Penyebab Kebangkrutan Quantum: Persaingan Produk Impor dan Pandemi

Pabrik Kompor Quantum

FOKUS EKONOMI
- Pabrikan kompor gas Quantum resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat, pada 22 Juli 2024. Dengan keputusan tersebut, keberadaan Quantum sebagai salah satu produsen kompor gas, selang, dan regulator yang telah beroperasi selama puluhan tahun, kini tinggal sejarah. Quantum, yang didirikan pada tahun 1993, selama 31 tahun telah menjadi salah satu pabrikan terkemuka di Indonesia.

Pabrik produksi utama Quantum berlokasi di Jalan Raya Serang, Desa Talagasari, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Namun, sejak perusahaan dinyatakan bangkrut, seluruh kegiatan produksi dihentikan, yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 511 karyawannya.

Direktur PT Aditec Cakrawiyasa, Iwan Budi Buana, mengungkapkan bahwa penyebab utama pailitnya perusahaan adalah penurunan penjualan yang signifikan serta meningkatnya beban utang. Ia juga menyoroti persaingan yang semakin ketat antara produk lokal dan barang impor, terutama dari China. "TKDN kita sudah 60%, itu nggak sedikit untuk produksi yang sudah lokal, sekarang kompor-kompor diimpor dari China, sedangkan kita produksi dalam negeri," kata Iwan dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia pada Sabtu (14/9/2024).

Quantum telah berupaya meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan bekerja sama dengan banyak pemasok lokal. Sayangnya, upaya ini justru menjadi bumerang bagi perusahaan, karena harga bahan baku dari pemasok lokal terus meningkat. Hal ini membuat perusahaan semakin kesulitan dalam bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

Selain itu, pandemi Covid-19 juga menjadi salah satu faktor signifikan yang memperburuk kondisi keuangan Quantum. Penurunan daya beli masyarakat selama pandemi berdampak langsung pada penjualan perusahaan. "Kita coba jalan pasca-Covid, tapi jualan agak drop, sedangkan fix cost naik, 2019 karyawan kita mau di-PHK tapi susah bayar pesangon. Makin lama makin susah kita juga, penjualan nggak sesuai target, cost nggak seimbang, akhirnya kita ngga bisa bayar ke suplier pasca pandemi," ujar Iwan.

Pasca pandemi, Quantum menghadapi tuntutan dari sejumlah pemasok yang mengajukan gugatan pailit. Meski perusahaan sempat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk mencoba menyelamatkan operasional, upaya ini tidak berhasil. "Pasca PKPU ada beberapa suplier mengajukan pailit ke kita, kita sudah beberapa kali PKPU, tapi yang sekarang ini nggak bisa nahan lagi," ungkap Iwan.

Meskipun sudah berusaha keras untuk bertahan, perusahaan akhirnya tidak mampu menghindari kebangkrutan. "Sekarang jadi pailit padahal kita udah bertahan untuk nggak pailit. Gimana caranya karyawan masih bisa kerja tapi ternyata perusahaan dipailitkan, kita nggak bisa apa-apa," tambah Iwan.

Perusahaan Quantum, yang dulu mempekerjakan hingga 800 orang, kini hanya menyisakan 500-600 karyawan akibat penurunan penjualan yang terus-menerus. Biaya produksi yang tinggi, serta kesulitan dalam mencapai target produksi, membuat perusahaan semakin terpuruk secara finansial.

Ke depan, Iwan berharap masih ada kesempatan untuk melanjutkan aktivitas produksi setelah proses hukum ini selesai. "(Rencana ke depan) belum tau ya, kita lagi nunggu dari kurator aja. Saya pengen tetap menjalankan. Secara merek masih bagus ya cuma masalah keuangan," pungkasnya.
LihatTutupKomentar