi sudah diatur, implementasinya sering tidak konsisten:

  • Rekomendasi KASN tidak selalu ditindaklanjuti pemerintah daerah.
  • Bawaslu memiliki keterbatasan sumber daya dan bukti.
  • Banyak pelanggaran yang tidak berujung pada sanksi tegas.

4. Intervensi Atasan dan Tekanan Struktural

Atasan yang memiliki kedekatan politik mendorong bawahan untuk turut serta mendukung kandidat tertentu, baik secara terbuka maupun terselubung.

5. Tidak Adanya Perlindungan bagi Whistleblower ASN

ASN yang menolak terlibat dalam politik praktis sering terancam mutasi, pengucilan, hingga tekanan psikologis.


Studi Kasus Pelanggaran Netralitas ASN dalam Pilkada

1. Kasus Pilgub Sumatera Barat 2020

Kasus ini menjadi contoh bagaimana birokrasi dimobilisasi untuk kepentingan politik:

  • ASN terlibat dalam penyewaan posko pemenangan
  • Pejabat Satpol PP dan OPD membantu strategi kampanye
  • ASN melakukan sosialisasi terselubung melalui agenda dinas

Minimnya sanksi membuat praktik ini terus berulang.

2. Kasus Pilkada Kabupaten Serang 2024 (Putusan MK Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025)

Ini merupakan salah satu kasus TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) paling signifikan dalam sejarah Pilkada.

Temuan MK:

  • Ada 42 kegiatan Kementerian Desa PDTT selama kampanye, 13 di antaranya diselenggarakan di Kabupaten Serang, daerah asal salah satu pasangan calon.
  • Pejabat kementerian diduga mengarahkan persepsi publik bahwa dukungan pemerintah pusat berpihak kepada kandidat tertentu.
  • Kepala desa menerima tekanan dan ancaman bila tidak memberi dukungan politik.
  • Surat kementerian digunakan untuk aktivitas pribadi calon.

MK menyatakan pelanggaran ini mencederai asas kejujuran dan keadilan, lalu memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh wilayah Kabupaten Serang—sebuah langkah yang sangat jarang terjadi.

Putusan ini menegaskan bahwa:

  • Politisasi ASN adalah ancaman serius bagi demokrasi lokal.
  • Penyalahgunaan fasilitas negara merusak integritas pemilu.

Dampak Ketidaknetralan ASN terhadap Sistem Demokrasi

1. Distorsi Kompetisi Politik

Kandidat yang tidak memiliki akses kepada aparatur negara berada pada posisi tidak seimbang.

2. Penurunan Kualitas Pelayanan Publik

ASN yang sibuk melakukan kampanye terselubung tidak lagi berorientasi pada kepentingan publik.

3. Diskriminasi Layanan dan Konflik Kepentingan

Warga yang dianggap tidak mendukung kandidat tertentu sering mendapat perlakuan tidak adil.

4. Turunnya Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah Daerah

Birokrasi yang berpihak dianggap tidak mampu melayani secara profesional.

5. Ketidakstabilan Birokrasi Pasca-Pilkada

Setiap pergantian kepala daerah hampir selalu diikuti dengan:

  • Mutasi ASN besar-besaran
  • Demosi dan promosi politis
  • Pergeseran struktur berdasarkan loyalitas

Hal ini menghambat pembangunan jangka panjang karena birokrasi tidak memiliki kesinambungan.


Analisis Regulatif dan Implementatif: Di Mana Letak Masalahnya?

1. Norma Hukum Sudah Tegas, Eksekusi Lemah

UU ASN dan UU Pemilu telah memberi dasar hukum yang kuat, namun:

  • Tidak ada mekanisme real-time enforcement.
  • Sanksi disiplin bergantung pada atasan ASN (yang mungkin juga terlibat politik).
  • Rekomendasi KASN tidak bersifat “mengikat secara langsung”, melainkan memerlukan tindak lanjut pemerintah daerah.

2. Pengawasan Bawaslu Belum Didukung Instrumen Teknis Memadai

Bawaslu memiliki tugas besar, tetapi:

  • Kewenangan penyidikan terbatas.
  • Bukti pelanggaran ASN sering sulit dikumpulkan.
  • Intervensi politik ke daerah membuat laporan sulit ditindaklanjuti.

3. Regulasi Belum Mengatur Secara Detail Politisasi Program Pemerintah

Banyak celah hukum:

  • Penggunaan kegiatan dinas untuk kampanye
  • Pengarahan kepala desa
  • Mobilisasi pejabat struktural
  • Manipulasi bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik

Pembelajaran dari Negara Lain

1. Singapura

ASN sangat terpisah dari politik. Pelanggaran netralitas ditindak tegas tanpa kompromi, termasuk pemecatan permanen.

2. Korea Selatan

Undang-undang Pemilu membatasi ASN secara ketat, bahkan melarang ekspresi dukungan politik di media sosial.

3. Australia

Hubungan antara birokrasi dan politik diatur dalam Australian Public Service Act, dengan mekanisme pengawasan independen dan sanksi cepat.

Pelajaran bagi Indonesia:

  • Sanksi harus tegas dan cepat.
  • Kewenangan pengawasan harus independen.
  • ASN harus diberi perlindungan hukum dari tekanan politik.

Rekomendasi Perbaikan Sistemik

1. Memperkuat Kewenangan KASN

  • Rekomendasi harus bersifat binding seperti putusan administratif.
  • KASN perlu diberi kewenangan menjatuhkan sanksi langsung.

2. Reformasi UU ASN dan UU Pemilu

Revisi harus mencakup:

  • Larangan eksplisit penggunaan program pemerintah untuk kepentingan elektoral.
  • Pelarangan mutasi ASN 6 bulan sebelum dan sesudah Pilkada.

3. Pengawasan Digital Berbasis Bukti Elektronik

Bawaslu harus mengembangkan:

  • Sistem monitoring aktivitas media sosial ASN
  • Sistem pelaporan publik berbasis aplikasi
  • Forensik digital untuk pembuktian cepat

4. Perlindungan Hukum bagi ASN yang Menolak Intervensi Politik

  • Sistem whistleblower
  • Perlindungan dari mutasi politis
  • Mekanisme pengaduan rahasia

5. Pendidikan Politik dan Etika Netralitas

Setiap ASN wajib mengikuti pelatihan rutin:

  • Etika publik
  • Netralitas politik
  • Manajemen konflik kepentingan

6. Kolaborasi dengan Masyarakat Sipil dan Media

Media dan LSM dapat memperkuat:

  • Transparansi
  • Pengawasan sosial
  • Pelaporan publik terhadap pelanggaran

FAQ – Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada

1. Apa yang dimaksud dengan ketidaknetralan ASN dalam Pilkada?

Ketidaknetralan ASN mengacu pada tindakan aparatur pemerintah yang memihak salah satu pasangan calon, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses pemilihan kepala daerah.

2. Mengapa netralitas ASN penting dalam Pilkada?

Netralitas ASN penting untuk menjaga profesionalisme birokrasi, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta memastikan Pilkada berlangsung adil dan demokratis.

3. Apa saja bentuk pelanggaran netralitas ASN?

Bentuk pelanggaran umum meliputi keterlibatan kampanye, mobilisasi dukungan pemilih, penyalahgunaan fasilitas negara, penyebaran konten politik di media sosial, dan intimidasi birokrasi di bawah.

4. Apa regulasi yang mengatur netralitas ASN?

Regulasi utamanya mencakup UU No. 20/2023 tentang ASN, PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps, Peraturan Bawaslu, hingga Surat Edaran MenPAN-RB terkait netralitas ASN pada pemilu.

5. Siapa yang berwenang menindak pelanggaran ASN?

Penindakan dilakukan oleh Bawaslu, Komisi ASN (KASN), Inspektorat, hingga Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di setiap instansi.

6. Apa sanksi bagi ASN yang tidak netral?

Sanksi dapat berupa teguran tertulis, pencopotan jabatan, penundaan kenaikan pangkat, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran.

7. Mengapa pelanggaran ASN sering terjadi menjelang Pilkada?

Pelanggaran meningkat karena tekanan politik petahana, kuatnya patronase birokrasi, potensi konflik kepentingan, serta lemahnya sistem pengawasan.

8. Bagaimana cara mencegah ketidaknetralan ASN?

Pencegahan dilakukan melalui pendidikan etika ASN, digitalisasi monitoring, penguatan regulasi, pemberlakuan sanksi tegas, dan pemutusan hubungan patronase dalam birokrasi.

9. Apakah postingan media sosial ASN termasuk pelanggaran netralitas?

Ya, ASN dilarang menyukai, mengomentari, membagikan, atau membuat unggahan yang menunjukkan dukungan terhadap kandidat dalam Pilkada.

10. Bagaimana masyarakat melaporkan pelanggaran netralitas ASN?

Masyarakat dapat melapor ke Bawaslu Kabupaten/Kota, melalui aplikasi SiRUPAI (jika tersedia di daerah), ke Inspektorat, atau langsung ke Komisi ASN (KASN).


Penutup

Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada di Indonesia bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi ancaman serius terhadap asas kejujuran, keadilan, dan profesionalitas birokrasi. Meskipun landasan hukum sudah tegas, implementasi di lapangan masih dihadapkan pada tantangan politik, keterbatasan pengawasan, serta lemahnya sanksi terhadap pelanggar. Kasus Sumatera Barat dan Serang menunjukkan bahwa politisasi birokrasi dapat terjadi secara terstruktur dan mempengaruhi hasil pemilu.

Untuk menjaga integritas demokrasi, Indonesia harus memperkuat pengawasan ASN, mereformasi regulasi, dan menciptakan lingkungan birokrasi yang bebas dari intervensi politik. Dengan komitmen bersama antara pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat, penyelenggaraan Pilkada yang netral, profesional, dan berkeadilan dapat diwujudkan.

Foto Berliana Indah Dwi Saputri

Ditulis oleh : Berliana Indah Dwi Saputri

Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Aktif menulis artikel dan opini terkait isu sosial, pendidikan, dan pembangunan daerah.

💬 Disclaimer: Kami di fokus.co.id berkomitmen pada asas keadilan dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan. Jika Anda menemukan konten yang tidak akurat, merugikan, atau perlu diluruskan, Anda berhak mengajukan Hak Jawab sesuai UU Pers dan Pedoman Media Siber. Silakan isi formulir di halaman ini atau kirim email ke redaksi@fokus.co.id.